3-19 Fardhu-fardhu Shalat & Rukun-rukunnya (1/3) – Fiqih Lima Madzhab

FIQIH LIMA MADZHAB
(Ja‘farī, Ḥanafī, Mālikī, Syāfi‘ī, Ḥanbalī)
(Judul Asli: Al-Fiqhu ‘Alal-Madzāhib-il-Khamsah)
Oleh: Muhammad Jawad Mughniyah.

Penerjemah: Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus al-Kaff.
Penerbit: PT LENTERA BASRITAMA

Rangkaian Pos: 3-19 Fardhu-fardhu Shalat & Rukuk-rukunnya

BAB 19

FARDHU-FARDHU SHALAT DAN RUKUN-RUKUNNYA

Sahnya shalat itu meliputi: Harus suci dari hadas dan kotoran, termasuk waktu, menghadap qiblat, dan harus memakai pakaian penutup aurat. Hal-hal di atas harus dipenuhi semuanya sebelum melaksanakan shalat, dan hal-hal itu dinamakan syarat, serta pembahasan masalah tersebut telah dijelaskan secara rinci sebelumnya. Shalat itu juga terdiri dari beberapa fardhu dan beberapa rukun yang harus dilaksanakan langsung ketika shalat. Rukun-rukun dan fardhu-fardhu itu sangat banyak yaitu:

Niat

  1. Ulama madzhab berbeda pendapat, bahkan para ahli fiqih dalam satu madzhab juga berbeda antara yang satu dengan yang lain, yaitu tentang apakah orang yang shalat itu wajib berniat, apakah ia wajib menyatakan, yang mana ia berniat misalnya shalat Zhuhur atau shalat ‘Ashar, shalat fardhu atau sunnah, shalat sempurna atau shalat qashar (pendek), dan shalat adā’an atau shalat qadhā’ dan seterusnya.

Hakekatnya niat sebagaimana telah kami jelaskan dalam bab wudhu’, bahwa niat itu adalah tujuan dari suatu perbuatan yang didorong oleh rasa taat dan patuh mengikuti perintah-perintah Allah. Sedangkan apakah niat itu dinyatakan apakah untuk shalat fardhu atau sunnah, apakah untuk shalat adā’an atau qadhā’, maka orang yang shalat itu sesuai dengan yang diniatkannya. Bila berniat shalat sunnah sejak memulai dan melaksanakannya, maka ia berarti telah melaksanakan shalat sunnah. Bila niat shalat fardhu Zhuhur atau ‘Ashar dan ia melaksanakannya, maka berarti ia telah melaksanakanya. Tapi bila tidak berniat apa-apa, maka berarti ia telah melakukan dengan sia-sia. Namun tidak mungkin, bahkan mustahil ia tidak berniat, karena setiap perbuatan yang keluar dari orang yang berakal, dalam keadaan apapun tidak terpisah dari niat, baik dinyatakan (diungkapkan) dengan kata-kata tertentu, atau tidak. Dari itu semua ulama madzhab sepakat bahwa mengungkapkan dengan kata-kata tidaklah diminta. Sebagaimana mustahil juga secara kebiasaan seseorang berniat melakukan shalat Zhuhur tetapi ia melakukan shalat ‘Ashar, dan berniat melakukan shalat fardhu tetapi ia melakukan shalat sunnah, padahal ia tahu dan dapat membedakan antara dua shalat tersebut.

Tapi bagaimanapun juga, pembahasan tentang niat dan bagian-bagiannya ini tidak pernah dikenal dalam masyarakat dahulu, yaitu yang membesarkan agama dan syariat. Dan alangkah baiknya, kalau kami menukil komentar dua orang ulama besar. Pertama, dari kalangan Sunni, yaitu Ibnul Qayyīm. Kedua, dari kalangan Imāmiyyah (Syī‘ah), yaitu Sayyid Muḥammad, pengarang buku al-Madārik.

Ibnul Qayyīm berpendapat dalam bukunya Zād-ul-Ma‘ād, sebagaimana yang dijelaskan dalam jilid pertama dari buku al-Mughnī, karya Ibnu Qudamah, sebagai berikut: Nabi Muḥammad s.a.w. menegakkan shalat, beliau langsung mengucapkan “Allāhu Akbar” (Allah Maha Besar) dan beliau tidak mengucapkan apa-apa sebelumnya, dan tidak melafalkan niat sama sekali, dan tidak pula mengucapkan “Ushalli kadzā mustaqbil-al-qiblati arba’a raka’ātin imāman au ma’mūman” (saya shalat ini atau itu dengan menghadap kiblat empat rakaat sebagai Imām atau Ma’mūn), dan tidak pula berkata “adā’an” (melaksanakan) dan tidak pula dan tidak pula “qadhā’an” (mengganti), dan tidak pula “fardh-al-waqti” (shalat fardhu pada waktu ini). Ini semuanya merupakan bagian dari sepuluh perbuatan bid‘ah. Karena tidak ada nash shaḥīḥ yang menceritakan dengan sanad yang shaḥīḥ, dan tidak pula dengan sanad dha’īf (lemah), dan tidak pula dengan sanad ḥasan, dari salah seorang tabi‘īn, dan tidak pula dari para Imām empat madzhab.

Sayyid Muḥammad dalam bukunya Madārik-ul-Aḥkām tentang Mabḥats-un-niyya awwal-ush-shalāti’ (pembahasan tentang niat sebagai perbuatan pertama dalam shalat), berkata: Kesimpulan yang ditarik dari dalil-dalil syara‘ adalah kemudahan untuk mengucapkan niat untuk melakukan perbuatan tertentu dalam rangka mematuhi perintah perintah Allah. Masalah ini tidak terpisah dari orang yang berakal dan mempunyai tujuan untuk melaksanakan ibadah. Dari dasar inilah sebagian orang yang mempunyai kelebihan berkata: Seandainya Allah membebani seseorang dengan shalat atau ibadah-ibadah lainnya tanpa niat, maka ini merupakan beban yang tidak mampu dilaksanakan. Syahīd menjelaskan dalam buku adz-Dzikrā bahwa para ulama terdahulu tidak pernah menjelaskan tentang niat dalam buku Fiqih mereka, bahkan mereka berkata: Rukun fardhu yang pertama ialah membasuh muka, dan rukun shalat yang pertama adalah Takbīrat-ul-Iḥrām. Seakan-akan wajahnya merupakan kadar bagi orang yang mengungkapkan niatnya dari masalah yang ia kerjakan, karena ia tidak mungkin berpisah dari yang dilakukannya, dan selebihnya bukanlah wajib. Karangan yang memperkuat penjelasan tentang hal ini, adalah tidak dijelaskannya dalam beberapa ibadah secara khusus, serta beberapa hadis menjelaskan tentang bagaimana Rasūlullāh s.a.w. berwudhu’, mandi dan bertayamum, di mana pada dasarnya tidak ada yang menjelaskan tentang niat ini.

Takbīrat-ul-Iḥrām

  1. Shalat tidak akan sempurna tanpa Takbīrat-ul-Iḥrām. Nama Takbīrat-ul-Iḥrām ini berdasarkan Sabda Rasūlullāh s.a.w.:

Kunci shalat adalah bersuci, dan yang mengharamkannya (dari perbuatan sesuatu selain perbuatan-perbuatan shalat) adalah takbīr, dan penghalalnya adalah salām”.

Yang dimaksud diharamkan adalah berbicara dan semua yang tidak berhubungan dengan shalat. Sedangkan yang dimaksud menghalalkannya adalah bahwa orang yang shalat itu diperbolehkan melakukan apa-apa yang diharamkan setelah takbīr. Kalimat Takbīrat-ul-Iḥrām adalah “Allah Akbar” (Allah Maha Besar) tidak boleh memakai kata kata lainnya, menurut Imāmiyyah, Mālikī dan Ḥanbalī. Syāfi‘ī: Boleh mengganti “Allāhu Akbar” dengan “Allāhu Al-Akbar”, ditambah dengan alif dan lām pada kata “Akbar”.

Ḥanafī: Boleh dengan kata-kata lain yang sesuai atau sama artinya dengan kata-kata tersebut, seperti “Allāh-ul-A‘zham” dan “Allāh-ul-Ajall” (Allah Yang Maha Agung dan Allah Yang Maha Mulia).

Semua ulama madzhab sepakat selain Ḥanafī bahwa mengucapkan dalam bahasa ‘Arab adalah wajib, walaupun orang yang salat itu adalah orang ajam (bukan orang ‘Arab). Bila ia tidak bisa maka ia wajib mempelajarinya. Bila tidak bisa belajar, ia wajib menerjemahkan ke dalam bahasanya. Ḥanafī: Sah mengucapkannya dengan bahasa apa saja, walau yang bersangkutan bisa berbahasa ‘Arab.

Semua ulama madzhab sepakat: Syarat Takbīrat-ul-Iḥrām adalah semua yang diisyaratkan dalam shalat, seperti suci dari hadas, baik hadas kecil maupun besar, menghadap qiblat, menutup aurat dan seterusnya. Kalau bisa melakukannya dengan berdiri dan dalam mengucapkan kata “Allāhu Akbar” itu harus didengar sendiri, baik terdengar secara keras oleh dirinya atau dengan perkiraan jika ia tuli. Juga harus mendahulukan lafzh-ul-Jalālah “Allah” daripada kata “Akbar”, dan kalau dibalik menjadi “Akbar Allāh” tidak diperbolehkan.

  1. Semua ulama madzhab sepakat bahwa Berdiri dalam shalat fardhu itu wajib sejak mulai dari Takbīrat-ul-Iḥrām sampai rukū‘, harus tegap, bila tidak mampu ia harus shalat dengan duduk. Bila tidak mampu duduk, ia harus shalat miring pada bagian kanan, seperti letak orang yang meninggal di liang lahat, menghadap Qiblat di hadapan badannya, menurut kesepakatan semua ulama madzhab selain Ḥanafī. Ḥanafī berpendapat: Siapa yang tidak bisa duduk, ia harus shalat terlentang dan menghadap Qiblat dengan dua kakinya sehingga isyaratnya dalam rukū‘ dan sujud tetap menghadap Qiblat.

Dan bila tidak mampu miring ke kanan, maka menurut Imāmiyyah, Syāfi‘ī dan Ḥanbalī ia harus shalat terlentang dan kepalanya menghadap ke Qiblat. Bila tidak mampu juga, ia harus mengisyaratkan dengan kepalanya atau dengan kelopak matanya.

Ḥanafī: Bila sampai pada tingkat ini tetapi tidak mampu, maka gugurlah perintah shalat baginya, hanya ia harus melaksanakan (meng-qadhā’-nya) bila telah sembuh dan hilang sesuatu yang menghalanginya.

Mālikī: Bila sampai seperti ini, maka gugur perintah shalat terhadapnya, dan tidak diwajibkan meng-qadhā’-nya.

Imāmiyyah, Syāfi‘ī dan Ḥanbalī: Shalat itu tidaklah gugur dalam keadaan apapun. Maka dia tidak mampu mengisyaratkan dengan kelopak matanya (kedipan mata), maka ia harus shalat dengan hatinya dan menggerakkan lisannya dengan dzikir dan membacanya. Bila juga tidak mampu untuk menggerakkan lisannya, maka ia harus menggambarkan tentang melakukan shalat di dalam hatinya selama akal masih berfungsi.

Ringkasnya bahwa shalat itu wajib bagi orang yang mampu dan orang yang tidak mampu serta tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apapun. Ia harus dilaksanakan oleh setiap orang mukallaf dengan kadar kemampuannya. Bila tidak bisa berdiri, harus shalat duduk, bila tidak bisa duduk, ia harus shalat terlentang sambil miring ke kanan. Bila tidak bisa juga, ia harus shalat terlentang saja, dan dengan kedipan matanya, atau bila juga tidak bisa, harus dengan hatinya saja dan ingatannya.

Orang yang mampu dan yang lemah (tidak mampu) ia harus berubah dari satu keadaan pada keadaan lainnya asal ia dapat melaksanakannya (shalat). Bila tidak mampu berdiri, ketika shalat berdiri maka ketika itu pula (sedang berdiri itu) ia harus shalat dengan duduk. Begitu juga sebaliknya, bagi orang yang shalat duduk, lalu datang kemampuannya untuk shalat berdiri, maka ia harus shalat berdiri ketika sedang shalat itu juga, dan seterusnya. Kalau shalat pada rakaat pertama ia berdiri lalu pada rakaat selanjutnya ia tidak mampu, maka ia harus meneruskannya dengan duduk. Bila mampu shalat duduk tapi ketika di pertengahan shalat datang halangan yang menyebabkan tidak mampu duduk, ia harus shalat dengan semampunya sampai selesai. Begitu juga sebaliknya, bila shalat duduk, lalu di pertengahan shalat datang kemampuannya untuk berdiri, ia harus shalat berdiri sampai selesai.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *