Bab: Sujud Tilāwah dan Sujud Syukur
(4981).
322. Mereka (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī) sepakat bahwa sujud Tilāwah tidak wajib. Kecuali Abū Ḥanīfah yang menganggapnya wajib atas orang yang membaca dan orang yang mendengarkan, baik orang yang mendengarkan tersebut sengaja mendengarkan atau tidak sengaja.
Kemudian orang yang menganggapnya tidak wajib sepakat bahwa hukumnya Sunnah Mu’akkadah bagi orang yang membaca dan orang yang mendengarkan baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Kecuali asy-Syāfi‘ī yang mengatakan: “Menurutku, hukumnya tidak Sunnah Mu’akkadah atas orang yang mendengarkan, tapi bila dia sujud maka hal tersebut bagus.” (4992).
323. Mereka sepakat bahwa dalam surah al-Ḥajj ada dua ayat Sajdah. Kecuali Abū Ḥanīfah dan Mālik yang mengatakan: “Hanya ada satu ayat Sajdah di dalamnya.” (5003).
324. Mereka berbeda pendapat tentang ayat Sajdah dalam surah Shād, apakah ia sujud syukur atau sujud Tilāwah?
Abū Ḥanīfah, Mālik, dan Aḥmad – dalam salah satu dari dua riwayat darinya – berkata: “Ia termasuk Azā’im-us-sujūd (Sujud Tilawah).”
Asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad dalam riwayat yang masyhur darinya berkata: “Ia termasuk sujud syukur.” (5014).
325. Mereka sepakat bahwa dalam surah-surah al-Mufashshal ada tiga ayat Sajdah. Pertama, dalam surah an-Najm; Kedua, dalam surah al-Insyiqāq; Ketiga, dalam surah al-‘Alaq kecuali Imām Mālik yang mengatakan: “Tidak ada sujud Tilāwah dalam surah-surah al-Mufashshal.” Inilah pendapat yang masyhur dalam madzhabnya.
Ada pula riwayat lain darinya yang seperti madzhab Jamā‘ah, sebagaimana yang disebutkan oleh ‘Abd-ul-Wahhāb dalam al-Isyrāf.
Ada pula pendapat lain Imām asy-Syāfi‘ī yang mengatakan bahwa tidak ada sujud Tilāwah dalam surah-surah al-Mufashshal. (5025).
326. Mereka sepakat bahwa ayat-ayat Sajdah lainnya ada 10, yaitu dalam surah al-A‘rāf, ar-Ra‘d, an-Naḥl, Sajdah Subḥāna, Sajdah Maryam, Sajdah pertama dalam surah al-Ḥajj, Sajdah al-Furqān, Sajdah an-Naml, Sajdah Alif Lām Mīm Tanzīl dan Sajdah Ḥā Mīm al-Mashābiḥ. (5036).
327. Mereka berbeda pendapat tentang sujud syukur.
Abū Ḥanīfah dan Mālik berkata: “Hukumnya makruh, yang lebih utama adalah mengucapkan syukur dan pujian dengan lidah.”
Asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Hukumnya tidak makruh, tapi sunnah.” (5047).
Catatan:
- 498). Judul ini tidak ada dalam naskah yang dicetak.
- 499). Lih. at-Taḥqīq (3/217), al-Hidāyah (1/85), al-Majmū‘ (3/551), dan Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (1/555).
- 500). Lih. al-Mughnī (1/684), at-Taḥqīq (3/218), al-Hidāyah (1/85), dan Raḥmat-ul-Ummah (47).
- 501). Masalah ini disebutkan setelah dua masalah dalam naskah yang dicetak. Masalah ini dan masalah-masalah setelahnya sampai akhir bab ini juga terdapat di akhir bab berikutnya dalam manuskrip “Z”.
Lih. al-Majmū‘ (3/556), at-Taḥqīq (3/219), al-Mughnī (1/683), dan Raḥmat-ul-Ummah (47).
- 502). Lih. al-Isyrāf (1/317), al-Mughnī (1/683), Raḥmat-ul-Ummah (47), dan al-Hidāyah (1/84).
- 503). Lih. Raḥmat-ul-Ummah (47), dan referensi lainnya. Yang dimaksud al-Mashābīḥ adalah surah Fushshilat.
- 504). Lih. at-Taḥqīq (3/229), al-Majmū‘ (3/565), al-Mughnī (1/690), Raḥmat-ul-Ummah (48).