فَالْخَلْقُ عَامِلُوْنَ بِسَابِقِ عِلْمِهِ وَ نَافِذُوْنَ لِمَا خَلَقَهُمْ لَهُ مِنْ خَيْرٍ وَ شَرٍّ لَا يَمْلِكُوْنَ لِأَنْفُسِهِمْ مِنَ الطَّاعَةِ نَفْعًا وَ لَا يَجِدُوْنَ إِلَى صَرْفِ الْمَعْصِيَةِ عَنْهَا دَفْعًا.
Para makhluk adalah para pelaku perbuatan (yang terjadi) sesuai ‘Ilmu-Nya (yang mendahului terjadinya perbuatan tersebut), dan para makhluk itu melaksanakan apa yang telah diciptakan oleh-Nya berupa kebaikan atau keburukan. Mereka tidak mempunyai kekuasaan untuk mendapat manfaat dalam berbuat ketaatan. Mereka juga tidak mampu untuk menolak hal-hal yang bisa memalingkan mereka pada kemaksiatan.
Pada bagian ini, al-Imām al-Muzanī menjelaskan salah satu akidah berupa iman terhadap taqdīr. Sebelum menjelaskan tentang ucapan beliau ini, kita akan kaji beberapa hal mendasar tentang iman terhadap taqdīr.
Iman terhadap taqdīr adalah salah satu dari rukun iman yang berjumlah 6. Tidaklah seorang dikatakan beriman jika tidak beriman pada taqdīr.
عَنِ ابْنِ الدَّيْلَمِيِّ قَالَ لَقِيْتُ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ فَقُلْتُ يَا أَبَا الْمُنْذِرِ إِنَّهُ قَدْ وَقَعَ فِيْ نَفْسِيْ شَيْءٌ مِنْ هذَا الْقَدَرِ فَحَدِّثْنِيْ بِشَيْءٍ لَعَلَّهُ يَذْهَبُ مِنْ قَلْبِيْ قَالَ لَوْ أَنَّ اللهَ عَذَّبَ أَهْلَ سَموَاتِهِ وَ أَهْلَ أَرْضِهِ لَعَذَّبَهُمْ وَ هُوَ غَيْرُ ظَالِمٍ لَهُمْ وَ لَوْ رَحِمَهُمْ كَانَتْ رَحْمَتُهُ لَهُمْ خَيْرًا مِنْ أَعْمَالِهِمْ وَ لَوْ أَنْفَقْتَ جَبَلَ أُحُدٍ ذَهَبًا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ مَا قَبِلَهُ اللهُ مِنْكَ حَتَّى تُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ وَ تَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيْبَكَ وَ لَوْ مِتَّ عَلَى غَيْرِ ذلِكَ لَدَخَلْتَ النَّارَ قَالَ فَأَتَيْتُ حُذَيْفَةَ فَقَالَ لِيْ مِثْلَ ذلِكَ وَ أَتَيْتُ ابْنَ مَسْعُوْدٍ فَقَالَ لِيْ مِثْلَ ذلِكَ وَ أَتَيْتُ زَيْدَ بْنض ثَابِتٍ فَحَدَّثَنِيْ عَنِ النَّبِيِّ (ص) مِثْلَ ذلِكَ.
Dari Ibn-ud-Dailamī beliau berkata: Aku berjumpa dengan Ubay bin Ka‘ab (Sahabat Nabi), aku berkata: Wahai Abul-Mundzir, sesungguhnya telah terbersit dalam jiwaku sesuatu dari (masalah) taqdīr. Sampaikanlah sesuatu kepadaku semoga hal itu bisa menghilangkan (permasalahan) yang ada dalam hatiku. Beliau berkata: Seandainya Allah (berkehendak) meng‘adzab penduduk langit dan penduduk bumi, Allah meng‘adzab mereka dalam keadaan Dia tidak menzhalimi mereka. Seandainya Allah merahmati mereka, maka sesungguhnya rahmat Allah lebih baik dibandingkan perbuatan mereka. Seandainya engkau berinfaq emas sebesar gunung Uhud di jalan Allah, tidak akan Allah terima hingga engkau beriman dengan taqdīr, dan engkau mengetahui bahwasanya apa yang menimpamu tidak akan luput darimu, dan apa yang luput darimu tidak akan menimpamu. Kalau engkau meninggal tidak dengan (akidah) ini, niscaya engkau masuk neraka. Ibn-ud-Dailami kemudian berkata: Aku kemudian mendatangi Ḥudzaifah (Sahabat Nabi) ia ternyata juga berkata seperti itu. Aku mendatangi Ibnu Mas‘ūd (Sahabat Nabi), ia juga berkata seperti itu. Aku mendatangi Zaid bin Tsābit (Sahabat Nabi), kemudian ia menyampaikan hadits dari Nabi seperti itu.
(HR. al-Imām Aḥmad no. 20607).
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits di atas adalah:
Pembicaraan tentang taqdīr hanyalah sekedar penyebutan atau pemahaman yang benar terhadap dalil-dalil dari al-Qur’ān dan hadits yang shaḥīḥ, tidak lebih dari itu. Tidak boleh kita memperbincangkan taqdīr melewati batas itu.
إِذَا ذُكِرَ الْقَدَرُ فَأَمْسِكُوْا.
“Jika disebutkan tentang taqdīr, maka diamlah…”
(HR. al-Ḥārits bin Abī Usāmah dalam musnadnya, di-shaḥīḥ-kan asy-Syaikh al-Albānī).
Di antaranya adalah larangan menanyakan atau memperbincangkan alasan mengapa suatu ditaqdīrkan demikian tidak demikian. Mengapa fulan ditaqdīrkan begini, tapi fulan ditaqdīrkan begitu. Itu semua adalah terlarang, karena termasuk menanyakan tentang Perbuatan Allah. Sedangkan Perbuatan Allah tidaklah boleh untuk ditanyakan, karena pasti berkisar antara kelebihan kebaikan (fadhl) dan keadilan.
لَا يُسْئَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَ هُمْ يُسْئَلُوْنَ.
“Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang Dikerjakannya, sedangkan mereka (makhluk) akan ditanya.”
(QS. al-Anbiyā’ [21]: 23).