3-14 Anggota Badan Yang Wajib Ditutupi & Haram Dilihat – Fiqih Lima Madzhab

FIQIH LIMA MADZHAB
(Ja‘farī, Ḥanafī, Mālikī, Syāfi‘ī, Ḥanbalī)
(Judul Asli: Al-Fiqhu ‘Alal-Madzāhib-il-Khamsah)
Oleh: Muhammad Jawad Mughniyah.

Penerjemah: Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus al-Kaff.
Penerbit: PT LENTERA BASRITAMA

BAB 14

ANGGOTA BADAN YANG WAJIB DITUTUPI DAN HARAM DILIHAT

 

Ini merupakan salah satu topik yang melahirkan beberapa hukum yang bermacam-macam. Di antaranya adalah batas anggota badan orang yang mukallaf yang wajib ditutupi, batas anggota badan lainnya yang haram dilihat, juga perbedaan antara orang muḥrim karena nasab (hubungan darah) atau hubungan famili (keluarga dekat) dan orang yang bukan muḥrim, perbedaan antara melihat yang sejenis atau yang berlawanan jenis, perbedaan antara melihat dan menyentuh, dan lain sebagainya seperti yang dijelaskan di bawah ini:

 

Melihat Dirinya Sendiri

1. Ulama madzhab berbeda pendapat tentang tutup aurat manusia untuk dirinya sendiri, yaitu: Apakah iya haramkan untuk membuka auratnya ketika sendirian dan aman dari penglihatan orang lain.

Ḥanafī dan Ḥanbalī: Orang yang sudah mukallaf tidak boleh membuka auratnya di samping orang yang tidak dihalalkan untuk melihatnya, begitu juga kalau sendiri, kecuali karena darurat, baik karena untuk membuang air besar atau kecil atau karena mau mandi.

Mālikī dan Syāfi‘ī: Tidak haram, hanya tetap makruh kecuali kalau darurat.

Imāmiyyah: Tidak diharamkan dan tidak makruh, jika tidak ada yang melihat.

Pendapat Ibnu Abī Lailā ini merupakan pendapat yang aneh yang menyatakan bahwa manusia dilarang mandi dengan telanjang, karena dalam air itu ada penghuninya (Al-Majmu‘ Syarḥ-ul-Muhadzdzab, Jilid 2, halaman 197)

 

Wanita dan Muḥrim

2. Ulama madzhab berbeda pendapat tentang bagian anggota badan wanita yang wajib ditutupi dari pandangan muḥrim-nya yang laki-laki selain suaminya dan dari yang sejenis (wanita) yang muslimah. Dengan perkataan lain, apa batas aurat wanita dihadapan yang sejenis, dan dihadapan muḥrim-nya, baik karena ada hubungan darah maupun karena family dekat. (171)

Ḥanafī dan Syāfi‘ī: Dalam keadaan seperti itu hanya diwajibkan menutupi antara pusar dan lutut.

Mālikī dan Ḥanbalī: Bila di hadapan yang sejenis wajib menutupi antara pusar dan lutut, sedangkan kalau di hadapan muḥrim-nya yang laki-laki adalah semua badannya kecuali bagian yang ujung-ujungnya, seperti kepala dan dua tangan.

Sebagian besar Imāmiyyah: Bila dihadapan wanita (yang sejenis) dan dihadapan muḥrim-nya yang lelaki yang menutupi dua kemaluannya, tapi menutupi selain keduanya adalah lebih utama, kecuali kalau takut timbul fitnah.

 

Wanita dan Lelaki Lain (yang bukan muḥrim)

3. Tentang bagian anggota badan wanita yang wajib ditutupi di hadapan lelaki lain. Ulama madzhab sepakat bahwa semua badannya adalah aurat, selain muka dan dua telapak tangannya, berdasarkan firman Allah dalam Surat an-Nūr, ayat 31:

“Dan janganlah mereka (para wanita) menampakkan perhiasan kecuali yang biasa Nampak, dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudungnya ke dadanya….”

Yang dimaksud dengan perhiasan yang tampak itu adalah muka dan dua telapak tangan. Sedangkan yang dimaksud dengan khimar adalah penutup kepala, bukan penutup muka; yang dimaksud dengan jaib adalah dada. Para wanita itu telah diperintahkan untuk meletakkan kain penutup di atas kepalanya dan melemparkannya sampai menutupi dadanya. Kalau yang dimaksud dengan Surat al-Aḥzāb, ayat 1, seperti:

“Wahai nabi katakanlah kepada istri-istrimu, putri-putrimu, dan istri-istri orang-orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.”

Maka yang dimaksud itu adalah bukan penutup wajah, tetapi ia hanya baju dan kain.

 

Aurat Lelaki

4. Ulama madzhab berbeda pendapat tentang batas aurat lelaki, bagi yang melihat maupun yang dilihat. Maksudnya bagian badannya yang wajib ditutupi, dan yang wajib ditutupi untuk tidak dilihat matanya sendiri.

Ḥanafī dan Ḥanbalī: Bagi orang lelaki wajib menutupi antara pusar dan lutut selain di hadapan istrinya dan anggota badan yang lain boleh dilihat, baik sesama jenis maupun yang tidak sejenis (lelaki dan wanita), baik muḥrim maupun yang bukan muḥrim, supaya aman dari timbulnya fitnah.

Mālikī dan Syāfi‘ī: Aurat lelaki ada dua. Pertama kalau di hadapan lelaki dan muḥrim-nya yang wanita. Kedua di hadapan wanita-wanita lain (bukan muḥrim-nya). Keadaan yang pertama, ia hanya wajib menutupi antara pusar dan lutut saja. Sedangkan pada keadaan yang kedua, maka semua badan lelaki itu adalah aurat, dan haram dilihat oleh wanita lain (bukan muḥrim), hanya Mālikī yang mengecualikan, yaitu ujung-ujung anggota badan ketika aman dari rasa nikmat. Tetapi Syāfi‘ī justru mengharamkannya secara mutlak untuk dilihat (Al-Fiqhu ‘alal-Madzāhib-il-Arba‘ah, Jilid I, bab satr-ul-‘aurah).

Imāmiyyah: Membedakan antara yang wajib ditutupi bagi orang yang melihat dan yang wajib ditutupi bagi orang yang dilihat. Mereka berpendapat: Bagi lelaki tidak wajib ditutupi, kecuali dua kemaluannya, tetapi bagi wanita-wanita lain (bukan muḥrim-nya), diwajibkan menahan pandangannya, selain muka dan dua telapak tangannya. Ringkasnya bahwa seseorang lelaki boleh melihat badan lelaki lain, juga boleh melihat badan wanita yang dari muḥrim-nya, selain qubul dan dubur (dua kemaluannya) tanpa ragu-ragu. Wanita juga boleh melihat badan wanita lain, atau boleh melihat lelaki yang merupakan muḥrim-nya, selain dua kemaluannya tanpa ragu-ragu.

 

Anak-Anak

5. Tentang aurat anak kecil.

Ḥanbalī: Tidak ada batas aurat bagi anak kecil yang belum sampai berumur 7 tahun. Maka boleh menyentuh semua badannya dan juga melihatnya. Tetapi bila lebih dari umur itu dan belum 9 tahun, maka auratnya adalah kedua kemaluannya (qubul dan dubur) kalau laki-laki, tapi kalau perempuan, maka auratnya adalah semua badannya di hadapan orang lain.

Ḥanafī: Tidak ada batas aurat bagi anak yang berumur 4 tahun atau kurang dari umur tersebut, tapi kalau lebih dari 4 tahun, maka auratnya adalah qubul dan dubur selama masih belum mempunyai keinginan (sex) yang kuat. Kalau ia telah sampai pada batas mempunyai syahwat maka hukumnya sama dengan orang-orang yang sudah bāligh tak ada bedanya, baik laki-laki maupun wanita.

Mālikī: Bagi wanita boleh melihat dan menyentuh anak-anak sampai berumur 8 tahun, bila berumur dua belas tahun, ia boleh melihat tetapi tidak boleh menyentuhnya. Bila lebih dari itu maka hukumnya sama dengan hukum orang laki-laki. Bagi lelaki boleh melihat dan menyentuh anak kecil wanita yang berumur dua tahun delapan bulan, dan bila berumur empat tahun, hanya boleh melihat tapi tidak boleh menyentuhnya.

Syāfi‘ī: Aurat anak laki-laki yang sudah pubertas sama dengan batas aurat yang sudah bāligh. Kalau orang yang belum pubertas dan belum bisa membedakan sifatnya, maka tidak ada batasan auratnya. Tapi kalau bisa membedakan dengan syahwatnya, maka sama dengan bāligh. Sedangkan anak wanita yang belum pubertas kalau ia telah mempunyai syahwat maka ia sama dengan wanita bāligh. Bila tidak, haram dilihat faraj-nya (kemaluannya) bagi orang yang tidak bertugas untuk mendidiknya.

Imāmiyyah: Anak lelaki yang mudah mumayyiz (pintar) yang sudah dapat membedakan bentuk apa yang ia lihat wajib menutupi auratnya, tapi bila tidak pandai membedakan bentuk yang dilihatnya, ia tidak wajib menutupi auratnya. Ini kalau dikembalikan pada konteks wajibnya menutupi aurat. Sedangkan bolehnya melihat auratnya, maka Syaikh Ja‘far dalam bukunya Al-Ghitā’ menjelaskan: Tidak wajib menahan mata untuk melihat aurat orang yang belum berumur 5 tahun, tetapi kalau melihatnya dengan syahwat tidak boleh secara mutlak.

Dari keterangan di atas jelaslah bagi saya, bahwa ada beberapa hadits dari Ahl-il-Bait (keluarga Rasūlullāh) yang menjelaskan bahwa melihat aurat itu boleh sampai 6 tahun bukan 5 tahun.

 

Suara Wanita

6. Semua ulama sepakat bahwa suara wanita asing itu bukanlah aurat kecuali kalau dapat membangkitkan kenikmatan, atau takut dapat menimbulkan fitnah. Dan penulis buku al-Jawāhir memberi argumen tentang masalah ini di awal bab zuwaj dengan perjalanan sejarah yang terus berlaku di sepanjang masa dan tempat, dengan khutbah az-Zahrā’ serta putri-putrinya, dan percakapan para wanita dengan Nabi, dengan para Imam dan dengan para Ulama dimana jumlah sangat banyak sekali (tidak bisa dihitung) serta bukan dalam keadaan terpaksa, dan para wanita yang mengadakan ma’tam (majlis duka) dan dalam perayaan-perayaan perkawinan, di mana mereka berada bersama kaum lelaki sejak dahulu kala, dan dengan adanya wanita serta percakapan antara lelaki dan wanita dalam bergaulan. Adapun firman Allah SWT:

“Janganlah kamu tunduk dalam berbicara….”(Q.S al-Aḥzāb, 32) Jadi pada dasarnya tidak dilarang untuk berbicara, hanya cara berbicara dan tunduknya itu.

 

Warna Bukan Bentuk

7. Para ulama mazhab sepakat bahwa yang wajib ditutupi itu adalah warna (kulit) bukan bentuk (badan). (Tambahan dari penulis: Kalau kain penutup itu sama dengan warna kulit sehingga tidak bisa membedakan antara yang asli dan yang bukan, seperti pembalut daging, maka ada dan tidaknya penutup sama saja).

 

Antara Melihat dan Menyentuh

8. Setiap anggota badan yang boleh disentuh adalah boleh dilihat; dan setiap yang harus dilihat, orang disampingnya menurut kesepakatan semua ulama madzhab, karena menyentuh itu lebih kuat dan lebih dahsyat dalam memberikan rangsangan kenikmatan dari pada kenikmatannya dengan melihat. Tak ada seorangpun dari para ahli fiqih madzhab yang membolehkan antara melihat dan menyentuh secara bersamaan. Orang lelaki boleh melihat wajah dan telapak tangan wanita lain, tetapi tidak boleh menyentuh kecuali karena darurat, seperti memeriksa orang yang sakit dan menyelamatkan orang yang tenggelam. Ada hadits dari Imām Shādiq yang menjelaskan:

“ Apakah boleh berjabatan tangan antara lelaki dengan wanita yang bukan muhrimnya? Beliau menjawab: Tidak, kecuali dari belakang kain (dengan berlapis)”.

Ḥanafī: Mengecualikan kalau berjabatan dengan orang yang sudah tua. Dalam buku Ibnu ‘Ābidīn, jilid 1, halaman 284 dijelaskan: Wanita remaja tidak boleh disentuh wajahnya dan dua telapak tangannya, sekalipun aman dari menimbulkan getaran syahwat. Sedangkan orang yang sudah tua yang tidak mempunyai syahwat, maka boleh disentuh tangannya kalau aman dari menimbulkan syahwat.

Imāmiyyah dan Ḥanafī: Boleh menyentuh anggota badan yang boleh dilihat oleh muḥrim-nya. Sedangkan Syāfi‘ī tidak memperbolehkannya, bahkan pada orang lelaki pun dilarang untuk menyentuh perut ibunya dan punggungnya, tidak boleh memijit betis dan kakinya dan tidak boleh mengecup dahinya, begitu juga bagi seorang bapak tidak boleh menyentuh putrinya atau saudara perempuannya untuk memijat kakinya (Tazkirat-ul ‘Allāmah Al-Ḥillī, Jilid II, diawal bab Az-Zuwāj)

 

Antara Melihat dan Membuka

9. Imāmiyyah: Anggota badan yang boleh dibuka tidak pasti boleh untuk dilihatnya. Bagi seorang lelaki boleh membuka semua badannya kecuali 2 kemaluannya, tetapi bagi wanita yang bukan muḥrim-nya tidak boleh melihatnya. Saya tidak melihat pembahasan tentang masalah ini dalam buku-buku empat madzhab.

 

Perempuan Tua

10. Allah SWT berfirman:

Dan perempuan-perempuan tua yang telah berhenti dari haid dan mengandung, yang tidak ingin kawin lagi, tidaklah dosa Kalau mereka menanggalkan pakaiannya, dengan tidak bermaksud menampakkan perhiasannya, dengan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar Lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. an-Nūr 60).

Ayat di atas menunjukkan bahwa wanita-wanita tua yang tidak berkeinginan untuk kawin lagi karena umurnya sudah tua, maka mereka boleh menampakkan wajah mereka, sebagian rambutnya, lengannya, dan seterusnya yang biasa ditampakkan oleh wanita-wanita yang sudah berumur tua. Ada beberapa hadits dari Ahl-ul-Bait yang menunjukkan seperti itu, dengan syarat bahwa maksud dari penampakannya itu bukan untuk pamer, tetapi karena adanya kebutuhan. Tetapi menutupinya itu adalah lebih baik bagi mereka.

Yang perlu diketahui bahwa semuanya itu bisa berubah menjadi tidak boleh kalau takut dapat menimbulkan sesuatu yang diharamkan, karena wanita sekalipun sudah sangat tua, ia tetap bisa dipergunakan untuk melampiaskan hawa nafsu. Toleransi kepada wanita tua karena tumbuh anggapan bahwa mereka sama dengan wanita kecil yang tidak mempunyai syahwat dan kenikmatan. Bila diperkirakan pasti terjadi rangsangan syahwat dan kenikmatan, maka hukumnya sama dengan wanita remaja.

Islam telah memberikan kemudahan bagi wanita-wanita yang berumur tua (lanjut), dan memperketat bagi para wanita remaja, tetapi dalam prakteknya atau kenyataannya justru terbalik dari yang diperintahkan al-Qur’ān dan kami sering melihat bahwa para wanita remaja yang justru memamerkan dan memperlihatkan bagian anggota badannya. Sedangkan para wanita yang berumur lanjut (tua) justru menjaga dan menutupi anggota badannya. Maka dari keterangan di atas, para wanita remaja berarti telah meremehkan yang diperintahkan Allah untuk memperketatnya (menutupinya), dan para wanita tua diperintahkan untuk mempermudahnya, bukan sebaliknya.

 

Catatan:


  1. 17). Dalam ayat 31, Surat an-Nūr dijelaskan tentang orang yang dibolehkan bagi wanita untuk menampakkan perhiasan nya di hadapan mereka. Dalam ayat tersebut dijelaskan “istri-istri mumin”. Ayat tersebut telah melarang wanita muslimah untuk menampakkan auratnya di hadapan wanita non muslimah, Syāfiī, Mālikī dan Ḥanafī mengatakan bahwa larangan itu menunjukkan haram. Tetapi sebagian besar Imāmiyyah dan Ḥanbalī: Tidak ada beda antara wanita muslimah dengan wanita non muslimah, sebagaimana juga dimakruhkan untuk membuka auratnya di hadapan wanita non muslimah, menurut Imāmiyyah, karena hal itu akan diceritakan kepada suaminya. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *