3-7-1 Tahapan Rintangan – Pasal 1 | Minhaj-ul-Abidin

Dari Buku:

Minhajul ‘Abidin
Oleh: Imam al-Ghazali

Penerjemah: Moh. Syamsi Hasan
Penerbit: Penerbit Amalia Surabaya

Rangkaian Pos: 003 Tahapan Rintangan - Minhaj-ul-Abidin

(Pasal): Wahai manusia, hendaklah anda mencurahkan kemampuan seoptimal mungkin untuk menempuh pendakian atau tahapan yang agung dan panjang ini. Sebab, tahapan ini merupakan tahapan paling besar lagi sulit serta banyak mengeluarkan ongkos, juga banyak bahaya dan fitnahnya.

Sesungguhnya orang yang mengalami kerusakan dan terputus dan jalan kebenaran, itu hanyalah disebabkan oleh pengaruh dunia, atau pengaruh lingkungan, atau godaan setan serta bujukan nafsu.

Aku menjelaskan di dalam kitab-kitab karanganku, seperti dalam kitab Iyā’ ‘Ulūm-id-Dīn, al-Asrār dan al-Qurbah ilallāh, tentang hal-hal yang dapat mendorong memotivasi seseorang untuk berusaha dengan sekuat tenaga dalam persoalan tersebut. Sementara maksud kitab Minhāj-ul-‘Ābidīn ini, adalah aku memohon kepada Allah agar kiranya Dia berkenan memberitahukan kepadaku tentang rahasia mengobati nafsu dan semoga Dia berkenan semakin memperbaiki diriku, serta memperbaiki manusia dengan lantaran aku. Karena itu, dalam kitab ini aku hanya menerangkan faedah-faedah dengan bahasa yang ringkas dan padat, banyak maknanya, yang dapat memuaskan orang yang mau berpikir, serta menempatkannya pada jalan yang terang, in syā’ Allāh.

Pasal ini, khusus menerangkan tentang pengobatan dan terapi dalam menghadapi pengaruh negatif dari dunia, pengaruh lingkungan, godaan setan dan bujukan nafsu.

Terhadap persoalan dunia, seharusnya anda berhati-hati dan bersikap zuhud. Sebab, dalam menghadapi urusan ini, anda tidak akan terlepas dari tiga hal, yaitu:

1. Bisa jadi anda termasuk orang yang mempunyai kecerdasan dan ketajaman mata batin. Dalam keadaan ini, anda cukup tahu bahwa dunia itu musuh Allah, sedangkan Allah adalah kekasih dan yang menolong anda. Dunia selalu menentang apa yang menjadi tuntutan akalmu, sementara akal adalah barang berharga bagi anda.

2. Adakalanya anda termasuk orang yang bercita-cita luhur dan sungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah. Kalau demikian, anda cukup mengetahui bahwa dunia itu sebagai sarana yang mengandung bahaya yang bisa mencegah keinginan anda untuk beribadah. Terkurasnya pikiran anda karena sibuk mengurusi dunia, bisa melupakan ibadah, serta melalaikan berbuat kebaikan. Pengaruhnya saja begitu negatif apalagi dunianya itu sendiri.

3. Bisa jadi dalam menghadapi dunia anda termasuk orang yang lalai terhadap Allah, tidak memiliki ketajaman mata hati yang bisa digunakan untuk memandang hakikat dan tidak mempunyai tekad yang mendorong anda meraih kemuliaan diri. Jika begitu, anda cukup mengetahui bahwa dunia itu tidak kekal, ia akan meninggalkan anda atau justru anda yang meninggalkannya. Sebagaimana kata Ḥasan Bashrī: “Jika dunia itu tetap ada pada anda, maka anda tidak akan kekal padanya. Kalau begitu apa gunanya bagi anda yang senantiasa mencari dunia dan menggunakan umur yang mahal harganya untuk mencari dunia.”

Betapa indahnya kata penyair berikut ini:

هَبِ الدُّنْيَا تُسَاقُ إِلَيْكَ عَفْوًا

أَلَيْسَ مَصِيْرُ ذَاكَ إِلَى زَوَالٍ

فَمَا تَرْجُوْ بِعَيْشٍ لَيْسَ يَبْقَى

وَشِيْكًا قَدْ تَغَيَّرَهُ اللَّيَالِيْ

وَ مَا دُنْيَاكَ إِلاَّ مِثْلُ ظِلٍّ

أَظَلَّكَ ثُمَّ أَذَنَ بِارْتِحَالٍ

Dunia itu digiring kepadamu dengan melimpah ruah

Namun, tidakkah akhirnya akan musnah?

Apa yang engkau harapkan dengan kehidupan yang tidak kekal

Sebentar saja malam akan mengubahnya

Kehidupan dunia bagimu hanyalah bagaikan bayangan yang menaungi

Namun sebentar kemudian menyingkir pergi berlalu.”

Oleh karena itu, jangan sampai orang yang berakal sehat terpedaya olehnya sehingga meninggalkan ibadah kepada Allah. Benarlah apa yang dikatakan seorang penyair, berikut:

أَضَغَاتُ نَوْمٍ أَوْ كَظِلٍّ زَائِلٍ

إِنِّ اللَّبِيْبَ بِمِثْلِهَا لاَ يُخْدَعُ

Dunia itu bagaikan mimpi atau bayangan begitu cepat hilang

Orang yang berakal sehat tidak pantas terpedayanya.

Adapun mengenai setan, cukuplah kiranya dalam masalah ini apa yang difirmankan Allah kepada Rasūlullāh s.a.w. dalam al-Qur’ān berikut:

وَ قُلْ رَّبِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِيْنِ وَ أَعُوْذُ بِكَ رَبِّ أَنْ يَحْضُرُوْنِ

Artinya:

Dan katakanlah: Ya Tuhanku, aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan setan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku.” (al-Mu’minūn: 97-98).

Padahal Rasūlullāh s.a.w. adalah sebaik-baik manusia, orang yang paling alim dan yang paling utama di sisi Allah s.w.t. masih membutuhkan perlindungan Allah dari gangguan setan. Lalu bagaimana hanya dengan anda, dengan segala kebodohan, kekurangan dan kelalaian anda?

Sedangkan mengenai pengaruh makhluk, cukuplah kiranya bagi anda untuk menyadari bahwa jika anda bergaul dengan masyarakat umum dan menyetujui kesenangan nafsu mereka, maka anda berdosa dan urusan akhirat anda akan menjadi rusak. Jika anda berlaku kontroversi dengan mereka, tentu anda akan kelelahan menghadapi perlakuan dan kekasaran mereka yang menyakitkan hati dan urusan dunia anda akan menjadi kacau. Selanjutnya, anda menjadi tidak aman karena anda akan mengambil sikap untuk melakukan perlawanan terhadap mereka, sehingga membuat anda terjerumus ke dalam keburukan mereka.

Sementara seandainya mereka memuji dan mengagungkan anda, maka aku khawatir anda akan terkena fitnah dan ujub. Sebaliknya, jika mereka mencela dan menghina anda, aku pun takut anda akan bersusah hati atau marah-marah bukan karena Allah. Keduanya merupakan penyakit yang berbahaya dan sangat potensial untuk membinasakan.

Kemudian ingatlah keadaan anda bersama mereka, sesudah anda berada di dalam kubur selama tiga hari, bagaimana mereka meninggalkan, mendiamkan dan melupakan anda. Hampir saja mereka tidak lagi mengingat dan menyebut-nyebut anda, seakan-akan antara anda dan mereka tidak pernah saling mengenal. Pada saat di dalam kubur itu, yang ada tinggallah belas kasih Allah atau justru kemurkaan-Nya.

Bukankah yang demikian itu, merupakan kerugian yang sangat besar? Anda telah menyia-nyiakan hari-hari anda bersama mereka, sementara anda sedikit pemenuhan janji dan hanya sementara waktu bisa berkumpul dengan mereka, dan anda meninggalkan khidmat kepada Allah, padahal hanya kepada-Nya saja segala urusan anda dikembalikan. Tidak ada yang abadi bagi anda, melainkan Dialah Allah yang Abadi dan kepada-Nya anda akan kembali untuk selama-lamanya. Semua kebutuhan anda bergantung kepada-Nya, Dialah sebaik-baik tempat berserah diri. Hanya kepada-Nya, segala perlindungan dan penjagaan mendapatkan jaminan akan keamanan dan keselamatan dalam segala kondisi, juga dalam keadaan yang sangat genting dan dahsyat. Hanya kepada-Nya, Tuhan yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, segala sesuatu dikembalikan.

Maka, renungkanlah wahai orang yang miskin, mudah-mudahan anda diberi petunjuk, insya’ Allah. Dialah, Allah yang menguasai petunjuk, dengan karunia-Nya, Dia akan memberikan petunjuk-Nya.

Sedangkan mengenai nafsu, maka cukuplah kiranya bagi anda, apa yang anda saksikan dari tingkah laku ajakan nafsu dan keburukan apa yang menjadi keinginannya. Adalah nafsu, ketika mengajak bersenang-senang, seperti binatang, ketika marah, ia bagaikan binatang buas, pada saat menghadapi musibah, ia seperti anak kecil dan ketika sedang mendapat nikmat, berlagak seperti Fir‘aun. Ketika sedang lapar, anda melihatnya seperti orang gila, ketika dalam keadaan kenyang, anda melihatnya bersikap angkuh. Ketika anda buat kenyang, ia bertambah hancur dan durhaka. Ketika anda buat lapar, ia menjerit, merengek-rengek dan mengeluh.

Adalah nafsu, bagaikan ungkapan seorang penyair:

كَحِمَارِ السُّوْءِ إِنْ أَشْبَعْتَهُ

رَمَحَ النَّاسَ وَ إِنْ جَاءَ نَهِقَ

Adalah nafsu ibarat keledai jahat, jika kamu buat kenyang,

Ia menyepak orang, jika lapar meraung-raung.”

Benarlah kata sebagian ulama saleh, ketika mengatakan bahwa di antara keburukan dan kebodohan nafsu ini, ialah apabila anda berniat melakukan maksiat atau bangkit menuju kemauan syahwat, lalu anda belokkan atau anda memohon pertolongan kepada Allah, juga dengan utusan Allah, semua para nabi Allah, dengan kitab Allah, dan dengan seluruh hamba Allah yang saleh, serta anda hadapkan kepada maut, kubur, hari kiamat, surga dan neraka, maka nafsu itu tidak akan mau menurut dan enggan meninggalkan kesenangannya. Tetapi kalau anda menghadapinya dengan menahan akan kesukaannya, maka ia akan diam dan meninggalkan kesenangannya. Sehingga anda menjadi tahu akan kedunguan dan kebodohannya.

Oleh karena itu, berhati-hatilah wahai manusia dalam menghadapi nafsu. Jangan sampai lengah, sebab nafsu, seperti yang difirmankan oleh Penciptanya Yang Maha Mengetahui lagi Maha Agung.

Firman Allah:

إِنَّ النَّفْسَ لأَمَّارَةٌ بِالسُّوْءِ.

Artinya:

Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan.” (Yūsuf: 53).

Hal ini, kiranya cukup sebagai penggugah kesadaran bagi orang yang berakal. Telah sampai kepadaku cerita dari sebagian ulama saleh, yaitu Aḥmad bin Arqam al-Balkhī, berkata: “Sungguh aneh, nafsu mendorongku pergi ke medan perang. Lalu aku berkata, bahwa Allah s.w.t. berfirman: “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan.” (Yūsuf: 53).

Sementara mengapa nafsu ini, memerintahkan kepadaku untuk berbuat kebaikan. Ini tidak mungkin terjadi selamanya. Namun, nafsu ini tentu enggan diajak berjuang. Ia hanya menginginkan bertemu dengan banyak orang, untuk menunjukkan perjuangannya kepada mereka, sehingga mereka memasyhurkannya, lalu mengagungkannya dan memberi kebaikan, serta memuliakannya.

Maka aku pun berkata kepada nafsuku itu: “Aku tidak akan menempatkan anda di keramaian dan tidak akan memperkenalkan anda bersama banyak orang.” Nafsuku menyetujui, namun aku tetap berprasangka buruk kepadanya.”

Aku berkata: “Maha benar Allah dengan segala firman-Nya.” Selanjutnya aku berkata kepada nafsu bahwa aku akan memerangi musuh Allah dengan hina, dan menjadikan anda sebagai musuh pertama yang aku perangi. Nafsu itu ternyata menyetujui. Maka aku berburuk sangka kepadanya.

Lalu Aḥmad bin Arqam menghitung beberapa kebaikan secara zhahir yang hendak dikerjakan, semua disetujui oleh nafsunya. Lalu ia berkata: “Wahai Tuhanku, semoga Engkau berkenan memperingatkan nafsuku, karena aku selalu curiga terhadapnya, lagi pula aku selalu membenarkan-Mu.” Lalu aku dikaruniai kasyaf (kewaskitaan) seakan-akan nafsuku berkata: “Hai Aḥmad, anda telah membunuhku setiap hari, sebab anda mencegahku dari berbagai kesenangan dan tidak pernah menyetujui keinginanku. Padahal tidak seorangpun tahu, jika anda mati terbunuh dalam medan perang, dan aku bisa selamat dari anda, maka orang-orang akan mengatakan: “Aḥmad mati syahid.” Sementara aku memperoleh kemuliaan, serta disebut-sebut oleh orang banyak. Aḥmad bin Arqam kemudian berkata: “Maka aku berdiam diri di rumah, tidak jadi ikut berperang pada tahun itu.”

Perhatikan bujukan nafsu dan tipu dayanya, ia mendorong berlaku riya’ kepada manusia sesudah kematian, dengan amal yang tidak bisa dikerjakan sesudah mati.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *