3-1 Puasa-puasa Sunnah & Wirid-wiridnya – Rahasia Puasa & Zakat (1/2)

Rahasia Puasa & Zakat
Mencapai Kesempurnaan Ibadah
(Percikan Iḥyā’ ‘Ulūm-id-Dīn)
Diterjemahkan dari: Asrār-ush-Shaum dan Asrār-uz-Zakāt
 
Karya: Al-Imām Abū Ḥāmid al-Ghazālī
Diterjemahkan dan diberi catatan kaki oleh: Muḥammad al-Bāqir
Penerbit: Penerbit Mizan

Rangkaian Pos: Puasa-puasa Sunnah & Wirid-wiridnya - Rahasia Puasa & Zakat

“Barang siapa berpuasa tiga hari dalam bulan yang disucikan, yakni Kamis, Jum‘at, dan Sabtu, maka Allah akan mencatatkan baginya, untuk setiap hari puasanya itu, pahala sembilanratus tahun ibadah.”Hadits Rasūlullāh s.a.w.

BAB III

Puasa-puasa Sunnah dan Wirid-wiridnya

Anjuran mengerjakan puasa sunnah lebih ditekankan pada “hari-hari yang memiliki keutamaan.” Hari-hari seperti itu adakalahnya terdapat di setiap tahun, setiap bulan, ataupun setiap pekan.

Adapun yang tahunan, setelah Ramadhān – ialah puasa hari ‘Arafah (9 Dzul-Ḥijjah), hari ‘Āsyūrā’ (10 Muḥarram), sepuluh hari pertama bulan Dzul-Ḥijjah, dan sepuluh hari pertama bulan Muḥarram. Selain itu, al-‘asyhur-ul-ḥurum atau “bulan-bulan disucikan” (Dzul-Qa‘dah, Dzul-Ḥijjah, Muḥarram, dan Rajab), juga merupakan saat-saat yang dianjurkan puasa. Semua itu merupakan waktu-waktu yang memiliki keutamaan. Demikian pula bulan Sya‘bān. Telah diriwayatkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. memperbanyak puasa di bulan Sya‘bān, sehingga seolah-olah sama dengan bulan Ramadhān.

Diriwayatkan pula bahwa “puasa yang paling utama, setelah bulan Ramadhān, ialah puasa di Muḥarram”. Hal itu disebabkan, bulan tersebut berada di awal tahun. Maka, mengerjakan perbuatan baik padanya menimbulkan harapan akan keberkahan tahun itu dan tahun-tahun selanjutnya.

Sabda Nabi s.a.w.:

صَوْمُ يَوْمٍ مِنْ شَهْرِ حَرَامٍ أَفْضَلُ مِنْ ثَلَاثِيْنَ مِنْ غَيْرِهِ وَ صَوْمُ يَوْمٍ مِنْ رَمَضَانَ أَفْضَلُ مِنْ ثَلَاثِيْنَ.

Puasa satu hari di bulan-bulan “yang disucikan” lebih utama daripada puasa tigapuluh hari di bulan-bulan lainnya. Dan, puasa satu hari di bulan Ramadhān lebih utama daripada puasa tigapuluh hari di bulan-bulan yang “disucikan”.” (241).

Dalam hadits lainnya disebutkan:

مَنْ صَامَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ شَهْرٍ حَرَامٍ: الْخَمِيْسَ وَ الْجُمُعَةَ وَ السَّبْتَ كَتَبَ اللهُ لَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ عِبَادَةَ تِسْعَمِائَةِ عَامٍ.

Barang siapa berpausa tiga hari dalam bulan yang disucikan, yakni Kamis, Jum‘at, dan Sabtu, maka Allah akan mencatatkan baginya, untuk setiap hari puasanya itu, pahala sembilanratus tahun ibadah.” (252)

Diriwayatkan pula dari beliau s.a.w.:

إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَلَا صَوْمَ حَتَّى رَمَضَانَ.

Apabila telah lewat separo dari bulan Sya‘bān, janganlah berpuasa sampai datang Ramadhān.” (263).

Karena itu, dianjurkan agar menghentikan puasa beberapa hari sebelum Ramadhān. Tetapi sekiranya dia terus juga berpuasa sampai datang bulan Ramadhān, hal itu dibolehkan juga. Rasūlullāh s.a.w. pernah melakukannya satu kali, sementara beliau lebih sering memutus antara puasa Sya‘bān dan Ramadhān.

Demikian pula, tidak dibenarkan bagi seseorang berpuasa dua atau tiga hari sebelum Ramadhān dengan niat menyambut kedatangannya. Kecuali, jika hal itu bertepatan dengan kebiasaannya berpuasa di hari-hari tersebut.

Beberapa dari kalangan sahabat juga tidak menyukai puasa di bulan Rajab seluruhnya, agar tidak menandingi bulan Ramadhān.

Bulan-bulan Utama

Yang dimaksud dengan “bulan-bulan utama” ialah Dzul-Ḥijjah, Muḥarram, Rajab, dan Sya‘bān). Adapun “bulan-bulan yang disucikan” atau al-‘asyhur-ul-ḥurum ialah Dzul-Qa‘dah, Dzul-Ḥijjah, Muḥarram, dan Rajab. Dan, yang paling utama di antara semua itu ialah bulan Dzul-Ḥijjah, disebabkan berlangsungnya ibadah haji di bulan itu.

Bulan Dzul-Qa‘dah termasuk “bulan-bulan yang disucikan” dan juga bagian dari “bulan-bulan haji”. Adapun Syawwāl termasuk bulan-bulan haji, tetapi tidak termasuk “bulan-bulan yang disucikan”. Sementara Muḥarram dan Rajab, tidak temasuk “bulan-bulan haji”.

Telah diriwayatkan bahwa Nabi s.a.w. pernah bersabda:

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ فِيْهِنَّ أَفْضَلُ وَ أَحَبُّ إِلَى اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ مِنْ أَيَّامِ عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ، إِنَّ صَوْمَ يَوْمٍ مِنْهُ يَعْدِلُ صِيَامَ سَنَةٍ، وَ قِيَامُ لَيْلَةٍ مِنْهُ يَعْدِلُ قِيَامَ لَيْلَةِ الْقَدْرِ قِيْلَ: وَ لَا الْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ تَعَالَى؟ قَالَ: وَ لَا الْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ إِلَّا مَنْ عُقِرَ جَوَادُهُ وَ أُهْرِيْقَ دَمُهُ.

Tidak ada hari-hari yang beribadah di dalamnya lebih disukai Allah s.w.t. seperti sepuluh hari pertama bulan Dzul-Ḥijjah. Puasa sehari pada hari-hari itu sebanding dengan puasa selama setahun penuh. Shalat malam (bertahajjud) padanya sebanding dengan shalat pada lailat-ul-qadar. Seorang laki-laki bertanya: “Tidak pula jihād fī sabīlillāh?” Jawab Nabi s.a.w.: “Tidak pula jihad lebih utama daripadanya, kecuali bagi pejuang yang kudanya terbunuh dan dia sendiri gugur dalam perjuangannya itu”.” (274).

Puasa-puasa Bulanan

Adapun hari-hari puasa yang berulang setiap bulan ialah awal bulan, pertengahannya, dan hari-hari terakhirnya. Termasuk dalam pertengahannya, yang biasa disebut “hari-hari putih” (yakni, yang malam-malamnya diterangi sinar bulan), yaitu tanggal tigabelas, empatbelas, dan limabelas. (Harap diingat bahwa yang dimaksud dengan itu ialah bulan-bulan Qamariah: Muḥarram, Shafar, dan seterusnya – Penerjemah).

Puasa-puasa Mingguan

Adapun hari-hari puasa yang berulang setiap minggu ialah Hari Senin, Kamis dan Jum‘at. Inilah hari-hari utama yang dianjurkan berpuasa padanya, di samping memperbanyak perbuatan-perbuatan kebajikan. Hal ini mengingat dilipatgandakan pahalanya, karena keberkahan waktu-waktu tersebut.

“Sebaik-baik puasa ialah puasa seperti yang dilakukan oleh saudaraku Dāūd. Dia berpuasa sehari dan berbuka sehari.”Hadits Rasūlullāh s.a.w.

Catatan:

  1. 24). Komentar al-‘Iraqīy: “Tidak saya jumpai teks hadits seperti itu. Tetapi dalam buku al-Mu‘jam-ush-Shaghīr, ath-Thabrānī meriwayatkan sebuah hadits dari Ibn ‘Abbās sebagai berikut: “Barang siapa berpuasa satu hari di bulan Muharram, maka baginya pahala yang sama dengan puasa tigapuluh hari (di hari-hari lainnya).
  2. 25). HR. al-Azdīy di antara hadits-hadits dha‘īf.
  3. 26). HR. al-Bukhārī, Muslim, dan Abū Dāūd.
  4. 27). HR. Tirmidzī dan Ibn Mājah, dari Abū Hurairah, tetapi tanpa ucapan: “Tidak pula jihad dan seterusnya.”

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *