3-6 Barirah (Bekas Budak ‘A’isyah RA.) – Perempuan-perempuan Mulia di Sekitar Rasulullah SAW

Perempuan-perempuan Mulia di Sekitar Rasulullah s.a.w.
(Judul Asli: Nisā’u Ḥaul-ar-Rasūl s.a.w.; al-Qudwat-ul-Ḥasanati wal-Uswat-uth-Thayyibah li Nisā’-il-Usrat-il-Muslimah).
Oleh: Muhammad Ibrahim Salim.

Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, Zahrul Fata
Penerbit: GEMA INSANI PRESS

Rangkaian Pos: 003 Wanita Muslimah Teladan Sebagai Putri | Perempuan-perempuan Mulia di Sekitar Rasulullah SAW

6. BARĪRAH (BEKAS BUDAK ‘Ā’ISYAH RA.)

Ibnu Sa‘ad meriwayatkan dalam Thabaqāt-nyabahwa suami Barīrah adalah seorang budak berkulit hitam yang bernama Mughīts. Dalam kasus pemerdekaan Barīrah, Rasūlullāh s.a.w. memutuskan padanya empat perkara; pada saat para kerabatnya menginginkan kekuasaan atasnya (Barīrah) meskipun mereka tidak ikut menebusnya. Keempat perkara tersebut, yaitu (pertama) bahwa kekuasaan atas budak berada di tangan yang membebaskannya (bukan di tangan kerabatnya yang tidak ikut membebaskannya). Kedua, Barīrah disuruh memilih (antara suaminya dan dirinya), lalu dia memilih dirinya (cerai). Ketiga, setelah cerai Rasūlullāh s.a.w. menyuruhnya ber‘iddah(masa tunggu wanita setelah cerai). Pada saat itu, Ibnu ‘Abbās (perawi hadits (111)) melihatnya – yakni suaminya – mengikuti Barīrah menuju jalan ke Madīnah sambil beruraian air mata. Keempat, Rasūlullāh s.a.w. menganjurkan – para sahabatnya – untuk bersedekah kepadanya (Barīrah). Dari hasil sedekah yang diterimanya, Barīrah menghadiahkan sebagian ke ‘Ā’isyah. Ketika Rasūlullāh s.a.w. diberitahu tentang apa yang dilakukan Barīrah, beliau berkata: “Apa yang dia terima adalah sedekah, sedang apa yang kami terima adalah hadiah.

Lebih lanjut Ibnu Sa‘ad juga meriwayatkan dalam Thabaqāt-nya bahwa Rasūlullāh s.a.w., pada saat menyuruh Barīrah untuk memilih antara dirinya (cerai) atau suaminya, beliau menganjurkan Barīrah untuk tetap mempertahankan rumah tangganya. Lalu Barīrah bertanya kepada beliau: “Wahai Rasūlullāh, apakah itu suatu kewajiban bagi saya?” Beliau menjawab: “Tidak, saya hanya kasihan pada suamimu.” Barīrah (kembali) berkata: “Tidak, saya sudah tidak membutuhkannya.”

Kisah di atas membuktikan bahwa Islam telah memberi kebebasan bagi kaum wanita untuk menentukan jalan hidupnya. Kebebasan menentukan rumah tangganya, kebebasan yang mengantarkannya menuju kehidupan yang damai dan tenteram. Sungguh suatu toleransi yang tak ternilai dalam sejarah umat manusia. Bagaimana tidak, penghargaan perasaan wanita ternyata lebih diprioritaskan dan dimenangkan daripada rasa kasihan (syafaat) beliau kepada seorang suami. Sungguh suatu pelajaran yang sangat berharga dari Rasūlullāh s.a.w. yang patut dicamkan oleh para wali dan orang tua.

Demikianlah kisah seorang budak perempuan Barīrah yang diperistri oleh seorang budak hitam yang tidak dicintainya), karena si suami selalu menekannya sehingga si istri pun berusaha untuk lari darinya. Namun, apalah daya seorang budak. Lalu datanglah ‘Ā’isyah membebaskannya dan memberikan hak kepadanya untuk menentukan nasib dirinya sebagaimana kata Rasūlullāh s.a.w. kepadanya: “Kamu telah berhak atas dirimu maka kamu bebas memilih!

Satu lagi yang perlu dicatat tentang Barīrah bahwasanya ‘Abd-ul-Mālik bin Marwān, suatu hari, pernah duduk di sampingnya. Lalu Barīrah berkata: “Wahai ‘Abd-ul-Mālik, sesungguhnya saya melihat dalam dirimu tanda-tanda (seorang pemimpin). Camkanlah apa yang akan saya katakan, jika kamu diangkat menjadi pemimpin nanti, hindarilah darah (pembunuhan)! sungguhnya, saya pernah mendengar Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

(Nanti di akhirat), sesungguhnya ada seorang laki-laki yang ditahan (masuk) dari pintu surga setelah dia melihat di depan surga segumpal darah yang ia alirkan dari seorang muslim tanpa alasan yang benar.” (122)

Catatan:

  1. 11). Riwayat hadits selengkapnya juga diriwayatkan Imām Aḥmad dalam Musnad-nya; hadits no. 3231.
  2. 12). Ibid.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *