Selamat datang, Anakku
Rasūlullāh Saw. pernah menulis surat kepada seorang kepala suku yang bernama Ḥabīb. Ketika Ḥabīb, yang dikenal sebagai tiran yang kejam, membaca surat itu, ia memperlakukan utusan Nabi Saw. dengan kasar, bahkan membunuhnya.
“Singkirkan surat ini dari hadapanku!” teriaknya penuh kemarahan.
Para pembantunya segera menyingkirkan surat itu dan menyatukannya dengan surat-surat lain dalam sebuah kotak, lalu disimpan di ruang penyimpanan istana. Surat yang dikirimkan Nabi Saw. itu tidak pernah disentuh lagi.
Kepala suku itu memiliki seorang anak laki-laki yang tampan bernama Khabbāb. Suatu hari Khabbāb memasuki ruang penyimpanan istana untuk melihat-lihat beberapa dokumen. Ketika ia memeriksa kotak surat, ia melihat surat dari Nabi Saw. Surat itu menarik perhatiannya sehingga ia membuka dan membacanya Ketika itulah, api keimanan menyala-nyala dalam hatinya. Cahaya Islam membara dalam dadanya dan menyebar ke seluruh anggota tubuhnya. Khabbāb membaca surat itu berkali-kali. Sejak hari itu, ia kerap terlihat merenung dan berpikir khusyu‘. Ia tidak makan, tidak minum, tidak pula tidur. Ia terus merenung seraya bertanya dalam hati, “Siapakah Muḥammad yang telah menulis surat ini?”
Akhirnya, suatu hari Khabbāb memberanikan diri berbicara kepad ayahnya tentang surat itu. Namun, sang ayah memarahinya: “Ya, aku menerima surat itu, tetapi aku tidak menyukai isinya. Surat itu bilang, agama dan keyakinan kita, serta patung-patung sesembahan kita adalah palsu. Penulis surat itu seorang penyihir yang ingin menaburkan benih perpecahan di antara bangsa Arab dengan menciptakan agama dan kepercayaan baru. Ia bilang, Islam adalah satu-satunya agama dan kepercayaan sejati. Ia tidak membedakan orang kaya dan miskin. Ia memandang sama antara budak dan orang merdeka. Berhati-hatilah Anakku, jangan sampai kau terpengaruh!”
Khabbāb, yang hatinya telah disinari cahaya Ilahi dan kecintaan kepada Muḥammad, sangat terkejut mendengar ucapan ayahnya.
“Ayah sungguh memalukan!” ujar Khabbāb keras: “bagaimana bisa Ayah berkata seperti itu? Ayah telah membunuh utusan yang membawa pesan kebenaran.”
Sekalipun sang ayah menentangnya, keinginan Khabbāb untuk memeluk Islam makin keras. Di malam dan siang hari, diam-diam ia berdoa pada Tuhan: “Wahai Tuhan Yang Maha Melindungiku, Engkau Maha Mengetahui isi hatiku. Aku mencintai Rasūl-Mu, meskipun aku belum melihat wajahnya. Aku ingin mempersiapkan diriku sehingga tak ada lagi keraguan. Jika saatnya tiba, jumpakan aku dengan kekasih-Mu. Tunjukkan kepadaku keindahannya, sekali saja. Setelah itu, biarkan aku mati. Aku tidak lagi memikirkan mahkota atau kekuasaan.”
Lalu Khabbāb pergi ke tempat-tempat sepi, menangis tersedu. Ia tidak pernah berhenti menyebut nama Rasūlullāh. Ia tidak tidur, tidak bersenang-senang, dan tidak berkumpul dengan orang-orang. Ia menjauhi manusia.
Ayahnya murka ketika mengetahui tingkah aneh putranya itu. Suatu hari, ayahnya berkata: “Lihatlah Anakku, kau telah menghinakan dirimu dan membawa kesialan bagi kita semua. Kami benar-benar kecewa! Kuberikan penawaran terakhir sebelum kuserahkan dirimu kepada algojo. Kembalilah kepada agama dan kepercayaanmu. Jadilah kau raja sebagai penggantiku!”
Namun, Khabbāb menjawab: “Ayah, apa yang Ayah katakan?
Aku tidak akan menukar emas untuk kaleng rombeng. Aku adalah hamba Allah; Dia adalah Tuhan Yang Maha Melindungi seluruh alam. Aku adalah pencinta kekasih-Nya. Hatiku dipenuhi cinta kepadanya. Tak jadi masalah bagiku, bagaimana kau akan menghukumku, bahkan jika kau memberi hukuman seribu kali lebih berat dari hukuman yang sekarang kuterima, atau jika kau memanggal semua anggota tubuhku, aku tidak akah pernah meninggalkan Islam.”
Khabbāb terdiam sejenak lalu melanjutkan: “Hukuman apa pun yang telah kausiapkan, lakukanlah! Inilah kepala, punggung, dan badanku. Aku di sini, di hadapanmu. Ayo teruskan! Hukumanmu tak akan berpengaruh apa-apa kepadaku. Cinta kasih telah menyelimuti diriku. Aku telah menyerahkan jiwa dan ragaku kepada jalannya. Api cinta telah menjadi sahabatku. Mereka yang mengikuti Muḥammad, menyerahkan segala yang mereka punya demi ia. Ayah! Hancurkan keangkuhanmu, jangan merasa malu di hadapan rakyatmu. Kalau Ayah cerdas, peluklah Islam. Ayah telah menyeruku kepada kekafiran dengan tangisan, sementara aku menyerumu menuju kebenaran dengan kata-kata manis.”
Ayahnya sadar, tidak ada harapan lagi untuk mengembalikan anaknya. Ia tahu, Khabbāb tidak akan pernah berada di sisinya lagi. Maka, ia pun memanggil para algojo dan berkata: “Siksa ia selama tiga hari, lalu bunuh di hari keempat!”
Tiga hari tiga malam mereka menyiksa Khabbāb dengan berbagai siksaan. Kaki dan tangannya diikat dengan rantai besar. Saat mendekati waktu eksekusi, algojo yang sedang bertugas diliputi rasa kantuk tak terhingga hingga ia jatuh tertidur.
Ketika Khabbāb menimba air dari sumur, dengan tangan dan kaki dirantai, ia bermunajat: “Ya Tuhan Yang Maha Melindungi, Engkau Mahakuasa dan Engkau adalah Yang Maha Menyembuhkan hamba yang berada dalam tekanan. Engkau pun telah mengetahui cinta kekasihku. Bukakan bagiku jalan lurus menuju kekasih-Mu Muḥammad. Tunjukkan kepadaku keindahan wajahnya yang diberkahi. Aku memuji-Mu dalam rasa sakit dan aniaya yang kualami demi agama dan kepercayaanku. Apabila aku mati tanpa sempat bertemu Muḥammad dan memandangnya dengan kedua mataku, sungguh aku akan tersiksa menunggu datangnya Hari Kebangkitan. Sedetik saja terpisah darinya, kurasakan bagai ratusan tahun. Ya Allah, yang menuntaskan segala persoalan, aku memohon, biarkan aku bertemu dengannya.” Selesai berdoa, ia menarik napas panjang.
Usai Khabbāb bermunajat, Allah memberikan apa yang Dia kehendaki, tentu kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Allah berkata kepada Jibrīl, “Khabbāb telah menghadapi ujian yang pedih sebagai seorang pencinta. Pergilah dan lepaskan ikatannya. Aku akan menyebarkan cerita tentang cinta kasihnya terhadap kekasih-Ku, juga derita yang ditanggungnya demi Aku dan ia. Khabbāb adalah teladan bagi seluruh hamba-Ku yang mengaku mencintai kekasih-Ku. Waktu perjumpaan telah tiba. Biarkan pencinta bersua dengan yang dicinta.” Serta merta, belenggu yang mengikat tangan dan kakinya lepas.
Kemudian, Khabbāb pergi dari tempat itu. Ia tidak mengetahui jalan mana yang harus ditempuh. Namun, jiwanya terus terbang bagaikan burung elang, meratap menyeru kekasihnya: “Duhai Pembimbingku, Nabiku, Kekasihku! Dengan kuasa Allah, ia melewati jarak 80 hari perjalanan hanya dalam satu malam. Ia menunggang “kuda cinta” hingga akhirnya memasuki Madīnah al-Munawwarah. Ia telah berada di tempat cahaya yang tidak pernah redup. Tiba di Madīnah, salah seorang sahabat Nabi, ‘Amr, bertemu dengannya. Ia melihat seorang pemuda yang terus menangis dengan wajah memancarkan kerinduan. Ia merangkulnya dan menanyakan sebab tangisannya: “Hai Anak Muda, apakah kau lapar atau haus? Mari, aku akan memberimu roti dan air. Anakku, aku melihat tanda-tanda keimanan dalam dirimu.’
Khabbāb menjawab: “Aku tidak ingin makan dan minum. Aku telah lama melupakannya, cinta telah mencukupiku.”
‘Amr sadar, pemuda ini seorang pencinta. “Kepada siapakah cintamu tertuju? Katakanlah kepadaku, Anakku Saat itu, Khabbāb tidak tahu, di mana ia berada. Ia berusaha menjaga rahasianya, karena takut menyebabkan derita baginya. ‘Amr memahami kondisi pemuda itu sehingga ia berkata: “Alḥamdulillāh, aku seorang Muslim. Jika kau percara kepadaku, demi Muḥammad, aku tidak akan memberitahukan rahasiamu kepada siapa pun.”
Khabbāb merasa tiba-tiba hatinya diliputi berkah dan kebahagiaan tak terkira saat mendengar nama kekasihnya. Seketika ia larut dalam kerinduan cinta yang dalam.
Sementara, di saat yang sama, Jibrīl turun menemui Rasūlullāh Saw. dan berkata, “Wahai Rasūlullāh, aku sampaikan salam kepadamu. Engkau harus keluar bersama sahabat-sahabatmu menyambut pencinta yang datang dari jauh untuk menemuimu. Ia begitu mencintaimu. Tampilan luarnya kumal, tetapi hatinya Islam. Allah berfirman: Aku telah menganugerahkan kepada Khabbāb kesabaran Ayyūb a.s. Biarkan kekasih-Ku menyambutnya dan membawanya menuju berkahnya. Aku cinta kepadanya karena cintanya kepada kekasih-Ku.”
Maka, Rasūlullāh Saw. dan para sahabat bergegas pergi menemui Khabbāb. Beliau merangkulnya dan berkata: “Selamat datang duhai pencinta yang beriman, selamat datang Anakku….”
Ketika Khabbāb ingin mengusap wajahnya dari debu dengan kaki Baginda Nabi, beliau berkata ramah: “Anakku, apa yang telah engkau tanggungkan demi Islam?”
Maka, Khabbāb menceritakan perjalanannya mencari Sang Kekasih. Mendengar penuturan Khabbāb, Baginda Nabi dan semua sahabat mencucurkan air mata.
Itulah akhir perjalanan sang pencinta. Mereka berujung pada kebahagiaan luar biasa. Khabbāb membuktikan cinta kasihnya, bertemu Rasūlullāh Saw. di dunia ini, dan akan bersamanya di akhirat nanti. Seorang pencinta Rasūlullāh Saw. akan mereguk kebahagiaan yang sedalam-dalamnya dan selamanya.[]