3-17 Adzan – Fiqih Lima Madzhab

FIQIH LIMA MADZHAB
(Ja‘farī, Ḥanafī, Mālikī, Syāfi‘ī, Ḥanbalī)
(Judul Asli: Al-Fiqhu ‘Alal-Madzāhib-il-Khamsah)
Oleh: Muhammad Jawad Mughniyah.

Penerjemah: Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus al-Kaff.
Penerbit: PT LENTERA BASRITAMA

BAB 17

ADZĀN

 

Adzān secara lughawī (etimologi): Menginformasikan semata-mata. Sedangkan secara ishthilah (istilah – terminologi) adalah: Menginformasikan (memberitahukan) tentang waktu-waktu shalat dengan kata-kata tertentu. Adzān ini telah diperintahkan (dilakukan) sejak pada tahun pertama dari Hijrah Nabi ke Madīnah. Sedangkan diperintahkan (disyariatkan) menurut Syī‘ah adalah bahwa Malaikat Jibrīl yang membawa turun dari Allah kepada Rasūlullāh yang Mulia. Sedangkan menurut Sunni adalah ‘Abdullāh bin Zaid bermimpi ada orang yang mengajarinya, kemudian diceritakan hasil mimpinya itu kepada Rasūlullāh, lalu Rasūlullāh memastikannya untuk dipergunakan.

 

Adzān Adalah Sunnah

Ḥanafī, Syāfi‘ī dan Imāmiyyah: Adzān itu adalah sunnah mu’akkad (yang dikuatkan).

Ḥanbalī: Adzān itu adalah fardhu kifāyah di desa-desa dan di kota-kota pada setiap shalat 5 waktu bagi lelaki yang muqīm bukan musāfir.

Mālikī: Wajib fardhu kifāyah di suatu desa (negara) yang didirikan shalat Jum‘at. Bila penduduk desa (negara) tersebut meninggalkannya (mengabaikannya), maka mereka harus diperangi.

 

Adzān Tidak Boleh Pada Hal-hal Berikut:

Ḥambalī: Adzān itu tidak dilakukan untuk jenazah, shalat sunnah dan shalat nazar.

Mālikī: Adzān itu tidak boleh untuk shalat sunnah, shalat yang telah lewat, dan tidak pula untuk shalat jenazah.

Ḥanafī: Tidak boleh untuk shalat jenazah, juga tidak untuk shalat dua hari raya, gerhana matahari dan gerhana bulan, shalat tarawih dan tidak boleh pula untuk shalat sunnah.

Syāfi‘ī: Tidak boleh untuk shalat jenazah, dan tidak pula pada shalat nazar, dan tidak pula shalat-shalat nāfilah (sunnah) lainnya.

Imāmiyyah: Adzān itu tidak diperintahkan kecuali pada shalat-shalat yang sehari-hari sejak dan setelah itu disunnahkan untuk shalat Qadhā’ dan fardhu, berjamaah maupun sendiri, baik musāfir maupun bukan, baik wanita maupun lelaki. Dan tidak boleh adzān untuk shalat apa saja selain hal tersebut di atas, baik sunnah maupun wajib. Hanya pada shalat dua hari raya dan gerhana (baik bulan maupun matahari) seorang yang adzān itu cukup dengan mengucapkan “ash-Shalāh” sebanyak tiga kali.

 

Syarat-syarat Adzān

Semua ulama madzhab sepakat bahwa syarat sahnya adzān adalah kata-katanya harus berurutan dan tertib antara tiap-tiap bagiannya, dan orang yang adzān itu harus orang lelaki, (191) muslim, dan berakal, tetapi sah juga kalau adzān itu anak kecil yang sudah mumayyiz (bisa membedakan antara yang bersih dan tidak). Semua ulama juga sepakat bahwa adzān ini tidak disyaratkan untuk suci.

 

Ulama madzhab berbeda pendapat selain hal di atas.

Ḥanafī dan Syāfi‘ī: Sah adzān tanpa niat.

Madzhab-madzhab lain: Harus dengan niat.

Ḥanbalī: Adzān itu boleh dengan bahasa selain bahasa ‘Arab secara mutlak.

Mālikī, Ḥanafī dan Syāfi‘ī: Bagi orang ‘Arab tidak boleh adzān dengan selain bahasa ‘Arab, dan bagi orang selain orang ‘Arab boleh adzān dengan bahasanya sendiri untuk dirinya dan untuk para jamā‘ah-nya.

Imāmiyyah: Tidak boleh adzān sebelum masuk waktu shalat fardhu selain shalat Shubuḥ.

Syāfi‘ī, Mālikī, Ḥanbalī dan kebanyakan dari Imāmiyyah: Boleh mendahulukan adzān untuk memberitahukan tentang shalat Shubuḥ.

Ḥanafī: Dilarang mendahulukannya, dan tidak membedakan antara shalat Shubuḥ dengan shalat-shalat lainnya dan pendapat ini adalah lebih selamat.

 

Bentuk (Contoh) Adzān

اللهُ أَكْبَرُ

“Allah Maha Besar”, adalah empat kali menurut semua ulama madzhab. (202)

اَشْهَدُ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ

“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah”, dua kali menurut kesepakatan semua ulama madzhab.

اَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ

Aku bersaksi bahwa Muḥammad adalah utusan Allah”, dua kali menurut kesepakatan semua ulama madzhab.

حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ

“Mari melaksanakan shalat”, dua kali menurut kesepakatan semua ulama madzhab.

حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ

Mari menuju pada kemenangan”, dua kali menurut kesepakatan semua ulama madzhab.

حَيَّ عَلَى خَيْرِ الْعَمَلِ

Marilah menuju pada sebaik-baiknya perbuatan”, dua kali menurut Imāmiyyah saja.

اللهُ أَكْبَرُ

Allah Maha Besar”, dua kali menurut kesepakatan semua ulama madzhab.

لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ

Tidak ada Tuhan selain Allah”, satu kali menurut empat madzhab, tetapi menurut Imāmiyyah dua kali. Mālikī dan Syāfi‘ī: Boleh mengulang dua kali, hanya yang kedua kali itu adalah sunnah. Maksudnya tidaklah batal adzān yang mencukupkan dengan satu kali, sebagaimana pendapat Imāmiyyah, bahwa pengulangan itu dinamakan i‘ādah (pengulangan lagi). Pengarang buku Al-Fiqhu ‘alal-Madzāhib-il-Arba‘ah menukil tentang kesepakatan empat madzhab, yang menyatakan bahwa tatswīb itu disunnahkan, yaitu menambah:

الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ

Shalat itu adalah lebih baik dari tidur”, dua kali setelah:

حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ

Tetapi Imāmiyyah melarangnya. (213)

 

Catatan:


  1. 19). Imāmiyyah: Bagi wanita disunnahkan adzān kalau mau shalat, tapi bukan untuk memberitahukan, sebagaimana disunnahkan juga shalat jamā‘ah bagi wanita agar salah seorang dari mereka adzān dan iqāmat, hanya diusahakan agar suaranya itu tidak terdengar oleh lelaki. Empat madzhab: Hanya disunnahkan untuk iqāmat, dan dimakruhkan adzān. 
  2. 20). Selain Mālikī, karena Mālikī berpendapat bahwa takdir itu cukup dua kali saja. 
  3. 21). Ibnu Rusyd dalam bukunya Bidāyat-ul-Mujtahid, jilid 1, halaman 103, cetakan tahun 1935 menjelaskan: Ada yang berpendapat bahwa tidak boleh mengatakannya, karena kalimat tersebut tidak termasuk adzān yang disunnahkan. Syāfi‘ī membantahnya, yaitu bahwa sebab perbedaannya adalah, apakah penambahan itu terjadi pada masa Nabi atau pada masa ‘Umar. Dalam buku al-Mughnī karya Ibnu Qudamah, jilid 1, halaman 408, cetakan ketiga, dijelaskan: Isḥāq berpendapat bahwa penambahan itu adalah merupakan sesuatu yang diadakan (diciptakan) oleh manusia. Abū ‘Īsā pendapat: Tatswīb ini adalah hal yang tidak disukai oleh para ahli ilmu (ilmuwan). Tatswīb inilah yang menjadikan Ibnu ‘Umar keluar dari masjid ketika mendengarnya. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *