Hati Senang

3-4 Sifat Wajib Bagi Allah – Mukhalafah lil-Hawadits – Terjemah Syarh Umm al-Barahin

MENUJU KEBENINGAN TAUHID BERSAMA AS-SANUSI
Terjemah Syarḥ Umm-ul-Barāhin
Penulis: Al-Imam Muhammad bin Yusuf as-Sanusi


Penerjemah: Ahmad Muntaha AM.
Penerbit: Santri Salaf Press-Kediri

4. Mukhālafah lil-Ḥawādits.

[صـــ] (وَ مُخَالَفَتُهُ تَعَالَى لِلْحَوَادِثِ)

(4). Mukhālafah lil-Ḥawādits. (Berbeda dengan semua makhluk).

 

Syarḥ.

[شــــ] أَيْ لَا يُمَاثِلُهُ تَعَالَى شَيْءٌ مِنْهَا مُطْلَقًا، لَا فِي الذَاتِ وَ لَا فِي الصِّفَاتِ وَ لَا فِي الْأَفْعَالِ.

Maksudnya tidak ada satupun makhluk yang menyamai Allah ta‘ālā secara mutlak, tidak sama dalam dzāt, shifat, maupun perbuatannya.

قَالَ اللهُ تَعَالَى: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ.

Allah ta‘ālā: “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (351)

فَأَوَّلُ هذِهِ الْآيَةِ تَنْزِيْهٌ وَ آخِرُهَا إِثْبَاتٌ، فَصَدْرُهَا يَرُدُّ عَلَى الْمُجَسِّمَةِ وَ أَضْرَابِهِمْ، وَ عَجْزُهَا يَرُدُّ عَلَى الْمُعَطِّلَةِ النَّافِيْنَ لِجَمِيْعِ الصِّفَاتِ.

Bagian awal ayat ini merupakan tanzīh (penyucian Allah dari menyerupai makhluk), dan bagian akhirnya menetapkan (sifat Maha Mendengar dan Maha Melihat bagi Allah). Maka bagian awalnya menolak kaum Mujassimah dan berbagai variannya, dan bagian akhirnya menolak kaum Mu‘ththilah yang menafikan seluruh sifat-sifat Allah.

وَ حِكْمَةُ تَقْدِيْمِ التَّنْزِيْهِ فِي الْآيَةِ وَ إِنْ كَانَ مِنْ بَابِ تَقْدِيْمِ السَّلْبِ عَلَى الْإِثْبَاتِ، وَ إِنْ كَانَ الْأَوْلَى فِيْ كَثِيْرٍ مِنَ الْمَوَاطِنِ الْعَكْسَ، أَنَّهُ لَوْ بَدَأَ بِالسَّمْعِ وَ الْبَصَرِ لَأَوْهَمَ التَّشْبِيْهَ، إِذِ الَّذِيْ يُؤَلَّفُ فِي السَّمْعِ أَنَّهُ بِأُذُنٍ، وَ فِي الْبَصَرِ – أَنَّهُ بِحَدْقَةٍ، وَ أَنَّ كُلًّا مِنْهُمَا إِنَّمَا يَتَعَلَّقُ فِي الشَّاهِدِ بِبَعْضِ الْمَوْجُوْدَاتِ دُوْنَ بَعْضٍ، وَ عَلَى صِفَةٍ مَخْصُوْصَةٍ مِنْ عَدَمِ الْبُعْدِ جِدًّا وَ نَحْوِ ذلِكَ.

Hikmah mendahulukan tanzīh pada ayat tersebut – meskipun termasuk mendahulukan penafian daripada pentetapan, meskipun yang lebih utama dalam beberapa tempat adalah sebaliknya – adalah andaikan al-Qur’ān memulai dengan menyebutkan sifat mendengar dan melihat, niscaya akan mengesankan keserupaan Allah terhadap makhluk. Sebab yang segera dipahami dalam sifat mendengar adalah mendengar dengan telinga, dan dalam sifat melihat adalah melihat dengan bola mata, sementara masing-masing dari keduanya dalam hal yang dapat disaksikan hanya berhubungan dengan sebagian makhluk dan tidak berhubungan dengan yang lainnya; dan hanya pada sifat tertentu seperti tidak adanya jarak yang jauh sekali dan semisalnya.

فَبَدَأَ فِي الْآيَةِ بِالتَّنْزِيْهِ لِيُسْتَفَادَ مِنْهُ نَفْيُ التَّشْبِيْهِ لَهُ تَعَالَى مُطْلَقًا، حَتَّى فِي السَّمْعِ وَ الْبَصَرِ – اللَّذَيْنِ ذُكِرَا بَعْدُ. فَإِنَّ سَمْعَهُ وَ بَصَرَهُ – لَيْسَا كَسَمْعِ الْخَلَائِقِ وَ بَصَرِهِمْ، لِأَنَّ سَمْعَعُ تَعَالَى وَ بَصَرَهُ صِفَتَانِ قَائِمَتَانِ بِذَاتِهِ الْعَلِيَّةِ الَّتِيْ يَسْتَحِيْلُ عَلَيْهَا الْجِرْمِيَّةُ وَ الْجَارِحَةُ وَ لَوَازِمُهَا، وَاجِبَتَا الْقِدَمِ وَ الْبَقَاءِ مُتَعَلِّقَتَانِ بِكُلِّ مَوْجُوْدٍ قَدِيْمًا كَانَ أَوْ حَادِثًا، ذَاتًا كَانَ أَوْ صِفَةً، ظَاهِرًا كَانَ أَوْ بَاطِنًا.

Maka dalam al-Qur’ān memulai dengan penyebutan tanzīh agar darinya dipahami penafian keserupaan Allah ta‘ālā dengan makhluk secara mutlak, sampai pada sifat mendengar dan melihat yang disebutkan setelahnya. Sebab mendengar dan melihatnya Allah tidak seperti mendengar dan melihatnya makhluk, karena mendengar dan melihatnya Allah ta‘ālā merupakan sifat yang ada pada Dzāt-Nya Yang Maha Luhur yang mustahil ada unsur fisik, anggota tubuh, dan berbagai kelazimannya, yang wajib (pasti) qidam dan baqā’, yang berhubungan dengan setiap wujūd yang bersifat qadīm maupun ḥādits, yang berupa dzāt maupun sifat; dan lahir maupun batin.

Catatan:

  1. 35). QS. Asy-Syūrā: 11.
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.