Hati Senang

3-19 Fardhu-fardhu Shalat & Rukun-rukunnya (3/3) – Fiqih Lima Madzhab

FIQIH LIMA MADZHAB
(Ja‘farī, Ḥanafī, Mālikī, Syāfi‘ī, Ḥanbalī)
(Judul Asli: Al-Fiqhu ‘Alal-Madzāhib-il-Khamsah)
Oleh: Muhammad Jawad Mughniyah.


Penerjemah: Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus al-Kaff.
Penerbit: PT LENTERA BASRITAMA

Sujud

  1. Semua ulama madzhab sepakat bahwa sujud itu wajib dilakukan dua kali pada setiap rakaat. Mereka berbeda pendapat tentang batasnya. Apakah diwajibkan (yang menempel) itu semua anggota yang tujuh, atau hanya sebagian saja? Anggota tujuh itu adalah: Dahi, dua telapak tangan, dua lutut dan ibu jari dua kaki.

Mālikī. Syāfi‘ī dan Ḥanafī: Yang wajib (menempel) hanya dahi sedangkan yang lain-lainnya adalah sunnah. Imāmiyyah dan Ḥanbalī: Yang diwajibkan itu semua anggota yang tujuh, secara sempurna. Bahkan Ḥanbalī menambahkan hidung, hingga menjadi delapan.

Perbedaan juga terjadi pada tasbīḥ dan thuma’ninah di dalam sujud, sebagaimana dalam ruku‘. Maka madzhab yang mewajibkannya di dalam ruku‘ juga mewajibkannya di dalam sujud. Ḥanafī: Tidak diwajibkan duduk di antara dua sujud itu. Madzhab-madzhab yang lain: Wajib duduk di antara dua sujud itu.

Taḥiyyāt

  1. Taḥiyyāt di dalam shalat dibagi menjadi dua bagian: Pertama yaitu taḥiyyāt yang terjadi setelah dua rakaat pertama dari shalat Maghrib, ‘Isyā’, Zhuhur dan ‘Ashar dan tidak diakhiri dengan salam. Yang kedua adalah taḥiyyāt yang diakhiri dengan salam, baik pada shalat yang dua rakaat, tiga atau empat rakaat.

Imāmiyyah dan Ḥanbalī: Taḥiyyāt pertama itu wajib. Madzhab-madzhab lain: Hanya sunnah bukan wajib.

Sedangkan pada taḥiyyāt terakhir adalah wajib, menurut Syāfi‘ī, Imāmiyyah dan Ḥanbalī. Sedangkan menurut Mālikī dan Ḥanafī: Hanya sunnah, bukan wajib. (Bidāyat-ul-Mujtahid, jilid 1. halaman 125).

Kalimat (lafazh) taḥiyyāt menurut Ḥanafī:

التَّحِيَّاتُ للهِ وَ الصَّلَوَاتُ وَ الطَّيِّبَاتُ وَ السَّلَامُ

“Kehormatan itu kepunyaan Allah, shalawat dan kebaikan serta salam sejahtera”

عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَ رَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ.

“Kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”.

السَّلَامُ عَلَيْنَا وَ عَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ.

“Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami Dan kepada hamba-hamba Allah yang shaleh”.

اَشْهَدُ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ

“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah”.

وَ اَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ.

“Dan aku bersaksi bahwa Muḥammad adalah hamba-Nya da Rasūl-Nya”.

Menurut Mālikī:

التَّحِيَّاتُ للهِ الزَّاكِيَاتُ للهِ الطَّيَّبَاتُ الصَّلَوَاتُ للهِ.

“Kehormatan itu kepunyaan Allah, kesucian bagi Allah, kebaikan dan shalawat juga bagi Allah.

السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَ رَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ.

“Selain Sejahtera kepadamu, wahai Nabi, juga rahmat Allah dan barakah-Nya”.

السَّلَامُ عَلَيْنَا وَ عَلَى عِبَادِهِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ.

“Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami Dan kepada hamba-hamba Allah yang shaleh”.

اَشْهَدُ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ

“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa”.

لَا شَرِيْكَ لَهُ

“Tidak ada sekutu bagi-Nya”.

وَ اَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ.

“Dan aku bersaksi bahwa Muḥammad itu adalah hamba-Nya dan utusan-Nya”.

Menurut Syāfi‘ī:

التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ للهِ

“Kehormatan, barakah-barakah, shalawat dan kebaikan adalah kepunyaan Allah”.

السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَ رَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ.

“Salam sejahtera kepadamu wahai Nabi, juga rahmat Allah dan barakah-Nya”.

السَّلَامُ عَلَيْنَا وَ عَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ.

“Semoga kesejahteraan tercurah bagi kami dan bagi hamba-hamba Allah yang shaleh”.

اَشْهَدُ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ

“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah”.

وَ اَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ.

“Dan aku bersaksi bahwa junjungan kami Muḥammad adalah utusan Allah”.

Menurut Ḥanbalī:

التَّحِيَّاتُ لله وَ الصَّلَوَاتُ وَ الطَّيِّبَاتُ

“Kehormatan itu kepunyaan Allah, juga shalawat dan kebaikan”.

السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَ رَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ.

“Salam sejahtera kepadamu wahai Nabi, juga rahmat Allah dan barakah-Nya”

السَّلَامُ عَلَيْنَا وَ عَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ.

“Semoga kesejahteraan tercurah bagi kami dan juga bagi hamba-hamba Allah yang salah”.

اَشْهَدُ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ.

“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa tidak ada sekutu bagi-Nya”.

وَ اَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ.

“Dan aku bersaksi bahwa Muḥammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya”.

اللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ

“Ya Allah berikanlah shalawat kepada Muḥammad”.

Menurut Imāmiyyah:

اَشْهَدُ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ.

“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya”.

وَ اَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ.

“Dan aku bersaksi bahwa Muḥammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya”.

اللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّدٍ.

“Ya Allah sampaikan shalawat kepada Muḥammad dan keluarga Muḥammad”.

Mengucapkan Salām

  1. Syāfi‘ī, Mālikī dan Ḥanbalī: Mengucapkan salām adalah wajib. Ḥanafī: Tidak wajib, (Bidāyat-ul-Mujtahid, jilid 1. halaman 126). Dalam Imāmiyyah sendiri terjadi perbedaan pendapat: Ada sekelompok Imāmiyyah yang menyatakan wajib, sedangkan sebagian kelompok lainnya menyatakan hanya sunnah. Di antara orang yang menyatakan sunnah adalah Al-Mufīd, Syaikh ath-Thūsī, dan Al-‘Allāmah Al-Ḥillī.

Menurut empat madzhab, kalimatnya sama yaitu:

السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَ رَحْمَةُ اللهِ.

“Semoga kesejahteraan dan rahmat Allah tercurah pada kalian”

Ḥanbalī: Wajib mengucapkan salām dua kali, sedangkan yang lain hanya mencukupkan satu kali saja yang wajib.

Imāmiyyah: Mengucapkan (menyampaikan) salām itu ada dua lafazh (kalimat). Pertama:

السَّلَامُ عَلَيْنَا وَ عَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ.

“Semoga kesejahteraan tercurah bagi kami dan bagi para hamba Allah yang saleh”. Kedua:

السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَ رَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ.

“Semoga kesejahteraan tercurah bagi kamu sekalian, dan rahmat Allah, dan barakah-Nya”.

Yang wajib itu adalah salah satu, jika telah membaca yang pertama, maka yang kedua itu disunnahkan. Dan jika membaca yang kedua, cukup dengan membaca itu saja dan berhenti di situ.

Sedangkan salām:

السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَ رَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ.

bukan salām yang harus dibaca pada waktu shalat, hanya disunnahkan membacanya setelah tasyahhud.

Tertib

  1. Diwajibkan tertib antara bagian-bagian shalat. Maka Takbīrat-ul-Iḥrām wajib didahulukan dari bacaan al-Qur’ān (salam atau al-Fātiḥah), sedangkan membaca al-Fātiḥah wajib didahulukan dari hukum dan ruku‘, didahulukan dari sujud begitu seterusnya.

Berturut-turut

  1. Diwajibkan mengerjakan bagian-bagian shalat secara berurutan dan langsung, juga antara satu bagian dengan bagian yang lain. Artinya membaca al-Fātiḥah langsung setelah bertakbir (Takbīrat-ul-Iḥrām) tanpa ada antara (selingan). Dan mulai ruku‘ setelah membaca al-Fātiḥah atau ayat al-Qur’ān, tanpa selingan, begitu seterusnya. Juga tidak boleh ada selingan lain, antara ayat-ayat, kalimat-kalimat dan huruf-huruf.
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.