3-16 Tempat Orang Shalat – Fiqih Lima Madzhab

FIQIH LIMA MADZHAB
(Ja‘farī, Ḥanafī, Mālikī, Syāfi‘ī, Ḥanbalī)
(Judul Asli: Al-Fiqhu ‘Alal-Madzāhib-il-Khamsah)
Oleh: Muhammad Jawad Mughniyah.

Penerjemah: Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus al-Kaff.
Penerbit: PT LENTERA BASRITAMA

BAB 16

TEMPAT ORANG SHALAT

 

Tempat Ghashab (Rampasan)

Imāmiyyah: Bila shalat di tempat ghashab, maka batal shalatnya, sama dengan pakaian ghashab, kalau melakukannya dengan sengaja dan ia tahu bahwa tempat itu hasil rampasan.

Madzhab-madzhab lain: Shalatnya tetap sah, tetapi orang yang shalat di tempat tersebut tetap dosa, karena larangan itu tidak berlaku dalam shalat, hanya berlaku dalam tindakan, sama dengan shalat yang memakai pakaian ghashab.

Pendapat empat madzhab yang menyatakan tetap sahnya shalat bagi orang yang memakai harta ghashab (ini adalah sangat jauh berbeda dengan pendapat Zaidiyyah yang menyatakan bahwa orang yang memiliki harta, tidak sah shalatnya selama hartanya yang di ghashab itu masih berada di tangan orang lain) karena larangan itu berlaku untuk tindakan ghashab.

Imāmiyyah berada di tengah-tengah antara dua pendapat tersebut, yaitu dengan menyatakan tetap sah shalatnya orang yang memiliki harta dan orang yang diizinkannya, tetapi mereka menyatakan batal shalatnya orang yang meng-ghashab dan tidak mendapat izin orang yang memilikinya. Imāmiyyah juga telah membolehkan shalat di bumi yang sangat luas ini bila tidak bisa atau sangat sukar bagi manusia untuk mencari tempat shalat, dan juga kalau tidak berhasil mendapatkan izin dari yang memilikinya.

 

Tempat Shalat Harus Suci

Empat madzhab: Tempat shalat itu harus suci dari najis, baik yang menular (membahayakan) maupun tidak, maksudnya najis yang kering maupun najis yang masih basah.

Syāfi‘ī lebih tegas dengan mengatakan bahwa setiap benda yang melekat pada badan orang yang shalat dan pakaiannya adalah wajib suci. Bila menyentuh dinding yang najis, atau pakaian yang najis, atau memegang najis, atau memegang tali yang terkena najis, maka batallah shalatnya.

Ḥanafī: Yang harus suci cukup hanya tempat kedua kaki dan muka saja.

Imāmiyyah: Hanya mensyaratkan tempat wajah (dahi) saja yang harus suci, maksudnya tempat sujudnya. Sedangkan selain tempat sujud itu, maka tidak sampai membatalkan shalat, dengan syarat tidak sampai membasahi badan orang yang salat itu dan pakaiannya.

 

Shalat di Atas Binatang Kendaraan

Ḥanafī dan Imāmiyyah: Mensyaratkan tempat shalat itu tetap. Maka dari itu, tidaklah layak bershalat di atas binatang kendaraan dan tidak pantas kalau shalat di dalam buaian (gendongan). Tapi bila darurat, tidak apa-apa, karena ia dalam keadaan udzur itu boleh melakukan shalat semampunya.

Syāfi‘ī, Mālikī dan Ḥanbalī: Sah shalat di atas binatang yang ditunggangi ketika aman dan bisa, kalau mencukupi beberapa syarat.

 

Shalat di Dalam Ka‘bah

Imāmiyyah, Syāfi‘ī dan Ḥanafī: Boleh shalat di dalam Ka‘bah baik fardhu maupun sunnah.

Mālikī dan Ḥanbalī: Boleh kalau shalat sunnah, tapi kalau shalat fardhu tidak boleh.

 

Wanita Shalat di Samping Lelaki

Sekelompok dari Imāmiyyah: Kalau lelaki dan wanita di satu tempat dan wanita itu di mukanya (di depannya) atau sejajar, serta tidak ada batas antara keduanya atau lebih dari sepuluh hasta jaraknya, maka shalat orang yang memulai lebih dahulu (pertama kali) tidaklah batal, sedangkan orang yang shalatnya kemudian adalah batal, tetapi bila waktu memulainya bersamaan, maka shalat keduanya batal.

Ḥanafī: Kalau wanita lebih maju (di depannya) atau sejajar dengan lelaki, maka batallah shalatnya dengan syarat tempatnya di satu tempat dan tidak dipisahkan antara keduanya dengan batas satu hasta, juga bahwa wanita itu masih memiliki daya tarik, dan tidak sejajar dengan betis dan mata kaki dan bukan pada shalat jenazah, beserta shalatnya itu harus bersamaan, seperti kalau wanita itu mengikuti satu Imām atau dua orang Ma’mūm yang mengikuti seorang Imām.

Syāfi‘ī, Ḥambalī dan kebanyakan dari Imāmiyyah: Shalatnya tetap sah, hanya dimakruhkan.

 

Letak Sujud Dahi

Semua ulama madzhab sepakat bahwa letaknya dahi adalah wajib tetap (tidak bergerak) dan tidak lebih tinggi dari letak dua lutut dengan ketinggian yang tidak biasanya. Hanya mereka berbeda pendapat tentang di atas apa sahnya sujud itu.

Imāmiyyah: Bersujud itu tidak boleh kecuali di atas tanah, atau dari tumbuh-tumbuhan yang tidak dimakan atau tidak dipakai (dijadikan pakaian). Maka orang yang shalat tidak boleh bersujud di atas wol, kapas dan barang tambang, juga tidak boleh di atas tumbuhan yang tumbuh di atas air, karena air itu bukan bumi.

Tetapi mereka (Imāmiyyah) membolehkan bersujud di atas kertas karena bahannya dari tumbuh-tumbuhan yang dari bumi. Alasannya karena sujud itu adalah merupakan ibadah syar‘iyah, ibadah yang bersifat dogmatis yang memerlukan cara-caranya berdasarkan nash.

Semua ulama madzhab sepakat bahwa bersujud di atas bumi itu adalah sah, dan di atas tumbuh-tumbuhan yang dari bumi. Dan agar lebih meyakinkan, kami kutip sabda Rasūlullāh s.a.w.:

Tidaklah sempurna shalat di antara kamu sampai ia berwudhu’ sebagaimana yang diperintahkan Allah, kemudian mensujudkan dahinya di atas bumi sedapat mungkin.

Juga sabda Rasūlullāh s.a.w. yang lain:

Bumi ini diciptakan sebagai tempat sujud dan suci.

Khabbāb berkata: Kami melaporkan kepada Rasūlullāh tentang panasnya matahari yang memancarkan sinar teriknya pada bumi ketika dahi-dahi kami bersujud. Tetapi beliau sendiri belum pernah mengadu (mengeluh) pada kami. Maka seandainya sujud itu boleh di atas kasur, sudah tentu mereka tidak akan mengadu kepada Rasūlullāh.

Imāmiyyah: Boleh sujud di atas kapas dan rami untuk kain linen bila dalam keadaan darurat.

Empat madzhab: Boleh bersujud di atas apa saja walau sampai di atas ujung dan lilitan surban dengan syarat ia suci.

Ḥanafī: Boleh bersujud di atas telapak tangan, hanya makruh bila tidak dalam keadaan darurat.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *