3-12 Shalat – Fiqih Lima Madzhab

FIQIH LIMA MADZHAB
(Ja‘farī, Ḥanafī, Mālikī, Syāfi‘ī, Ḥanbalī)
(Judul Asli: Al-Fiqhu ‘Alal-Madzāhib-il-Khamsah)
Oleh: Muhammad Jawad Mughniyah.

Penerjemah: Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus al-Kaff.
Penerbit: PT LENTERA BASRITAMA

3. SHALAT

BAB 12

SHALAT

 

Shalat itu dibagi pada yang wajib dan yang sunnah. Shalat yang paling penting adalah shalat lima waktu yang wajib dilakukan setiap hari. Semua orang Islam sepakat bahwa orang yang menentang kewajiban ini atau meragukannya, ia bukan termasuk orang Islam, sekalipun ia mengucapkan syahādat, karena shalat termasuk salah satu rukun Islam. Kewajiban menegakkan shalat berdasarkan ketetapan agama, dan tidak mempunyai tempat untuk dianalisa serta ijtihād dalam masalah ini, dan tidak pula taqlīd.

Para ulama madzhab berbeda pendapat tentang hukum orang yang meninggalkan shalat karena malas dan meremehkan, dan ia meyakini bahwa shalat itu wajib.

Syāfi‘ī, Māliki dan Ḥanbalī: Harus dibunuh.

Ḥanafī: Ia harus ditahan selama-lamanya, atau sampai ia shalat.

Imāmiyyah: Setiap orang yang meninggalkan yang wajib, seperti shalat, zakat, membayar khumus, haji dan puasa, maka bagi hakim (pemerintah) yang melihatnya harus mendidiknya kalau ia patuh (mau mengikutinya). Bila tidak, harus mendidiknya lagi. Bila tidak lagi, sang hakim (pemerintah) harus mendidiknya lagi, dan bila pada keempat kalinya tetap tidak mau mengikuti, maka ia harus dibunuh. (Kasyf-ul-Ghitā’, Karya Al-Syaikh Al-Kabīr, halaman 79, cetakan tahun 1317 H).

 

Shalat-shalat Sunnah Rawātib

Shalat yang disunnahkan banyak macamnya di antaranya adalah shalat-shalat rawātib sehari-hari. Ulama madzhab, berbeda pendapat tentang jumlah banyak rakaatnya.

Syāfi‘ī: Sebelas rakaat, yaitu dua rakaat sebelum Shubuḥ, dua rakaat sebelum Zhuhur dan dua rakaat sesudahnya. Dua rakaat setelah Maghrib dan dua rakaat setelah shalat ‘Isyā’ serta satu rakaat shalat witir.

Ḥanbalī: Sepuluh rakaat, yaitu: Dua rakaat sebelum dan sesudah Zhuhur dua rakaat setelah Maghrib, dua rakaat setelah ‘Isyā’ dan dua rakaat sebelum shalat Shubuḥ.

Mālikī: Untuk shalat-shalat sunnah rawātib tidak ada batas tertentu dan tidak ada pula jumlah khusus, hanya yang paling utama adalah: Empat rakaat sebelum Zhuhur dan enam rakaat setelah Maghrib.

Ḥanafī: Shalat rawātib itu dibagi kepada sunnah masnūnah (disunnahkan) dan mandūbah (disunnahkan). (121) Shalat masnūnah ada lima shalat yaitu 2 rakaat sebelum Shubuḥ, 4 rakaat sebelum Zhuhur dan dua rakaat setelahnya selain hari Jum‘at, 2 rakaat setelah Maghrib dan 4 rakaat setelah ‘Isyā’.

Sedangkan shalat-shalat yang mandūbah ada empat shalat, yaitu: 4 rakaat sebelum ‘Ashar, dan kalau mau 2 rakaat saja, 6 rakaat setelah Maghrib, 4 rakaat sebelum ‘Isyā’ dan 4 rakaat setelah ‘Isyā’.

Sedangkan shalat-shalat yang mandūbah ada empat shalat yaitu 4 rakaat sebelum ‘Ashar dan kalau mau 2 rakaat saja, 6 rakaat setelah Maghrib, 4 rakaat sebelum ‘Isyā’ dan 4 rakaat setelahnya.

Imāmiyyah: Shalat rawātib itu setiap hari ada 34 rakaat, yaitu: 8 rakaat sebelum Zhuhur, 8 rakaat sebelum ‘Ashar, 4 rakaat sesudah Maghrib dan dua rakaat sesudah ‘Isyā’, tetapi dua rakaat yang terakhir ini (2 rakaat sesudah ‘Isyā’) dilakukan sambil duduk, dan ia dihitung satu rakaat setelah dinamakan shalat witir, dan 8 rakaat shalat malam, dua rakaat untuk meminta syafā’at, dua rakaat untuk witir, (132) dan dua rakaat untuk shalat Shubuḥ, yang dinamakan salat Fajar.

Ḥanbalī dan Syāfi‘ī berkata bahwa paling sedikitnya shalat witir adalah 1 rakaat dan paling banyak 11 rakaat, serta waktunya sesudah shalat ‘Isyā’.

Ḥanbalī: Shalat witir itu yang berlaku (yang banyak dilakukan para sahabat) adalah satu rakaat saja.

 

Waktu Dua Zhuhur (Zhuhur dan ‘Ashar)

Para ahli fikih memulai dengan salat Zhuhur, karena ia merupakan shalat pertama yang diperintahkan (difardhukan) kemudian setelah itu difardhukan shalat ‘Ashar, kemudian Maghrib, lalu ‘Isyā’, kemudian shalat Shubuḥ secara tertib. Kelima shalat tersebut diwajibkannya di Makkah pada malam ‘Isyā’ setelah sembilan tahun dari diutusnya Rasūlullāh, berdasarkan firman Allah:

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam, dan Shubuḥ. Sesungguhnya shalat Shubuḥ disaksikan (oleh malaikat).” (Q.S. al-Isrā’ 78)

Para ulama madzhab sepakat bahwa shalat itu tidak boleh didirikan sebelum masuk waktunya, dan juga sepakat bahwa apabila matahari telah tergelincir berarti waktu Zhuhur telah masuk, Hanya mereka berbeda pendapat tentang batas ketentuan waktu ini dan sampai kapan waktu shalat itu berakhir.

Imāmiyyah: Waktu Zhuhur itu hanya khusus dari setelah tergelincirnya matahari sampai diperkirakan dapat melaksanakannya, dan waktu ‘Ashar juga khusus dari akhir waktu siang sampai diperkirakan dapat melaksanakannya, dan antara yang pertama dan yang terakhir itu ada waktu musytarak (143) (menghubungkan) antara dua shalat (Zhuhur dan ‘Ashar). Dengan dasar inilah Imāmiyyah memperbolehkan melakukan jama’ (mengumpulkan) antara Zhuhur dan ‘Ashar, yaitu pada waktu musytarak (penggabungan). Apabila waktunya sempit dan sisa waktunya hanya cukup untuk mendirikan shalat Zhuhur saja, maka boleh mendahulukan shalat ‘Ashar dan shalat Zhuhur, kemudian shalat Zhuhur pada waktu terakhir dengan qadhā’.

Empat madzhab: Waktu Zhuhur dimulai dari tergelincirnya matahari sampai bayang-bayang sesuatu sama panjangnya dengan sesuatu itu. Apabila lebih, walau hanya sedikit, berarti waktu Zhuhur telah habis.

Tetapi Syāfi‘ī dan Mālikī: Batasan ini hanya berlaku khusus bagi orang yang memilihnya, sedangkan bagi orang yang terpaksa, maka waktu Zhuhur itu sampai bayang-bayang sesuatu (benda) lebih panjang dari benda tersebut.

Imāmiyyah: Ukuran panjangnya bayang-bayang sesuatu sampai dengan panjang benda tersebut merupakan waktu Zhuhur yang paling utama. Dan Kalau ukuran bayang-bayang suatu benda lebih panjang dua kali dari benda tersebut merupakan waktu ‘Ashar yang utama.

Ḥanafī dan Syāfi‘ī: Waktu ‘Ashar di mulai dari lebihnya bayang-bayang sesuatu (dalam ukuran panjang) dengan benda tersebut sampai terbenamnya matahari.

Mālikī: ‘Ashar mempunyai dua waktu. Yang pertama disebut waktu ikhtiyāri yaitu dimulai dari lebih bayang-bayang suatu benda dari benda tersebut, sampai matahari tampak menguning. Sedangkan yang kedua disebut waktu idhthirāri, yaitu dimulai dari matahari yang tampak menguning sampai terbenamnya matahari.

Ḥanbalī: Yang termasuk paling akhir waktu shalat ‘Ashar adalah sampai bayang-bayang sesuatu benda lebih panjang dua kali dari benda tersebut, dan pada saat itu boleh mendirikan shalat ‘Ashar sampai terbenamnya matahari, tetapi orang yang shalat pada saat itu berdosa, dan diharamkan sampai mengakhirinya pada waktu tersebut. Madzhab-madzhab yang lain tidak sependapat dengan pendapat di atas.

 

Waktu Dua ‘Isyā’

Syāfi‘ī dan Ḥanbalī (berdasarkan pendapat Imām Syāfi‘ī dan Imām Aḥmad bin Ḥanbalī): Waktu Maghrib dimulai dari hilangnya sinar matahari dan berakhir sampai hilangnya cahaya matahari di arah Barat. Mālikī: Sesungguhnya waktu Maghrib itu sempit. Waktunya khusus dari awal tenggelamnya matahari sampai diperkirakan dapat melaksanakan shalat Maghrib itu, yang mana termasuk di dalamnya cukup untuk bersuci dan adzan serta tidak boleh mengakhirinya (mengundurkan) dari waktu ini dengan sesuka hati (sengaja). Sedangkan bagi orang yang terpaksa, maka waktu Maghrib berlaku sampai terbitnya fajar, hanya tidak boleh mengakhirkan waktu Maghrib dari awal waktunya. Ini hanya pendapat Mālikī saja.

Imāmiyyah: Waktu sholat Maghrib hanya khusus dari awal waktu terbenamnya matahari (154) sampai diperkirakan dapat melaksanakannya, sedangkan waktu ‘Isyā’ hanya khusus dari akhir separuh malam pada bagian pertama (kalau malam itu dibagi dua) sampai diperkirakan dapat melaksanakannya. Di antara dua waktu tersebut adalah waktu musytarak (penggabungan) antara shalat Maghrib dan shalat ‘Isyā’. Dari itu, mereka (Imāmiyyah) memperbolehkan melaksanakan shalat jama’. Pada waktu musytarak ini.

Keterangan di atas kalau dihubungkan dengan orang yang memilih. Tapi kalau bagi orang yang terpaksa, baik karena tidur atau lupa, maka waktu 2 shalat tersebut sampai pada terbitnya fajar, hanya waktu shalat ‘Isyā’ khusus dari akhir waktu malam sampai diperkirakan dapat (cukup) untuk melaksanakannya saja dan waktu shalat Maghrib khusus dari bagian pertama dari separuh (setengah) malam bagian kedua sampai diperkirakan dapat (cukup) untuk melaksanakannya saja.

 

Waktu Shubuḥ

Waktu Shubuḥ yaitu terbitnya fajar shādiq sampai terbitnya matahari menurut kesepakatan semua ulama madzhab kecuali Mālikī.

Mālikī: Waktu Shubuḥ ada dua: Pertama adalah ikhtār (memilih), yaitu dari terbitnya Fajar sampai terlihatnya wajah orang yang kita pandang; sedangkan kedua adalah idhthirāri (terpaksa), yaitu dari terlihatnya wajah tersebut sampai terbitnya matahari.

Catatan:


  1. 12). Ḥanafī mempunyai istilah-istilah tentang apa yang wajib dikerjakan dan yang tidak boleh ditinggalkannya, yang mana dibagi dua , yaitu: Fardhu apabila perbuatan itu ditetapkan berdasarkan dalil qath’ī (pasti), seperti al-Qur’ān, hadits yang mutawatir, dan ijma‘. Kedua, wajib apabila yang ditetapkan berdasarkan dalil dzannī (perkiraan), seperti qiyās dan hadis yang diriwayatkan oleh satu orang. Sedangkan perbuatan yang lebih baik (kuat) untuk dikerjakan dari pada ditinggalkan dibagi kedalam dua bagian juga, yaitu masnūn: perbuatan yang biasa dilakukan Nabi, Khulafā’-ur-Rāsyidīn, yang kedua mandūb, yaitu perbuatan yang diperintahkan oleh Nabi tetapi tidak biasa dilakukan oleh beliau sendiri. Juga perbuatan yang wajib ditinggalkannya dan tidak boleh dilakukannya, kalau ia ditetapkan berdasarkan dalil qath’ī (pasti), maka perbuatan yang dilarang itu adalah ḥarām. Bila perbuatan ditetapkan berdasarkan dalil dzannī (perkiraan), maka larangan tersebut adalah makrūh yang mendekatkan haram. 
  2. 13). Shalat witir menurut Ḥanafī ada tiga rakaat dengan satu salām. Waktunya berlaku mulai tenggelamnya syafaq aḥmar (awan merah) sampai terbitnya fajar. 
  3. 14). Di antara ulama madzhab ada yang setuju dengan Imāmiyyah yang menyatakan boleh melakukan jama’ bagi orang yang muqīm (bukan musāfir) Syaikh Aḥmad Shādiq Al-Ghimārī telah mengarang suatu buku yang menjelaskan hal tersebut, yang buku itu dinamakan: Izālat-ul-Khatari ‘Amman Jama‘a Bain-ash-Shalātaini fil-Ḥadhar. 
  4. 15). Terbenamnya matahari terjadi bila tidak ada sinar matahari yang membias ke atas, sama dengan pendapat empat madzhab. Hanya Imāmiyyah berpendapat bahwa terbenamnya matahari itu tidak bisa diketahui dengan tidak terlihatnya bulatan matahari dari pandangan mata, bahkan dengan naiknya cahaya merah di arah Timur dengan perkiraan tingginya sama dengan orang laki-laki berdiri, karena Timur lebih tinggi dari Barat, di atasnya terdapat cahaya merah yang menentang (berlawanan) dengan cahaya matahari. Ini terjadi setiap matahari di arah Barat tenggelam, dan cahaya yang berlawanan itu naik ke atas. Sedangkan itu yang kami dengar bahwa Syī‘ah tidak berbuka puasa Ramadhān sehingga sampai terbitnya bintang-bintang, adalah tidak mempunyai sumber dasar yang dapat dipertanggungjawabkan. Bahkan orang-orang Syī‘ah telah menentang isu ini sebagaimana yang ditulis mereka adalah beberapa buku Fiqih mereka. Mereka menolak orang yang menyangka bahwa bintang itu kadang-kadang terbit sebelum terbenamnya matahari, bersamaan dengan atau sesudahnya. Orang yang mengakhirkan (mengundurkan) shalat maghribnya sampai bintang-bintang bertaburan, maka ia dilaknat 7 keturunan. Imāmiyyah (Syī‘ah) berpendapat seperti ini sebagai (sikap menolak) terhadap isu yang dikembangkan oleh pengikut Abul-Khaththāb yang berpendapat seperti di atas. Mereka sebenarnya (yang menuduh saya seperti itu) adalah golongan yang merusak dan jahat. Segala puji bagi Tuhan alam semesta. Dikatakan pada Imām Shādiq: “Sesungguhnya penduduk ‘Irāq selalu mengakhirkan shalat maghrib sampai bintang-bintang bertaburan”. Maka Imām Shādiq menjawab: “Ini merupakan perbuatan yang selalu dilakukan musuh Allah, yaitu Abul-Khaththāb”. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *