Kehidupannya adalah aplikasi pengorbanan dan jihad fī sabīlillāh. Ibnu Sa‘ad berkata dalam Thabaqāt-nya bahwa dialah orang yang pertama Hijrah ke Madīnah setelah hijrah Nabi Muḥammad s.a.w. dan para sahabatnya. Sepanjang sejarah, tidak ada wanita Quraisy yang keluar di antara kedua orang tuanya (tanpa seizin mereka) untuk berhijrah menuju Allah dan Rasūl-Nya kecuali Ummu Kultsūm.
Dia keluar dari Makkah sendirian, lalu ditemani oleh seorang laki-laki dari Bani Khuzā‘ah sampai tiba di Hudnah. Selang dua hari dari kedatangan Ummu Kultsūm di Madīnah, datanglah kedua saudaranya (yaitu Wālid dan ‘Imārah) untuk meminta kembali saudari mereka (Ummu Kultsūm) kepada Rasūlullāh s.a.w.. Mereka (Wālid dan ‘Imārah) berkata kepada Rasūlullāh s.a.w: “Wahai Muḥammad, tepatilah janji yang telah kita sepakati dulu.” Lalu Ummu Kultsūm berkata: “Wahai Rasūlullāh, saya seorang wanita yang lemah. Kalau saya hijrah bersama kaum laki-laki, saya takut mereka akan memfitnah saya dalam agama saya, sedang saya tidak sabar (untuk segera berhijrah).” Maka Allah menghapus perjanjian tentang wanita dan menurunkan ayat ujian (al-Mumtaḥanah: 10-11). Dengan ayat tersebut, Rasūlullāh s.a.w. menghukumi masalah Ummu Kultsūm, dan para sahabat akhirnya bisa menerima keputusan yang diambil oleh Rasūlullāh s.a.w..
Dengan ayat tersebut (al-Mumtaḥanah) Rasūlullāh s.a.w menguji Ummu Kultsūm dan wanita lain yang datang:
“Benarkah motivasi dari Hijrah kalian adalah cinta karena Allah dan Rasūl-Nya serta Islam, bukan lantaran suami dari harta?” Bila mereka mengiyakan pertanyaan tersebut, maka kedatangannya tidak ditolak.
Jawaban dari pertanyaan tersebut pun bervariasi. Ada yang menjawab – menurut sebagian riwayat: “Saya tidak keluar (Hijrah) kecuali hanya karena cinta kepada Allah dan Rasūl-Nya; Saya tidak keluar lantaran mengejar harta atau benci suami atau, jawaban tersebut bisa berupa kalimat syahadat (saya bersaksi tiada tuhan selain Allah dan Muḥammad adalah utusan Allah).
Pada saat di Makkah, Ummu Kultsūm belum mempunyai suami. Setibanya di Madīnah (setelah Hijrah) dia diperistri oleh Zaid kemudian oleh ‘Abd-ur-Raḥmān bin ‘Auf. Sepeninggal ‘Abd-ur-Raḥmān, datanglah ‘Amru ibn-ul-‘Āsh menikahinya sampai dia (Ummu Kultsūm) meninggal.
Dalam Ishābah, sebagaimana dalam riwayat Ibnu Mundih, ‘Umar ibn-ul-Khaththāb pernah bertanya kepada Ummu Kultsūm binti ‘Uqbah, istri ‘Abd-ur-Raḥmān bin ‘Auf: “Apakah benar Rasūlullāh s.a.w. pernah berkata kepada anda: Nikahlah dengan pemimpin kaum muslimin, ‘Abd-ur-Raḥmān bin ‘Auf?” Dia (Ummu Kultsūm) menjawab: “Ya.”
Dalam periwayatan hadits, Ummu Kultsūm juga meriwayatkan sepuluh hadits dari Rasūlullāh s.a.w., satu di antaranya termasuk hadits Muttafaq ‘alaih. Imām an-Nasā’ī dalam Sunan al-Kubrā, juga meriwayatkan hadits darinya tentang keutamaan surah al-Ikhlāsh.
Demikianlah sosok kepribadian dan keutamaan Ummu Kultsūm binti ‘Uqbah yang telah beriman terlebih dahulu sebelum keluarganya. Ia korbankan masa remajanya, ia tinggalkan keluarga dan kampung halamannya, ia tempuh ganasnya padang pasir antara Makkah-Madīnah demi sebuah cinta; cinta Allah dan Rasūl-Nya.
Jawaban Ummu Kultsūm saat ditanya oleh Rasūlullāh s.a.w. tentang motivasi hijrahnya hendaknya menjadi stimulus dan penerang bagi muslimah di zaman sekarang dalam setiap langkahnya.