3-3 Sifat Wajib Bagi Allah – Baqa’ – Terjemah Syarh Umm al-Barahin

MENUJU KEBENINGAN TAUHID BERSAMA AS-SANUSI
Terjemah Syarḥ Umm-ul-Barāhin
Penulis: Al-Imam Muhammad bin Yusuf as-Sanusi

Penerjemah: Ahmad Muntaha AM.
Penerbit: Santri Salaf Press-Kediri

Rangkaian Pos: 003 Sifat Wajib Bagi Allah - Terjemah Syarh Umm al-Barahin

3. Baqā’.

[صـــ] (وَ الْبَقَاءُ)

(3). Baqā. (abadi).

 

Syarḥ.

[شــــ] هُوَ عِبَارَةٌ عَنْ سَلْبِ الْعَدَمِ اللَّاحِقِ لِلْوُجُوْدِ، وَ إِنْ شِئْتَ قُلْتَ: هُوَ عِبَارَةٌ عَنْ عَدَمِ الْآخِرِيَّةِ لِلْوُجُوْدِ، وَ الْعِبَارَتَانِ بِمَعْنَى وَاحِدٍ.

Yaitu merupakan ungkapan dari menafikan ketiadaan yang terjadi setelah wujūd. Bila mau anda dapat mengatakan: “Baqā’ merupakan ungkapan dari tidak adanya batas akhir bagi wujūd Allah.” Kedua ungkapan ini satu makna.

وَ بَعْضُ الْأَئِمَّةِ يَقُوْلُ مَعْنَى الْبَقَاءِ فِيْ حَقِّهِ تَعَالَى اسْتِمْرَارُ الْوُجُوْدِ فِي الْمُسْتَقْبَلِ إِلَى غَيْرِ نِهَايَةٍ كَمَا أَنَّ مَعْنَى الْقِدَمِ فِيْ حَقِّهِ تَعَالَى اسْتِمْرَارُ الْوُجُوْدِ فِي الْمَاضِيْ إِلَى غَيْرِ نِهَايَةٍ.

Sebagian Imām mengatakan, bahwa makna Baqā’ bagi Allah ta‘ālā adalah terus-menerusnya wujūd Allah pada masa mendatang tanpa batas, sebagaimana makna qidam bagi Allah ta‘ālā adalah terus-menerusnya wujūd Allah pada masa lalu tanpa batas awal.

وَ كَأَنَّ هذِهِ الْعِبَارَةَ يَجْنَحُ قَائِلُهَا إِلَى أَنَّ الْقِدَمَ وَ الْبَقَاءَ صِفَتَانِ نَفْسِيَّتَانِ، لِأَنَّهَا عِنْدَهُ الْوُجُوْدُ الْمسْتَمِرُّ فِي الْمَاضِيْ وَ الْمُسْتَقْبَلِ، وَ الْوُجُوْدُ نَفْسِيٌّ – ، لِعَدَمِ تَحَقُّقِ الذَّاتِ بِدُوْنِهِ. وَ هذَا الْمَذْهَبُ ضَعِيْفٌ، لِأَنَّهُمَا لَوْ كَانَتَا نَفْسِيَّتَيْنِ لَزِمَ أَنْ لَا تُعْقَلَ الذَّاتُ بِدُوْنِهِمَا وَ ذلِكَ بَاطِلٌ بِدَلِيْلَ الذَّاتَ يُعْقَلُ وُجُوْدُهَا، ثُمَّ يُطْلَبُ الْبُرْهَانُ عَلَى وُجُوْبِ قِدَمِهَا وَ بَقَائِهَا.

Seolah-olah ungkapan ini mengesankan pengucapnya beranggapan, bahwa qidam dan baqā’ merupakan sifat nafsiyyah. Sebab menurutnya keduanya merupakan wujūd yang terus-menerus di masa lalu dan masa mendatang, dan wujūd adalah sifat nafsiyyah karena tanpanya dzāt tidak akan nyata. Pendapat ini lemah, sebab bila keduanya merupakan sifat nafsiyyah, maka memastikan bahwa tidak dapat diterima akal wujūdnya Dzāt tanpa keduanya. Hal tersebut bāthil dengan argumen, bahwa wujūd dzāt (tanpa keduanya) bisa diterima akal, kemudian baru dicari bukti atas wajibnya qidam dan baqā’-nya.

وَ شَذَّ قَوْمٌ فَقَالُوْا: إِنَّ الْقِدَمَ وَ الْبَقَاءَ صِفَتَانِ مَوْجُوْدَتَانِ تَقُوْمَانِ بِالذَّاتِ كَالْعِلْمِ وَ الْقُدْرَةِ، وَ لَا يَخْفَى ضُعْفُهُ، لِأَنَّهُ يَلْزَمُ عَلَيْهِ أَنْ يَكُوْنَا قَدِيْمَيْنِ أَيْضًا بِقِدَمٍ آخَرَ مَوْجُوْدٍ، وَ بَاقِيَيْنِ أَيْضًا بِبَقَاءٍ آخَرَ مَوْجُوْدٍ، ثُمَّ يَنْتَقِلُ الْكَلَامُ إِلَى هذَا الْقِدَمِ الْآخَرِ وَ هذَا الْبَقَاءُ الْآخَرُ، فَيَلْزَمُ فِيْهِمَا مَا لَزِمَ فِي الْأَوَّلَيْنِ، وَ يَلْزَمُ التَّسَلْسُلُ.

Ada segolongan orang yang menyimpang. Mereka berpendapat, bahwa qidam dan baqā’ merupakan sifat yang wujūd yang ada pada Dzāt Allah, seperti ‘ilmu dan qudrah. Tidak samar lagi kelemahan pendapat ini, sebab memastikan bahwa keduanya juga bersifat qadīm karena sifat qidam lain yang wujūd (sebagaimana ‘ilmu dan qudrah), dan bersifat juga baqā’ karena sifat baqā’ lain yang wujūd (sebagaimana ‘ilmu dan qudrah), kemudian pembahasannya beralih pada: ini adalah qidam dan baqā’ lain, maka dalam keduanya terdapat kelaziman yang ada qidam dan baqā’ yang pertama dan menetapkan tasalsul.

وَ أَضْعَفُ مِنْ هذَا الْقَوْلِ قَوْلُ مَنْ فَرَّقَ وَ قَالَ: الْقِدَمُ سَلْبِيٌّ وَ الْبَقَاءُ وُجُوْدِيٌّ.

Yang lebih lemah dari pendapat ini adalah pendapat orang yang membedakan antara qidam dan baqā’. Ia menyatakan bahwa qidam adalah sifat salbiyyah dan baqā’ adalah sifat wujūdiyyah.

وَ الْحَقُّ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْمُحَقِّقُوْنَ أَنَّهُمَا صِفَتَانِ سَلْبِيَّتَانِ، أَيْ كُلٌّ مِنْهُمَا عِبَارَةٌ عَنْ سَلْبِ مَعْنًى لَا يَلِيْقُ بِهِ تَعَالَى، وَ لَيْسَ لَهُمَا مَعْنًى مَوْجُوْدٌ فِي الْخَارِجِ عَنِ الذِّهْنِ.

Pemahaman yang benar yang dipedomani ulama muḥaqqiqūn adalah keduanya merupakan sifat salbiyyah. Maksdunya masing-masing dari keduanya merupakan ungkapan dari menafikan makna yang tidak pantas bagi Allah ta‘ālā, dan keduanya tidak mempunyai makna yang maujūd dalam kenyataan (dapat dilihat secara kasat mata) dari hati.

2 Komentar

  1. Finn berkata:

    Ustadz, saya izin share boleh ga?

    1. Muslim Administrator berkata:

      Bismillah.

Tinggalkan Balasan ke Finn Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *