3-1 Sifat Mutlak – Insan Kamil – Syaikh Abd. Karim al-Jaili

INSAN KAMIL
Ikhtiar Memahami Kesejatian Manusia Dengan Sang Khaliq Hingga Akhir Zaman

Karya: Syaikh Abd. Karim Ibnu Ibrahim al-Jaili

Penerjemah: Misbah El Majid. Lc.
Diterbitkan oleh: Pustaka Hikmah Perdana.

Rangkaian Pos: 003 Sifat Mutlak - Insan Kamil - Syaikh Abd. Karim al-Jaili

Bab 3

SIFAT MUTLAK

(Bagian 1 dari 2)

 

Ash-Shifat (sifat) sejatinya adalah sebuah berita yang mengabarkan kepada diri anda tentang keadaan sesuatu yang disifati. Yakini apa yang sampai kepada pemahaman anda esensi dan keadaan suatu yang disifati, yang dengan itu anda bisa memakrifahi sesuatu tersebut, berikut anda bisa mengumpulkan dalam estimasi anda, serta menjabarkannya dalam pikiran anda, pun mengeksiskannya dalam logika anda, terlebih Dzauq (intuisi) anda yang dengan itu anda bisa menghadirkan ‘rasa’ akan keadaan al-Maushūf (yang disifati) dengan sifat itu sendiri, lalu mewacanakan sifat-sifat tersebut dalam diri anda. Pada tahap ini boleh jadi sifat-sifat itu mendominasi diri anda dan membuat anda menemukan “dzauq” (intuisi), juga sebaliknya melahirkan dzauq yang berlawanan. Maka pahami dengan seksama, telisik dengan cermat agar dzauq (intuisi) yang hadir dalam diri anda benar-benar membiaskan ‘rasa’ pada pendengaran anda yang bersendikan rahmat kebersamaan anda dengan-Nya dan anda pun terlepaskan dari jerat-jerat simbolistik yang mengantarkan diri anda tenggelam dalam samudera fanā’ bersama-Nya. Demikian pula anda akan tersucikan dari Ḥijāb (tirai penghalang). Ketahuilah bahwasanya ash-Shifat (sifat) itu selalu mengikuti al-Maushūf (yang disifati), yakni tidak bersifat dengan sifat-sifat selain diri anda, tidak pula dengan sifat-sifat jiwa anda, dan anda sama sekali tidak berarti di hadapan sifat-sifat itu, kecuali jika anda mengetahui bahwasanya diri anda adalah inti (dzāt) al-Maushūf (yang disifati) dan anda benar-benar yakin bahwa anda mengetahuinya secara hakiki. Pada tahap tingkat spiritual (Maqām) ini ilmu mengikuti anda secara primer dan anda tidak butuh peneguhan atas pengetahuan yang anda yakini, karena sifat terkait erat dengan yang disifati dalam segala hal, ia (sifat) ada dengan wujud al-Maushūf (yang disifati), ia (sifat) hilang dengan ketiadaan yang disifatinya.

Sifat dalam lanskap pandangan ulama ‘Arab terbagi atas dua macam:

1. Sifat keutamaan. Sifat keutamaan adalah sifat yang terkait dengan inti (dzāt) manusia seperti al-Ḥayāh (kehidupan).

2. Sifat utama. Sifat utama adalah sifat yang terkait dengan keutamaan dan sesuatu yang diluar keutamaan seperti al-Karam (kemuliaan) dan sifat sejenis lainnya.

Para ahli hakekat mengatakan nama-nama al-Ḥaqq terbagi atas dua bagian yakni nama-nama yang terkait dengan penyifatan Diri-Nya, yang oleh para ahli ilmu grametika bahasa disebut dengan nama-nama an-Na‘ūtiyyah (nama-nama yang berdimensikan sifat). Bagian Pertama: Berdimensikan inti (dzāt)-Nya, seperti: Maha Esa, Maha Tunggal, Berdiri Sendiri, Tempat bergantung segala sesuatu. Maha Agung, Maha Hidup, Maha Mulia, Maha Besar, Maha Tinggi, dan lain sebagainya. Bagian Kedua: Berdimensikan sifat Diri-Nya, seperti al-‘Ilm (berpengetahuan) dan al-Qudrah (yang berkemauan) atau sifat yang terkait dengan Diri-Nya, seperti al-Mu‘thī (Maha Memberi), al-Khallāq (Maha Mencipta), juga sifat yang berkait dengan Af’āl (perbuatan-perbuatan)- Nya. Asal penafsiran dalam sifat-sifat ketuhanan adalah, isim-Nya (ar-Raḥmān)- Maha Pemurah-, hal mana isim tersebut melingkupi segala sesuatu yang bersifat universal, perbedaan antara nama ar-Raḥmān dengan nama Allah dalam manifestasi sifat universal ar-Raḥman merupakan manifestasi daripada sifat-sifatNya secara universal, sedang Allah penampakan inti nama-Nya secara utuh.

Ketahuilah, bahwasanya ar-Raḥmān adalah nama al-Ḥaqq yang melahirkan pengetahuan tentang inti martabat ketinggian dari wujud paripurna dengan syarat kesempurnaan mutlak tanpa ada keterkaitan dengan makhluk, sedangkan isim (Allah) adalah pengetahuan akan dzat Wājib-ul-Wujūd (wujud yang mesti ada dengan sendirinya) dengan syarat kemutlakan kesempurnaan-Nya yang termanifestasikan dalam sifat-sifat kesempurnaan makhluk-Nya. Allah bersifat umum sedang ar-Raḥmān bersifat khusus yakni isim ar-Raḥmān dikhususkan dengan kesempurnaan-kesempurnaan Ilāhiyyah (ketuhanan) sedang nama (Allāh) mencakup al-Ḥaqq dan mukhlūq. Manakala ar-Raḥmān dikhususkan dengan kesempurnaan dari kesempurnaan-kesempurnaan Ilāhiyyah (ketuhanan), maknanya bergeser dari tempatnya ke nama-nama yang layak al-Mulk serta nama-namaNya yang lain. Masing-masing dari nama-nama tersebut maknanya meliputi sifat-sifat yang ada pada tiap-tiap martabat, berbeda dengan nama-Nya ar-Raḥmān, pemaknaan umumnya adalah sentara kesempurnaan yang mencakup segenap kesempurnaan, ia merupakan sifat universal untuk segala sifa-sifat Ulūhiyyah (ketuhanan).

Ketahuilah, bahwasanya sifat di mata para ahli hakekat adalah tidak bisa dicapai dengan penglihatan mata dan tidak berujung, berbeda dengan dzāt ia bisa digapai dengan penglihatan, namun penglihatan yang berdimensi al-Kasyf (intuitif), dengan demikian para ahli hakekat tersebut mampu me-mukāsyafah-i inti (dzāt)-Nya. Di mata mereka inti (dzāt)-Nya sangat jelas sedang sifat-sifatNya di mata para ahli hakekat tidak jelas dan tidak terbatas, contoh sederhananya orang yang prosesi ritualnya tumbuh dan berkembang akan meningkat dari martabat kebendaan menuju martabat kequdusan dan akan dibukakan pengetahuan intuisi (kasyf) untuknya, dengan begitu ia akan memakrifahi (memahami dengan pemahaman hakiki) bahwasanya inti (dzāt)-Nya adalah inti (dzāt) dirinya. Daya persepsi dan ilmunya mengantarkan dirinya kepada Makrifatullāh. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Barang siapa yang memahami dirinya, akan makrifah (faham) Tuhannya.” Orang yang telah memahami kesejatian dirinya, ia akan memahami inti (dzāt) daripada sifat-sifat yang terlanskapkan dalam sifat-sifat ketuhanan vis avis sifat-sifat dirinya. Karenanya para ahli hakekat tidak akan pernah mampu melihat sifat-sifatNya yang termanifestasikan dalam segenap wujud, karena sifat-sifatNya tidak terbatas dan tidak berujung.

Semisal siifat al-‘Ilmiyyah (pengetahuan) jika telah digapai seorang hamba ketuhanan, ia tidak akan pernah bisa mengetahuinya secara rinci (parsial) selain al-Qadar yang diturunkan ke dalam qalbunya, sedang al-Idrāk (daya persepsi) lahir dari sifat al-‘Ilmiyyah (pengetahuan), seperti jikalau ditanyakan kepada seseorang, berapakah jumlah laki-laki yang ada di komunitasnya? Ia lalu berusaha mengetahui nama-nama mereka dan berusaha mengidentifikasi karakter, kepribadian dan sifat-sifat mereka yang tidak terkira ragamnya, demikianlah hingga ia dapat menyimpulkan secara garis besar akan kesejatian kelaki-lakian seorang pria secara gradual dan bukan secara parsial. Dalam tataran kemanusian (ciptaan) saja kita tidak mampu mengindentifikasi sifat-sifat manusia secara universal, bagaimana pula dengan sifat-sifat ketuhanan, sungguh kesempurnaan sifat-Nya tidak berpulang dan tidak memiliki kata akhir. Dengan semantis logika seperti itu dapat difahami jikalau para ahli hakekat berkeyakinan bahwa yang bisa digapai adalah inti (dzāt)-Nya, sedang sifat-sifatNya tidak terjangkau dalam pengertian tidak ada batasan dan akhirannya, bukan dalam pengertian subtansi sifatnya. Maka hanya dzāt yang bisa dilihat dalam lanskap hakiki, sedang sifat-sifat dalam dimensi hakekat tidak bisa dilihat karena tidak berujung dan tidak terbatas.

Para peniti jalan Allah (Sālikīn) banyak sekali yang terhijabkan dengan masalah ini, yang sedemikian itu tatkala mereka telah menggapai maqām Kasyf (pengetahuan intuisi) dan dimakrifahkan kepada mereka inti (dzāt)-Nya. Mereka mencari gapaian sifat-sifatNya namun mereka tidak mendapatinya dalam diri mereka lalu mengingkarinya. Mereka lantas tidak memenuhi panggilan-Nya manakala Dia menyeru kepada diri mereka, lebih dari itu mereka tidak melakukan ritual ibadah dan ubudiyah kepada-Nya. Jika diberitahukan kepada mereka firman-Nya yang telah diturunkan kepada Mūsā: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku.” Q.S. Thāhā 20:14. Mereka akan berkata kepada-Nya, Engkau tidak lain adalah makhluk, sebab mereka tidak percaya kepada al-Ḥaqq, bahwasanya Diri-Nya tidak bisa dilihat dengan sifat-sifatNya, dalam persepsi mereka sifat-sifat al-Ḥaqq ada pada inti (dzāt)-Nya. Tafsir menifestasi ketuhanan yang ada dibenak mereka berbeda dengan tafsir (pemahaman) ketuhanan yang Shaḥīḥ (valid) dan Syāmil (utuh), maka lahirlah keingkaran dalam diri mereka yang demikian itu karena mereka mengira bahwa sifat-sifatNya bisa dilihat dalam inti (dzāt)-Nya, dengan syuhūd (kesaksian) seperti yang terjadi pada kesaksian inti (dzāt). Mereka tidak mengetahui bahwa realita tersebut merupakan sesuatu yang mustahil, meski pada makhluk sekalipun, sebab kesejatian diri anda hanya bisa dilihat dan ditentukan dengan inti (dzāt) diri anda sendiri. Adapun sifat-sifat yang ada dalam diri anda seperti keberanian, kedermawaan, keilmuan dan sifat-sifat lainnya tidak bisa dipersepsi secara kesaksian hakiki, akan tetapi bisa dilihat melalui penampakan yang lahir dari diri anda secara parsial dan perlahan-lahan. Jika sifat-sifat tersebut mendominasi diri anda, maka akan tampak pada diri anda sifat-sifat tersebut dan meninggalkan bekas-bekas (pengaruh) pada diri anda, jika sifat-sifat itu nihil dari diri anda, maka sifat-sifat itupun lenyap dari diri anda, hingga sifat-sifat tersebut tidak bisa disaksikan dan tidak memiliki bekas sedikitpun dalam diri anda. Di sinilah peran signifikan akal terlihat fungsinya, ia akan mengantarkan pemahaman anda selaras dengan tradisi yang melanskapi diri anda, sejalan dengan hukum kehidupan yang ada.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *