3-19 Fardhu-fardhu Shalat & Rukun-rukunnya (2/3) – Fiqih Lima Madzhab

FIQIH LIMA MADZHAB
(Ja‘farī, Ḥanafī, Mālikī, Syāfi‘ī, Ḥanbalī)
(Judul Asli: Al-Fiqhu ‘Alal-Madzāhib-il-Khamsah)
Oleh: Muhammad Jawad Mughniyah.

Penerjemah: Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus al-Kaff.
Penerbit: PT LENTERA BASRITAMA

Rangkaian Pos: 3-19 Fardhu-fardhu Shalat & Rukuk-rukunnya

Bacaan

  1. Ulama madzhab berbeda pendapat, apakah membaca al-Fātiḥah Itu diwajibkan pada setiap rakaat, atau pada setiap dua rakaat pertama saja, atau diwajibkan secara aini (yang harus pada setiap orang) pada semua rakaat? Apakah Basmalah itu merupakan bagian yang harus dibaca atau boleh ditinggalkannya? Apakah semua bacaan yang dibaca dengan nyaring atau lemah pada tempatnya adalah wajib atau sunnah? Apakah wajib membaca surat al-Qur’ān setelah al-Fātiḥah pada dua rakaat pertama atau tidak? Apakah membaca tasbīḥ (Subḥānallāh) dapat mengganti kedudukan surat? Apakah menyilangkan dua tangannya itu disunahkan atau diharamkan? dan seterusnya.

Ḥanafī: Membaca al-Fātiḥah dalam sholat fardhu tidak diharuskan, dan membaca bacaan apa saja dari al-Qur’ān itu boleh, berdasarkan al-Qur’ān surat Muzammil ayat 20:

“Bacalah apa yang mudah bagimu dari al-Qur’ān”, (Bidāyat-ul-Mujtahid, jilid 1, halaman 122, dan Mīzān-usy-Sya‘ranī, dalam bab shifat-ush-shāliḥah).

Membaca al-Fātiḥah itu hanya diwajibkan pada dua rakaat pertama, sedangkan pada rakaat ketiga pada shalat Maghrib, dan dua rakaat terakhir pada shalat ‘Isyā’ dan ‘Ashar kalau mau bacalah, bila tidak, bacalah tasbīḥ atau diam. (An-Nawawī, Syarḥ-ul-Muhadzadzab, Jilid III, halaman 361)

Boleh meninggalkan Basmalah, karena ia tidak termasuk bagian dari surat. Dan tidak disunnahkan membacanya dengan keras atau pelan. Orang yang shalat sendiri ia boleh memilih, apakah mau didengar sendiri (membaca dengan perlahan) atau mau didengar oleh orang lain (membaca dengan keras), dan bila suka membaca secara sembunyi-sembunyi, bacalah dengannya. Dalam shalat itu tidak ada Qunūt kecuali pada shalat Witir. Sedangkan menyilangkan dua tangannya adalah sunnah bukan wajib. Bagi orang lelaki adalah lebih utama bila meletakkan telapak tangannya yang kanan diatas belakang telapak tangan yang kiri di bawah pusarnya, sedangkan bagi wanita yang lebih utama adalah meletakkan dua tangannya di atas dadanya.

Syāfi‘ī: Membaca al-Fātiḥah itu adalah wajib pada setiap rakaat tidak ada bedanya, baik pada dua rakaat pertama maupun pada pada dua rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah. Basmalah itu merupakan bagian dari surat, yang tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apapun. Dan harus dibaca dengan suara keras pada shalat Shubuḥ dan dua rakaat yang pertama pada shalat Maghrib dan ‘Isyā’, selain rakaat tersebut harus dibaca dengan pelan. Pada shalat Shubuḥ disunnahkan membaca qunūt setelah mengangkat kepalanya dari rukū‘ pada rakaat kedua sebagaimana juga disunnahkan membaca surat al-Qur’ān setelah membaca al-Fātiḥah pada dua rakaat yang pertama saja. Sedangkan menyilangkan dua tangannya bukanlah wajib, hanya disunnahkan bagi lelaki dan wanita. Dan yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan di belakang telapak kanannya yang kiri di bawah dadanya tapi di atas pusar dan agak miring ke kiri.

Mālikī: Membaca al-Fātiḥah itu harus pada setiap rakaat, tak ada bedanya, baik pada rakaat-rakaat pertama maupun pada rakaat-rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah, sebagaimana pendapat Syāfi‘ī, dan disunnahkan membaca surat al-Qur’ān setelah al-Fātiḥah pada dua rakaat yang pertama. Basmalah bukan termasuk bagian dari surat, bahkan disunnahkan untuk ditinggalkan. Disunnahkan menyaringkan bacaan pada shalat Shubuḥ dan dua rakaat pertama pada shalat Maghrib dan ‘Isyā’, serta qunūt pada shalat Shubuḥ saja. Sedangkan menyilangkan dua tangan adalah boleh, tetapi disunnahkan untuk mengulurkan dua tangannya pada shalat fardhu.

Ḥanbalī: Wajib membaca al-Fātiḥah pada setiap rakaat, dan sesudahnya disunnahkan membaca surat al-Qur’ān pada dua rakaat yang pertama. Dan pada shalat Shubuḥ, beserta dua rakaat pertama pada shalat Maghrib dan ‘Isyā’ disunnahkan membacanya dengan nyaring. Basmalah merupakan bagian dari surat, tetapi cara membacanya harus dengan pelan-pelan dan tidak boleh dengan keras. Qunūt hanya pada shalat witir bukan pada shalat-shalat lainnya. Sedangkan menyilangkan dua tangannya disunnahkan bagi lelaki dan wanita, hanya yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan pada belakang telapak tangannya yang kiri, dan meletakkan di bawah pusar.

Dari keterangan di atas jelaslah bagi kita bahwa menyilangkan kedua tangan yang diungkapkan oleh para ahli fiqih Sunni adalah dengan memegang, sedangkan menurut para ahli fiqih Syī‘ah adalah dengan melepaskan, di mana dalam empat madzhab tidak diwajibkan untuk melepaskannya.

Imāmiyyah: Membaca al-Fātiḥah hanya diwajibkan pada dua rakaat pertama pada setiap shalat, dan tidak cukup (boleh) pada rakaat yang lain. Dan tidak wajib pada rakaat ketiga pada shalat Maghrib, dan dua rakaat terakhir pada shalat yang empat rakaat, akan tetapi boleh memilih antara membacanya atau menggantinya dengan tasbīḥ, dan orang yang shalat itu cukup dengan mengucapkan:

سُبْحَانَ اللهِ وَ الْحَمْدُ للهِ وَ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَ اللهُ أَكْبَرُ.

“Maha Suci Allah, dan segala puji bagi Allah, dan tidak ada Tuhan selain Allah, dan Allah Maha Besar”, sebanyak tiga kali, tapi memadai dengan satu kali saja. Dan wajib membaca satu surat secara lengkap pada dua rakaat pertama. Basmalah merupakan bagian dari surat yang tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apapun. Pada shalat Shubuḥ wajib membacanya dengan nyaring, tapi dzikir-dzikir yang lain tidak boleh dibaca dengan nyaring, juga dua rakaat pertama pada shalat Maghrib dan shalat ‘Isyā’ wajib dinyaringkan. Sedangkan pada dua rakaat Zhuhur (Zhuhur dan ‘Ashar) harus dipelankan selain Basmalah. Membaca basmalah dengan nyaring adalah disunnahkan pada dua rakaat pertama dari kedua shalat (Zhuhur dan ‘Ashar) tersebut, juga pada rakaat ketiga pada shalat Maghrib dan dua rakaat terakhir pada shalat ‘Isyā’. Disunnahkan ber-qunūt pada semua shalat fardhu, yaitu pada rakaat kedua setelah membaca surat al-Qur’ān sebelum ruku‘. Sekurang-kurangnya menyarankan bacaan adalah didengar oleh orang yang paling dekat dengannya dan paling pelannya adalah didengar oleh dirinya sendiri. Sedangkan bagi wanita tidak boleh menyaringkan bacaannya, menurut kesepakatan semua ulama madzhab, namun tidak boleh terlalu pelan sehingga tidak bisa didengar oleh dirinya sendiri. Kalau orang yang shalat itu secara sengaja menyaringkan bacaan yang seharusnya dipelankan, atau sebaliknya, maka shalatnya batal tapi kalau melakukannya karena tidak tahu atau lupa, maka shalatnya sah.

Imāmiyyah: Juga mengharamkan mengucapkan āmīn, dan batal shalatnya kalau mengucapkannya, baik ketika shalat sendiri, menjadi Imām atau Ma’mūm, karena hal itu termasuk pembicaraan manusia, sedang dalam shalat tidak dibenarkan mengucapkan kata yang merupakan pembicaraan manusia (yakni, kata āmīn merupakan kata yang hanya dipakai dalam masyarakat, bukan merupakan kata dari al-Qur’ān pent.). Namun empat madzhab menyatakan, bahwa membaca āmīn adalah sunnah, berdasarkan hadits Abū Hurairah, bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

Kalau ingin mengucapkan Ghair-il-maghdhūbi ‘alaihim wa ladh -dhallīn, maka kalian harus mengucapkan āmīn”.

Imāmiyyah menentang ke-shaḥīḥ-an (validitas) hadits tersebut. Kebanyakan Imāmiyyah menyatakan (berpendapat) bahwa menyilangkan dua tangan dalam shalat dapat membatalkan shalat, karena tidak ada ketetapan dari Nash. Sebagian berpendapat bahwa menyilangkan tangan adalah haram, maka siapa yang melakukannya adalah berdosa, tetapi tidak sampai membatalkan shalat. Pendapat ketiga dari Imāmiyyah: Hanya makruh saja, bukan haram.

Rukū‘

  1. Semua ulama madzhab sepakat bahwa rukū‘ adalah wajib di dalam shalat. Namun mereka berbeda pendapat tentang wajib atau tidaknya ber-thuma’ninah di dalam rukū‘, yakni ketika rukū‘ semua anggota badan harus diam, tidak bergerak.

Ḥanafī: Yang diwajibkan hanya semata-mata membungkukkan badan dengan lurus, dan tidak wajib thuma’ninah. Madzhab-madzhab yang lain: Wajib membungkuk sampai dua telapak tangan orang yang shalat itu berada pada dua lututnya dan juga diwajibkan ber-thuma’ninah dan diam (tidak bergerak) ketika rukū‘.

Syāfi‘ī, Ḥanafī dan Mālikī: Tidak wajib berdzikir ketika shalat, hanya disunnahkan saja mengucapkan:

سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ

“Maha Suci Tuhan ku yang Maha Agung”.

Imāmiyyah dan Ḥanbalī: Membaca tasbīḥ ketika rukū‘ adalah wajib. Kalimatnya menurut Ḥanbalī:

سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ

“Maha Suci Tuhanku yang Maha Agung”.

Sedangkan menurut Imāmiyyah:

سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ وَ بِحَمْدِهِ

“Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung dan segala puji bagi-Nya”, atau mengucapkan:

سُبْحَانَ اللهِ

“Maha Suci Allah”, sedangkan tiga kali, lalu ditambahkan shalawat kepada Nabi dan keluarganya setelah ber-tasbīḥ.

Ḥanafī: Tidak wajib mengangkat kepala dari rukū‘ yakni i‘tidāl (dalam keadaan berdiri). Dibolehkan untuk langsung sujud, namun hal itu makruh. Madzhab-madzhab yang lain: Wajib mengangkat kepalanya dan ber-i‘tidāl, beserta disunnahkan membaca tasmī‘, yaitu mengucapkan:

سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ

“Allah mendengar orang yang memuji-Nya”. Imāmiyyah mewajibkan thuma’ninah dan tidak bergerak ketika berdiri dari rukū‘ itu.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *