3-2 Asma’ Binti Abi Bakar ash-Shiddiq – Perempuan-perempuan Mulia di Sekitar Rasulullah SAW

Perempuan-perempuan Mulia di Sekitar Rasulullah s.a.w.
(Judul Asli: Nisā’u Ḥaul-ar-Rasūl s.a.w.; al-Qudwat-ul-Ḥasanati wal-Uswat-uth-Thayyibah li Nisā’-il-Usrat-il-Muslimah).
Oleh: Muhammad Ibrahim Salim.

Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, Zahrul Fata
Penerbit: GEMA INSANI PRESS

Rangkaian Pos: 003 Wanita Muslimah Teladan Sebagai Putri | Perempuan-perempuan Mulia di Sekitar Rasulullah SAW

2. ASMĀ’ BINTI ABĪ BAKAR ASH-SHIDDĪQ

Dialah sosok wanita pejuang yang mulia, cerdas, dan tidak mudah menyerah. Dilahirkan 27 tahun sebelum Hijrah. Usianya sepuluh tahun lebih tua dari ‘Ā’isyah saudarinya seayah (lain ibu). Sedangkan, ‘Abdullāh bin Abī Bakar adalah saudara kandung Asmā’.

Asmā’ mendapat julukan “Dzāt-un-Nithāqaini” “wanita yang mempunyai dua selendang” karena telah menyobek selendangnya menjadi dua helai. Satu helai untuk tempat makanan Rasūlullāh s.a.w. dan satu helai yang lain untuk menutupi wajahnya. Peristiwa itu terjadi pada malam hijrah di mana Rasūlullāh s.a.w. dan Abū Bakar sedang bersiap-siap menuju Gua Tsūr.

Ketika terjadi peperangan antara kaum muslimin dan penduduk Syām, mereka (penduduk Syām) mengejek ‘Abdullāh ibn-uz-Zubair (putra Asmā’) dengan julukan ibunya “Dzāt-un-Nithāqaini”. Ketika ‘Abdullāh mengadukan hal tersebut kepada ibunya, dia membenarkan apa yang dikatakan penduduk Syām. Demikian juga yang dikatakan Asmā’ saat al-Ḥajjāj berkata: “Saya mendengar putramu dipanggil dengan sebutan “Dzāt-un-Nithāqaini” benarkah itu?” Asmā’ menjawab: “Benar, dulu saya mempunyai selendang sebagaimana wanita yang lain. Pada malam hijrah, selendang tersebut saya sobek menjadi dua helai. Satu helai untuk menutupi makanan Rasulullah s.a.w. dan satu helai yang lainnya untuk saya pakai sebagai keharusan bagi wanita.”

Asmā’ masuk Islam pada saat dia masih di Makkah, setelah 17 orang sahabat masuk Islam terlebih dahulu. Dia juga termasuk salah seorang wanita yang membaiat Rasūlullāh s.a.w.

Pribadi yang Islami

Di antara kepribadian Asmā’ yang islami, yaitu suatu hari ketika Qutailah binti ‘Abd-ul-‘Uzzā – bekas istri Abū Bakar yang dicerainya pada masa jahiliah – datang ke Zainab untuk memberinya hadiah berupa kismis, mentega, dan anting-anting. Namun Asmā’ ragu menerima hadiah tersebut, bahkan ragu mempersilakan Qutailah masuk rumah. Kemudian Asmā’ mengutus ‘Ā’isyah ke Rasūlullāh s.a.w. guna menanyakan hal tersebut kepada beliau. Tidak lama kemudian ‘Ā’isyah datang dan berkata: “Hendaknya Asma’ menerima hadiah tersebut dan mempersilakan Qutailah untuk masuk rumah.”

Contoh lain dari kepribadian Asmā’ yang patut diteladani, yaitu ketika Abū Bakar r.a. membawa seluruh hartanya sekitar lima sampai enam ribu dirham pada saat hijrah dengan Rasūlullāh s.a.w. Setelah Abū Bakar pergi, datanglah Abū Quḥāfah, kakek Asmā’ yang buta, ke rumah Asmā’ dan berkata: “Demi Allah, saya telah mendengar bahwa Abū Bakar telah meninggalkanmu pergi dengan membawa seluruh hartanya.” “Tidak demikian wahai kakekku. Sesungguhnya dia telah menyisakan buat kami harta yang banyak.” Jawab Asmā’ sambil mengambil beberapa kerikil batu untuk diletakkan di lubang dinding, tempat di mana Abū Bakar biasa menaruh uangnya di situ. Setelah menutupi kerikil tersebut dengan sehelai kain, ‘Asmā’ mengambil tangan kakeknya untuk diusapkan ke tumpukan kerikil yang ditutupi kain tersebut seraya berkata: “Sekarang, usapkan tangan kakek di atas harta ini.” Pada saat itu kakeknya berkata: “Kalau memang dia (Abū Bakar) telah meninggalkan harta buat kamu, sesungguhnya yang demikian itu hal yang baik.”

Apa yang dilakukan Asmā’ terhadap kakeknya hanya untuk menyenangkan dan menenangkan hati kakeknya. Padahal Abū Bakar sama sekali tidak meninggalkan sesuatu pun buat keluarganya.

Pada saat Zubair ibn-ul-‘Awwām menikahi Asmā’, Zubair tidak mempunyai apa pun, baik tanah, harta, maupun budak kecuali hanya seekor kuda yang oleh Asmā’ selalu diberi makan, dirawat bahkan sesekali dimandikan.

Zubair terkenal dengan ketegasannya termasuk dengan istrinya sehingga suatu hari, Asmā’ datang ke ayahnya guna mengadukan perihal suaminya. Dengan bijaksana ayahnya berkata: “Sabarlah wahai putriku, sesungguhnya apabila seorang istri yang ditinggal mati suami yang saleh dan istri tersebut tidak menikah lagi setelahnya, Allah akan mengumpulkan kedua pasangan tersebut (nanti) di surga.”

Suatu hari, datanglah Asmā’ menemui Rasūlullāh s.a.w. dan bertanya: “Wahai Rasūlullāh, tidak ada sesuatu yang berharga di rumah saya kecuali apa (kuda) yang dibawa Zubair. Bolehkah saya memberikan sebagian pendapatan saya kepadanya?” Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Berikanlah sebatas kemampuanmu dan jangan bakhil sehingga orang lain akan bakhil kepadamu.

Asmā’ binti Abī Bakar adalah salah satu wanita yang terkenal dengan kemurahan hatinya sebagaimana yang dikatakan ‘Abdullāh ibn-uz-Zubair: “Saya tidak pernah melihat wanita sebaik ‘Ā’isyah dan Asmā’, meskipun sisi kebaikan mereka berbeda. Kalau ‘Ā’isyah, dia tidak akan menginfakkan hartanya kecuali harta tersebut sudah terkumpul. Sedang Asmā’, dia tidak pernah memegang sedikit persediaan harta untuk besok hari (selalu menginfakkan apa yang dimilikinya hari itu).”

Dalam kancah peperangan, peran Asmā’ pun tidak bisa diremehkan terutama saat Perang Yarmuk, yakni ketika dia berjuang bersama suaminya (Zubair ibn-ul-Awwām). Pada saat terjadi fitnah di masa Sa‘īd bin ‘Āsh, Asmā’ bersiap-siap dengan sebilah pisau besar di tangannya. Ketika ditanya: “Apa yang akan anda perbuat dengan pisau itu?” Asmā’ menjawab: “Apabila ada pencuri yang masuk, akan saya tusuk perutnya dengan pisau ini.”

Pada masa pemerintahan ‘Umar ibn-ul-Khaththāb, Asmā’ mendapat hadiah sebesar seribu dirham dari khalifah.

Dalam periwayatan hadits, Asmā’ juga meriwayatkan hadits dari Rasūlullāh s.a.w. sebanyak 58 hadits (81); dalam riwayat lain dikatakan sebanyak 56 hadits.

Kepujanggaan dan Kerevolusionerannya

Asmā’ adalah seorang penyair berpengaruh yang mempunyai ideologi dan paparan yang bagus. Dia pernah berpantun tentang suaminya, Zubair, ketika dibunuh oleh ‘Amru bin Jarmūz al-Majasyī di daerah Wadi Siba’ (sebuah tempat ± 5 mil dari Bashrah) tatkala ia pulang dari Wāqi‘at-ul-Jamal “Perang Unta”,

“Ibnu Jarmūz telah mengkhianati seorang tentara yang tidak siap yang baru pulang dari medan perang.

Wahai ‘Amru, seandainya engkau memberitahukannya sebelumnya, niscaya engkau akan dapati dirinya bukan tentara yang sembarangan, yang tangguh perisainya, juga kemampuannya.

Matilah engkau, jika engkau membunuh seorang muslim karena saat itu engkau terkena ḥadd atas pembunuhan secara sengaja.”

Kemurahan dan Kemuliaannya

Asmā’ adalah wanita pemurah dan mulia Dia tidak sempat menyimpan hartanya untuk hari esok dan sering memelihara orang sakit serta membebaskan para budak di tangannya.

Keteguhan Niatnya, Kemuliaan Diri, dan Keberaniannya

Kata-kata berikut ini akan menerangkan kita tentang keteguhan, kemuliaan, dan keberanian Asmā’, yaitu kata-kata yang diucapkannya kepada putranya. Saat itu, Asmā’ sudah dalam keadaan buta karena usianya yang sudah menginjak 100 tahun. Suatu hari, putranya ‘Abdullāh mendatanginya. ‘Abdullāh berkata:

“Wahai ibuku, orang-orang telah mengecewakanku dalam medan perjuangan, demikian juga keluargaku, maka bagaimana pendapatmu?”

Asmā’ menjawab:

“Teruskanlah perjuanganmu. Jangan biarkan bocah-bocah Bani Umayyah mempermainkanmu. Hiduplah dalam keadaan mulia dan matilah dalam keadaan mulia pula. Demi Allah, saya berharap kamu akhiri kehidupan ini dengan baik.”

Setelah mendengar nasihat ibunya, berangkatlah ‘Abdullāh berjuang di medan perang sampai terbunuh. Dikisahkan bahwa al-Ḥajjāj – dari Bani Umayyah – bersumpah tidak akan menurunkan jenazah ‘Abdullāh dari panggung sampai ibunya memohon kepada al-Ḥajjāj agar menurunkan jenazah putranya. Setelah berlalu selama setahun kemudian, ibunya lewat di bawah panggung tersebut seraya berkata: “Sekarang, bukankah sudah tiba waktunya untuk menurunkan jenazah ini.”

Setelah jenazah ‘Abdullāh dimakamkan, al-Ḥajjāj berkata kepada Asmā’: “Bagaimana pendapatmu tentang apa yang saya perbuat pada anakmu?” Asmā’ menjawab: “Engkau telah merusak dunianya dan dia (anakku) telah merusak akhiratmu!”

Asmā’ meninggal di Makkah dalam usia seratus tahun dengan kondisi gigi yang masih lengkap dan akal yang tidak pikun. (92)

Seorang penyair terkenal Musthafā Luthfi al-Manfaluthi menggambarkan apa yang terjadi antara Asmā’ dan ‘Abdullāh dalam sebuah kasidah yang mengandung estetika seni yang sangat indah,

“Sesungguhnya Asmā’ – di antara semua makhluk – adalah sebaik-baik wanita. Dia meninggalkan kesan terbaik tatkala meninggal.

Ibnu Zubair mendatanginya dengan menanggalkan baju besi yang berlumuran darah.

Dia berkata: “Wahai ibu, saya sedang dilema; antara (menjadi) tawanan yang menyengsarakan atau mati yang mengenaskan.

Saya telah dikhianati oleh kawan dan zaman, maka saya tidak mempunyai lagi sesuatu kecuali pedang ini.

Saya melihat bintangku yang dulu bersinar sekarang telah menghilang dan tak akan muncul lagi.

Di saat para kaum telah melindungiku, mengapa saya harus berpaling dari mereka untuk mencari seorang penolong.”

Asmā’ menjawab: “Dan pelupuk mata menjadi kering seakan-akan tidak pernah teraliri oleh air mata.

Air mata itu seakan-akan menguap dari sumbernya yang gundah.

Jangan pernah menyerah kecuali demi kehidupan (yang lebih mulia) sehingga kamu tidak dianggap patung atau yang terbelenggu.

Sesungguhnya, mati di medan perang itu lebih baik bagimu daripada hidup yang hina-dina.

Seandainya seluruh manusia telah menghapus jasamu maka bersabarlah dan beristiqamahlah karena Allah tidak akan menafikan jasa hamba-Nya.

Matilah sebagai pemberani sebagaimana kamu hidup sebagai seorang pemberani, dan tumbuhkanlah dalam benakmu kemuliaan yang tinggi.

Tidak ada antara hidup dan mati kecuali hanya putaran yang bergilir di antara manusia.”

Suatu hari ‘Abdullāh (putra Asmā’) berkata kepada ibunya: “Wahai ibuku, saya takut apabila dibunuh oleh orang Syām, mereka akan menyalib saya.” Mendengar pengaduan anaknya, Asmā’ dengan ketegaran jiwanya dan kekuatan imannya, berkata kepada putranya: “Wahai anakku sesungguhnya kambing tidak berbahaya lagi tanduknya setelah ia disembelih.”

Kata-kata itulah yang masih terus terngiang-ngiang di telinga putranya bagaikan cahaya yang senantiasa menerangi setiap langkahnya.

Al-Manfaluthi mengakhiri kasidahnya dengan untaian katanya:

Dan dia (‘Abdullāh) mendatangi ibunya telah banyak berkorban (demi putranya) dan untaian air mata pun menetes tersendat-sendat.”

Akhirnya, ‘Abdullāh mati syahid berkat didikan luhur seorang ibu teladan. Kisah mereka berdua masih terus mewarnai lembaran-lembaran sejarah yang mencatat orang-orang yang kekal.

Catatan:

  1. 8). Lihat al-Anwār karangan al-Kazirunī.
  2. 9). Thabaqātu Ibni Sa‘ad, Tārīkh-uth-Thabarī, al-Ishābah, dan Sīrah Ibni Hisyām.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *