Menyambung Tangan yang Terputus
Suatu hari Rasūlullāh Saw. pergi keluar Madīnah. Di tengah perjalanan, beliau melihat seorang laki-laki sedang menimba air untuk memberi minum untanya. Rasūlullāh Saw. bertanya: “Apakah kau ingin mengupah seseorang untuk membantumu menimba air?”
“Ya benar, aku akan memberi tiga butir kurma untuk satu ember air.”
Rasūlullāh Saw. setuju dan mulai menimba air untuk mendapatkan beberapa butir kurma. Setelah menimba beberapa ember air, tali timba terputus dan jatuh ke sumur. Lelaki itu marah dan melontarkan sumpah serapah kepada beliau. Bahkan ia menampar wajah Baginda yang mulia, lalu memberikan 24 butir kurma sebagai upah. Laki-laki itu menampar wajah yang mulia, padahal beliau telah berusaha keras mengambil kembali ember dan tali timba itu dari dalam sumur. Beliau telah melakukan berbagai upaya untuk mengambilnya.
Setelah Rasūlullāh Saw. pergi, laki-laki itu teringat pada keburukan yang telah dilakukannya. Ia telah menyakiti seseorang yang sama sekali tidak bersalah. Ia menampar wajah orang itu, padahal ia sendiri melihat kesungguhan dan kesabaran orang itu saat berusaha mengambil ember yang terjatuh ke dalam sumur. Ia sadar, ia telah melakukan kejahatan dengan menampar wajah yang mulia. Ia sadar, orang yang diupahnya itu sama sekali tidak bersalah. Dirinyalah yang bersalah karena telah berbuat aniaya kepadanya. Maka, ia manghunus pedangnya sendiri dan menebaskannya pada tangan yang telah menampar wajah yang mulia itu. Seketika tangannya terputus. Darah mengucur deras, dan ia pun jatuh pingsan. Tidak lama berselang datang melintas satu rombongan kafilah. Mereka melihat seorang laki-laki terkapar di tanah dengan tangan yang terputus. Mereka membalut dan berusaha menghentikan aliran darah laki-laki itu. Kemudian, mereka memercikkan air pada wajahnya sehingga ia siuman dari pingsannya.
Setelah laki-laki bangun, mereka bertanya: “Apa yang terjadi padamu?”
“Tadi aku menampar wajah seseorang yang ciri-cirinya anu dan anu. Namun, orang itu sama sekali tidak marah atau membalas perbuatanku. Sekarang aku takut akan mendapatkan siksa dan balasan sehingga kupotong sendiri tanganku.”
“Taukah kau, siapa orang yang tadi kautampar itu?” Tanya mereka.
“Tidak.”
“Ialah Muḥammad. Nabi dan Rasūl terakhir yang diutus Allah.”
Mendengar keterangan kafilah itu, kontan saja ia terhenyak! Ia pun menanyakan keberadaan Rasūlullāh Saw
Kemudian, ia mengambil potongan tangannya dan bergegas pergi menuju Madīnah untuk menemui Rasūlullāh Saw. Tiba di Madīnah, ia melihat para sahabat duduk bersama di suatu tempat.
Para sahabat bertanya: “Apa keperluanmu?”
“Aku ingin bertemu Muḥammad. Aku ada suatu keperluan dengannya.”
Salmān al-Fārisī mengantar lelaki itu kepada Rasūlullāh Saw. Saat duduk berhadapan, ia mengungkapkan penyesalannya yang besar karena telah menampar wajah beliau.
“Mengapa kaupotong tanganmu?” tanya Rasūlullāh.
“Aku tidak menginginkan tangan yang telah kupakai untuk menampar wajah beliau,” jelasnya.
“Masuklah agama Islam,” ajak Rasūlullāh Saw.
“Jika kau benar-benar dalam kebenaran, sambungkanlah tanganku yang terputus ini.”
Rasūlullāh Saw. mengucapkan: “Bismillāh-ir-raḥmān-ir-raḥīm” sambil menyambungkan potongan tangan lelaki itu. Dan tangan yang terputus itu menyatu kembali seperti tak pernah mendapatkan sedikit pun luka sebelumnya. Maka laki-laki itu pun langsung mengucapkan dua kalimat syahadat.[]