3-1 Hikmah Keagungan Dalam Firman Tentang Nuh – Fushush-ul-Hikam Mutiara Hikmah 27 Nabi

FUSHŪSH-UL-ḤIKAM
MUTIARA HIKMAH 27 NABI
Penulis: Ibn ‘Arabī

(Diterjemahkan dari judul asli: The Bezels of Wisdom)

Alih Bahasa: Ahmad Sahidah dan Nurjannah Arianti
Penerbit: PENERBIT DIADIT MEDIA

Rangkaian Pos: Hikmah Keagungan Dalam Firman Tentang Nuh - Fushush-ul-Hikam Mutiara Hikmah 27 Nabi

HIKMAH KEAGUNGAN DALAM FIRMAN TENTANG NŪḤ

Bagi orang yang benar-benar mengetahui Realitas-realitas ilahi, doktrin tentang transendensi (at-tanzīh) menekankan pengetatan dan pembatasan terhadap Realitas, karena yang menegaskan bahwa Allah secara murni transenden, adalah orang bodoh atau jahat, meskipun ia Mu’min. Sebab, jika ia mempertahankan bahwa Allah secara murni transenden dan mengabaikan semua pertimbangan lain, maka ia bertindak jahat dan salah menafsirkan Realitas dan semua rasūl, walaupun tanpa disadarinya. Dia membayangkan bahwa dia menemukan kebenaran, padahal dia sepenuhnya kehilangan cap itu, layaknya orang yang mempercayai sebagian dan menyangkal sebagian. (11)

Telah dikenal bahwa ketika Kitab-kitab Suci berbicara tentang Realitas, mereka berbicara dengan suatu cara yang menghasilkan keumuman manusia dan makna yang langsung tampak. Kalangan elit, di sisi lain, memahami semua makna yang inheren dalam dalam ungkapan itu, dengan istilah apa pun ia diekspresikan.

Yang benar adalah bahwa Realitas itu nyata di dalam setiap wujud ciptaan dan di dalam setiap konsep, sementara Dia, pada waktu yang sama, tersembunyi dari semua pemahaman, kecuali bagi seseorang yang beranggapan bahwa Kosmos adalah bentuk-Nya dan identitas-Nya. Ini adalah Nama, Yang Lahir, sementara Dia juga adalah Ruh Yang Tidak Lahir, Yang Batin. Dalam pengertian inilah, Dia, dalam kaitannya dengan bentuk nyata dari Kosmos, adalah Ruh yang menentukan bentuk-bentuk itu.

Dalam pelbagai definisi tentang Manusia, aspek batin dan lahirnya dipertimbangkan, sebagai hal yang berkaitan erat dengan semua objek definisi. Adapun Realitas, Ia bisa didefinisikan dengan setiap definisi, karena bentuk-bentuk Kosmos tidak terbatas, tetapi ia tidak dapat menjadi definisi dari setiap bentuk yang dikenal, kecuali sejauh bentuk-bentuknya umplisit dalam definisi tentang Kosmos.

Jadi, sebuah definisi sejati tentang Realitas itu tidak mungkin, karena definisi semacam ini tergantung pada kemampuan sepenuhnya untuk mendefinisikan setiap bentuk dalam Kosmos, yang juga tidak mungkin. Oleh karena itu, sebuah definisi utuh tentang Realitas tidaklah mungkin.

Adalah sama dalam kasus tentang seseorang yang mengakui komparabilitas (kebisadisamakan) Allah tanpa mempertimbangkan inkomparabilitas (ketidakbisadisamakan)-Nya, sehingga dia juga mengetati dan membatasi-Nya, dan karena itu, tidak mengenal-Nya. Namun, dia yang menyatukan dalam pengetahuannya tentang Allah, baik transendensi (tanzīh) maupun imanensi (tasybīh) denan cara komprehensif, tidak mungkin mengetahui hal semacam ini secara detail, dengan menerima ketakterbatasan bentuk-bentuk kosmik, mengenai-Nya secara umum, tetapi bukan dengan cara terperinci, sebagaimana dia mengenai dirinya sendiri secara umum dan tidak detail.

Dalam hubungan ini, Nabi bersabda: “Siapa yang (benar-benar) mengenal dirinya sendiri, maka ia mengenal Tuhannya,” (22) dengan menghubungkan sekaligus pengetahuan tentang Allah dengan pengetahuan tentang diri. Allah berfirman: “Kami akan menunjukkan kepada mereka tanda-tanda Kami di kaki langit”, yang artinya di luar dunia, dan “di dalam diri kamu sendiri.” Diri di sini berarti esensi batin anda, “hingga menjadi jelas kepada mereka bahwa Dia adalah Realitas”, (33) di mana anda adalah bentuk-Nya, dan Dia adalah Ruh anda. Anda berhubungan dengan-Nya sebagaimana tubuh fisik anda berhubungan dengan anda. Dia berkaitan dengan anda seperti ruh anda yang mengatur bentuk fisik anda.

Definisi inilah yang anda catat tentang aspek lahir dan batin anda. Sebab, bentuk yang tetap ketika ruh yang mengatur tidak ada lagi, tidak ada lagi yang disebut sesosok manusia, melainkan hanya sebuah bentuk yang menyerupai manusia, di sana tidak ada perbedaan riil antara ia dan bentuk kayu atau batu. Sebutan “manusia” dapat diberikan pada bentuk semacam ini hanya secara figuratif, bukan sebenarnya.

Di sisi lain, Realitas tidak pernah menarik diri dari bentuk-bentuk Kosmos dengan suatu pengertian fundamental, karena Kosmos, dalam realitasnya, dengan sendirinya implisit dalam definisi tentang Ketuhanan, bukan semata-mata secara figuratif sebagaimana manusia ketika hidup dalam tubuhnya.

Sebagaimana bentuk lahir Manusia memberikan pujian pada ruh dengan lidah dan jiwanya yang mengaturnya, demikian juga Allah yang menyebabkan bentuk Kosmik, memuji-Nya, meskipun kita tidak bisa memahami pujian-Nya dengan alasan ketidakmampuan kita untuk memahami semua bentuk Kosmos. Segala sesuatu adalah “lidah” Realitas, yang mengungkapkan pujian terhadap Realitas. Allah berfirman: “Segala puji bagi Allah, Tuhan sekalian Alam”, (44) karena semua pujian kembali kepada-Nya, yang merupakan Pemuji (Muthnī) dan Yang Dipuji (Mutsnā).

Jika anda hanya menegaskan transendensi-Nya, anda membatasi-Nya,

Dan jika anda menegaskan imanensi-Nya anda membatasi-Nya.

Jika anda memelihara kedua aspek itu, anda benar,

Imam dan guru dalam ilmu spiritual.

Barang siapa yang mengatakan Dia adalah dua hal, adalah seorang poloteis (musyrik),

Sementara orang yang mengucilkan-Nya, coba untuk mengatur-Nya.

Hati-hati dalam memberbandingkan-Nya jika anda menganut dualitas,

Dan, jika kesatuan, hati-hatilah menjadikan-Nya transenden.

Anda bukan Dia dan anda adalah dia dan

Anda melihat-Nya dalam esensi sesuatu yang terikat dan terbatas.

Allah berfirman: “Tidak ada sesuatu pun yang menyamai-Nya”, dengan menegaskan transendensinya, dan: “Dia Maha Mendengar, Maha Melihat”, (55) yang menyatakan secara tidak langsung perbandingan. Di sisi lain, dalam kutipan pertama, secara implisit terdapat perbandingan – meskipun negatif – dan dualitas – dengan kata “menyamai” – dan dalam kutipan kedua, transendensi dan keterpisahan adalah implisit – hanya Dia yang disebut.

Ketika Nūḥ menggabungkan kedua aspek ini dalam menyeru kaumnya, mereka menanggapi seruan ini. Dia menunjukkan pemahaman lahir dan batinnya dengan mengatakan: “Mohonlah ampu kepada Tuhanmu, karena Dia Maha Pengampun.” (66) Kemudian dia berkata: “Aku menyeru mereka pada malam hari [batin] dan siang hari [lahir], tetapi seruanku hanya membuat mereka lebih menentang [lahir].” (77) Dia menyatukan bahwa kaumnya memalingkan telinganya yang tuli dari seruannya – dari sudut pandang kesatuan dan transendensi. Orang-orang yang mengenal Allah memahami ungkapan yang dibuat Nūḥ mengenai apa yang dia ketahui sebagai keadaan riil kaumnya, di mana dengan menyalahkannya, dia memujinya, karena dia mengetahui alasan tidak tanggapnya mereka secara positif terhadap seruan-seruannya; alasan yang seruannya merupakan ruh pembedaan (diskriminasi), yang berusaha mempertentangkan transendensi dari imanensi. Yang benar adalah sebuah perbandingan (al-Qur’ān [qarana] sebagai keseluruhan wahyu) dan bukan sebuah pembedaan (al-Furqān [faraqa] sebuah bab al-Qur’ān, yakni, sebuah bagian). (88).

Seorang yang ditegakkan dalam pengetahuannya akan kata penghubung ini tidak bertempat pada pembedaan (al-Furqān), karena yang pertama (al-Qur’ān) meliputi pembedaan (bab – kedua aspek dalam perbedaan nyata mereka), dan bukan sebaliknya – bahwa al-Furqān meliputi al-Qur’ān. Karena alasan inilah, al-Qur’ān (kesatuan kedua aspek) diberikan pada Muḥammad dan umat kita ini, yang merupakan jaminan terbaik untuk manusia.

Kutipan “Tidak ada sesuatu pun yang menyamai-Nya”, (99) menggabungkan kedua aspek ini. Ketika Nūḥ mengungkapkan jenis perkataan ini dalam menyeru masyarakatnya, mereka menanggapi secara positif terhadapnya, karena dia menggabungkan dalam ayat tunggal ini mode transendental dan imanental; bahkan, dalam separuh ayat.

Nūḥ menyeru kaumnya pada malam hari, di mana dia menunjukkan intelek dan semangat mereka, yang ghaib, dan di siang hari, (1010) di mana dia menunjukkan pengertian eksternalnya. Tetapi, ia tidak menyatukan kedua hal ini, sebagaimana dalam ayat “Tidak ada sesuatu pun yang menyamai-Nya.” (1111) Karena alasan inilah, diri batin mereka – dengan adanya aspek imanensi – dikaitkan kembali dari seruannya, karena sifat pembedaannya, menjadikan mereka bahkan lebih menentang (lahir). Maka, dia menceritakan kepada mereka bahwa dia menyeru kepada mereka agar Allah melindunginya – dari dosa imanensi terus-menerus – dan tidak untuk menunjukkan atau mengungkap pada mereka transendensi-Nya sebagai sesuatu yang absolut. Inilah yang mereka pahami darinya, sesuai dengan pengertian lahiriahnya, sehingga mereka meletakkan jari-jarinya di telinga mereka, dan coba menutupinya dengan baju mereka. (1212) Hal ini merupakan bentuk eksternal perlindungan, di mana dia menyerukan kepada mereka, meskipun mereka menanggapi secara harfiah dengan tindakan mereka dan tidak dalam penyerahan yang rendah hati atau pada perlindungan Allah.

Dalam ayat: “Tidak ada sesuatu pun yang menyamai-Nya”, (1313) kesamaan dinyatakan secara tidak langsung dan sekaligus disangkal. Karena itulah, Muḥammad bersabda bahwa dia diberikan pengetahuan tentang Allah dengan mengintegrasikan semua aspeknya. Tidak seperti Nūḥ, Muḥammad tidak menyeru kaumnya pada malam hari dan siang hari, (1414) tetapi di malam hari selama siang (sebuah seruan implisit di dalam yang lahir), dan di siang hari selama malam (kebenaran lahir yang implisit di dalam batin).

Catatan:

  1. 1). Bdk. al-Qur’ān, IV: 150.
  2. 2). Saya tidak bisa melacak Hadits ini.
  3. 3). Al-Qur’ān, XL: 53
  4. 4). Ibid. I: 1.
  5. 5). Ibid. XLII: 11.
  6. 6). Ibid. LXXI: 10.
  7. 7). Ibid., LXXI: 5.
  8. 8). Bdk. Ibid. LXXV: 17 dan VIII: 29. Di sini Ibni ‘Arabī berusaha menderivasikan al-Qur’ān dari qarana daripada qara’a.
  9. 9). Ibid. XLII: 11.
  10. 10). Ibid. LXXI: 5.
  11. 11). Ibid. XLII: 11.
  12. 12). Ibid. LXXI: 2.
  13. 13). Ibid., XLII: 11.
  14. 14). Ibid. LXXI: 5.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *