Sejarah mencatat tentang beberapa putri teladan yang
eksistensi dan peranannya sangat signifikan dalam
keluarganya. Anak perempuan bukan unsur yang remeh
(dalam keluarga), keberadaannya mempunyai makna
yang positif dan urgen dalam kehidupan rumah tangga.
Fāthimah az-Zahrā’ binti Rasūlullāh s.a.w. misalnya, adalah
seorang putri yang bisa menjadi “ibu”, pelita hati dan
pelipur lara bagi Rasūlullāh s.a.w. dengan segala ketulusan
dan kasih sayangnya. Sejarah mencatat bagaimana
perjuangan dan pengorbanan Fāthimah dalam
menggantikan posisi ibunya, Khadījah binti Khuwailid
setelah meninggal dunia. Siapa yang membaca sirah
Fāthimah dengan saksama, akan menemukan sosok Fāthimah
adalah seorang inspirator sekaligus konsultan dalam
perjuangan Rasūlullāh s.a.w., khususnya pada
masa-masa pertama diturunkannya wahyu, yaitu ketika
beliau diutus untuk memberi indzar “peringatan” kepada
penduduk “Umm-ul-Qurā” (Makkah)
dan sekitarnya.
Berikut beberapa contoh putri teladan.
Dia adalah putri dan sekaligus “ibu” bagi Rasūlullāh yang sangat mulia. Dalam ibadah, dia adalah sorang putri yang bathūl: yaitu yang tidak pernah berhenti dari ibadah. Dan dalam mu‘amalah, dia terkenal dengan akhlaknya yang mulia.
Usianya lebih muda dari Zainab (istri al-‘Āsh ibn-ur-Rabī‘ dan Ruqayyah (istri ‘Utsmān bin ‘Affān).
Dialah satu-satunya keluarga Nabi saw. yang paling dicinta: beliau. Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
“Fāthimah adalah bagian dariku. Apa yang membahagiakanku, membahagiakannya juga dan apa yang menyakitiku menyakitinya juga.” (41)
Fāthimah adalah sayyidah “pemimpin” wanita seluruh dunia dan wanita ahli surga yang paling mulia. Dialah putri kekasih Allah dan ibu dari Ḥasan dan Ḥusain. Dalam suatu riwayat sahabat Zubair bin Bakkār pernah berkata: “Keturunan Zainab akan putus, maka Rasūlullāh saw. berdoa untuk kemuliaan Fāthimah, suaminya, dan kedua putra mereka seraya berkata:
“Ya Allah, mereka adalah ahli baitku, singkirkanlah kekejian dari mereka dan sucikanlah mereka.” (52)
Riwayat di bawah menunjukkan kepada kita betapa mulia dan sederhananya hidup yang ditempuh Fāthimah.
Abū Hurairah r.a. berkata bahwa Fāthimah datang menemu: Rasūlullāh s.a.w. untuk meminta seorang pembantu. Rasūlullāh s.a.w. berkata:
“Wahai Fāthimah, berdoalah, `Ya Allah Tuhan langit, Tuhan ‘Arsy (singgasana) yang agung, Tuhan kita dan Tuhan seluruh makhluk, Yang telah menurunkan Taurat, Injil, dan al-Furqān Yang menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Saya berlindung kepada-Mu dari kejahatan segala sesuatu di mana Engkau yang memegang kendalinya (menguasainya). Engkaulah Yang Paling Pertama, maka tidak ada sesuatu sebelum Engkau dan Engkau Yang Paling Akhir, maka tidak sesuatu setelah Engkau. Engkaulah Yang Zhāhir, maka tidak sesuatu di atas-Mu, dan Engkaulah Yang Bāthin, maka tidak ada sesuatu di bawah-Mu. Bayarlah utangku dan cukupkanlah aku dari kefakiran’ ” (HR Tirmidzī)
Dialah Fāthimah binti Rasūlullāh s.a.w. yang mandiri dan menanggung sendiri segala urusan rumah tangganya.
Dalam suatu riwayat, Thabarī pernah menyebutkan bahwasanya ketika Perang Uhud usai, datanglah Fāthimah bersama beberapa istri sahabat untuk memberi pertolongan kepada mereka yang terluka. Ketika melihat Rasūlullāh s.a.w. terluka, Fāthimah langsung memeluknya dan membersihkan lukanya dengan air. Namun, darah Rasūlullāh s.a.w. terus mengalir keluar, seketika itu, Fāthimah langsung menyobek sehelai tikar lalu dibakarnya untuk membalut luka Rasūlullāh sampai pendarahan berhenti. (Riwayat Bukhārī, Muslim, dan Tirmidzī)
Di tengah berkecamuknya perang, tampak jelas peran Fāthimah yang patut diteladani oleh setiap wanita muslimah pada saat ini. Fāthimah tidak tinggal diam di kemah yang besar melainkan dia ikut terjun di kancah peperangan, di bawah semburan anak panah dan tombak untuk memberi pertolongan kepada tentara muslim, baik berupa makanan, minuman, maupun obat-obatan.
Berikut penuturan ‘Alī r.a. yang menggambarkan kesederhanaan rumah tangganya. Dia (‘Alī r.a.) berkata: “Ketika saya menikahi Fāthimah, saya dan dia tidak mempunyai apa-apa kecuali hanya sehelai tikar yang terbuat dari kulit domba. Di atas tikar itulah kami tidur tiap malam. Dan bila siang tiba, kami jemur tikar tersebut dengan percikan air. Saya dan Fāthimah tidak mempunyai pembantu kecuali hanya dia sendiri.”
Ketika menikahkan Fāthimah, Rasūlullāh s.a.w. memberinya sehelai kain beludru, sebuah bantal yang sudah kecoklatan (kusut) di mana kapuknya sudah mulai bertebaran, dua alat penumbuk, satu tempat air, dan dua kendi. Maka tangannya (Fāthimah) membekas karena sering menumbuk, pundaknya pun membekas karena sering menjinjing air dengan kendi, bajunya selalu berdebu karena sering menyapu, bahkan tampak kotor karena sering dipakai untuk masak. (63).
Dialah Fāthimah az-Zahrā’, ibu dari dua cucu Rasūlullāh s.a.w.; Ḥasan dan Ḥusain. Dialah orang yang selalu setia mendampingi Rasūlullāh s.a.w.. Tidak heran, jika Rasūlullāh s.a.w kagum dengan kepribadiannya yang luhur. Dunia pun terus mengenang sosok Fāthimah, putri sekaligus “ibu” Rasūlullāh yang bathūl “rajin beribadah”, harum, suci, dan seorang yang zāhidah Bila datang waktu lapar, dia langsung bersujud (untuk shalat) dan selalu berzikir saat lelah.
Imām Muslim meriwayatkan beberapa keutamaan Fāthimah dan ‘Ā’isyah. ‘Ā’isyah berkata: “Ketika kami, para istri Rasūlullāh sedang berkumpul, lewatlah Fāthimah di depan kami dengan langkah yang sopan. Saat itu, Rasūlullāh s.a.w. langsung memanggilnya seraya berkata: “Marḥaban “selamat datang” wahai putriku,” sambil mempersilakan duduk di sampingnya. Kemudian Rasūlullāh s.a.w. membisikkan sesuatu kepadanya lalu – saat itu juga – Fāthimah menangis tersedu-sedu. Saat melihat kegelisahannya Rasūlullāh kembali membisikinya lalu Fāthimah tersenyun gembira. Ketika Rasūlullāh s.a.w. pergi, saya bertanya kepada Fāthimah: “Apa yang dibisikkan Rasūlullāh kepadamu?” Fāthimah menjawab: “Ini rahasia Rasūlullāh dan saya tidak berani mengatakannya.” Setelah Rasūlullāh s.a.w. wafat, saya menanyakan hal itu kembali, “Dulu ada sesuatu yang kamu rahasiakan saat Rasūlullāh membisikkan sesuatu kepadamu, sekarang ceritakanlah kebenaran itu?’ Fāthimah menjawab: “Sekarang memang sudah bukan rahasia lagi. Begini…. Pada bisikan pertama, Rasūlullāh mengabarkan kepadaku bahwa malaikat Jibrīl mengulang bacaan al-Qur’ān di hadapan Rasūlullāh sekali dalam setahun dan sekarang mengulanginya dua kali dalam setahun. Itu pertanda bahwa ajal sudah mendekati Rasūlullāh maka dia berpesan kepadaku untuk terus bertaqwa dan sabar karena Rasūlullāh adalah sebaik-baik pendahulu baginya (Fāthimah). Seketika itu juga, saya menangis sebagaimana yang kamu (‘Ā’isyah) lihat. Ketika melihat kesedihanku, Rasūlullāh s.a.w. kembali berbisik kepadaku: “Wahai Fāthimah, maukah kamu menjadi sayyidah “pemimpin” seluruh wanita muslimah?” Maka saya langsung tersenyum bahagia sebagaimana yang kamu lihat.”
Melihat kondisi Fāthimah yang terus-menerus bekerja, baik di rumahnya sendiri maupun di rumah mertuanya, ‘Alī r.a. meminta kepada ibunya – Fāthimah binti Asad bin Hāsyim – untuk melarangnya bekerja di luar rumah dan cukup baginya bekerja di rumahnya sendiri; membuat adonan, roti, dan menggiling gandum.
Ketika ‘Alī r.a. mendengar bahwa Rasūlullāh s.a.w. telah mengambil seorang pembantu, dia berkata kepada Fāthimah: “Bagaimana kalau kamu mendatangi ayahmu untuk meminta seorang pembantu?” Ketika datang ke Rasūlullāh s.a.w., beliau bertanya: “Ada apa gerangan wahai putriku?” Fāthimah menjawab: “Saya datang untuk memberi salam kepadamu dan saya malu untuk mengutarakannya.” Setelah Fāthimah pulang, keesokan harinya Rasūlullāh s.a.w. menyusulnya lalu bertanya kepada Fāthimah: “Apa yang kamu inginkan?” Fāthimah terdiam lalu ‘Alī menjawab: “Begini wahai Rasūlullāh, tangan Fāthimah membekas karena sering menimba, pundaknya pun demikian karena sering mengangkat kendi. Ketika saya mendengar Rasūlullāh mengangkat seorang pembantu, saya menyuruhnya (Fāthimah) untuk meminta seorang pembantu kepada Rasūlullāh agar meringankan bebannya.”
Rasūlullāh s.a.w. langsung menjawab:
“Demi Allah, saya tidak bisa memberi kalian pembantu. Saya tidak bisa membiarkan ahli shuffah kelaparan. Saya tidak punya apa-apa untuk menafkahi mereka. Saya memperkerjakan mereka dan membayar upah mereka.”
Suatu hari, Rasūlullāh s.a.w. mendatangi mereka berdua yang sedang berbaring dengan kain beludru mereka. Ketika mereka menutupi muka mereka (dengan beludru tersebut), kaki mereka tampak, dan ketika mereka menutupi kaki mereka, muka mereka tampak. Kemudian mereka terbangun. Seketika itu juga Rasūlullāh s.a.w. berkata: “Tetaplah di tempat kalian. Maukah kalian saya beritahu tentang sesuatu yang lebih baik dari apa yang kalian minta kemarin?” Mereka menjawab: “Ya, apa gerangan wahai Rasūlullāh?” Rasūlullāh s.a.w. menjawab:
“Jibrīl mengajariku beberapa kalimat. Setiap selesai shalat bertasbihlah 10 kali, bertahmidlah 10 kali, dan bertakbirlah 10 kali (juga). Kemudian jika kalian hendak tidur, bertasbilah 33 kali, bertahmidlah 33 kali, dan bertakbirlah 34 kali.”
Dalam mendidik putranya, Fāthimah juga seorang ibu teladan. Pernah suatu hari, saat menimang putranya Ḥusain, Fāthimah berkata: “Sesungguhnya putraku lebih mirip Nabi s.a.w daripada ‘Alī.”
Ketika Rasūlullāh s.a.w. mendekati ajalnya, Fāthimah mendekati ayahnya seraya berkata: “Wahai ayah, susah dan sedih. Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Setelah ini, ayahmu tidak ditimpa kesedihan lagi.” Tidak lama kemudian, Rasūlullāh s.a.w. wafat lalu Fāthimah berkata: “Wahai ayahku yang telah memenuhi panggilan Tuhannya, yang telah menempati surga Firdaus dan kepada Jibrīllah kami titipkan rasa duka.”
Dalam periwayatan hadits, Fāthimah meriwayatkan delapan belas hadits. Imām Bukhārī dan Muslim meriwayatkan hadits darinya. Demikian halnya Tirmidzī, Ibnu Mājah, dan Abū Dāūd, juga meriwayatkan darinya. Dalam hal ini, Ibn-ul-Jauzī berkata: “Sepengetahuan kami, tidak ada putri Rasūlullāh s.a.w yang meriwayatkan hadits dari beliau selain Fāthimah.”
Di hari-hari akhir sebelum wafatnya, Fāthimah pernah mengadu kepada Asmā’ binti Umais tentang sakit yang dideritanya seraya berkata: “Maukah kamu menguburku dengan sesuatu nanti?” Asmā’ menjawab: “Saya pernah melihat penduduk Ḥabasyah membikin ranjang untuk wanita dan memikul peti mayat dengan ranjang tersebut.” Maka Asmā’ menyuruh beberapa orang untuk membikin sebuah peti mayat untuk Fāthimah. Ketika melihat peti tersebut sudah jadi, Fāthimah berkata: “Kalian telah menutupiku, semoga Allah menutupi kalian (menghapus kesalahan kalian) (74). Maka Fāthimah adalah orang yang pertama kali menggunakan peti mayat dalam Islam sebagaimana yang dikatakan Ibnu ‘Abd-il-Barr.
Saat pemandian jenazah Fāthimah, Asmā’ juga turut memandikannya bersama ‘Alī r.a. dan tidak memperkenankan orang lain masuk dalam pemandian tersebut. Ketika selesai pemakaman, Asmā’ berdiri di depan makam Fāthimah seraya berkata:
“Setiap pertemuan dua kekasih pasti ada perpisahan dan perpisahan itu biasanya disebabkan oleh kematian. Sesungguhnya, kehilanganku akan sahabatku satu per satu adalah tanda bahwa tidak ada sahabat yang kekal (di dunia ini)”.