2-9 Kalamullah – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

TERJEMAH TAUHID

سَبِيْلُ الْعَبِيْدِ عَلَى جَوْهَرَةِ التَّوْحِيْدِ
Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah
Penerbit: Sahifa Publishing

Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

Kalāmullāh

 

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

عَنِ الْحُدُوْثِ وَ احْذَرِ انْتِقَامَهْ. وَ نَزِّهِ الْقُرْآنَ أَيْ كَلَامَهْ

Sucikanlah al-Qur’ān yakni kalāmullāh dari sifat baru dan takutlah terhadap siksa-Nya.”

Wahai mukallaf, yakinilah kesucian al-Qur’ān, yakni kalāmullāh yang azali dan suci dari sifat baru. Sebab, al-Qur’ān bukanlah makhluk. Takutlah pada siksa Allah jika engkau meyakini bahwa kalāmullāh adalah sesuatu yang baru.

 

Penjelasan

Seorang mukallaf wajib meyakini bahwa sifat kalām Allah, yakni kalām nafsi, bukanlah sesuatu yang baru dan bukan pula makhluk, tapi qadīm (dahulu) tanpa huruf dan tanpa suara. Adapun al-Qur’ān yang kita baca, yang ada hurufnya, adalah makhluk dan bersifat baru. Namun, tidak boleh dikatakan bahwa al-Qur’ān adalah makhluk dan bersifat baru. Oleh karena itu, tetap wajib mengatakan bahwa al-Qur’ān itu qadīm (dahulu), agar tidak menimbulkan pemahaman bahwa al-Qur’ān adalah makhluk dan bersifat baru. (641).

Perbedaan pendapat dalam masalah sifat kalām mengakibatkan banyak ‘ulamā’ Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah mendapat ujian berupa fitnah seperti Imām-ul-Bukhārī yang sampai lari dari negaranya, beliau pun berdoa memohon kepada Allah: (652).

اللهُمَّ اقْبِضْنِيْ إِلَيْكَ غَيْرَ مَفْتُوْنَ.

Ya Allah, ambillah nyawaku menghadap-Mu dalam keadaan tidak difitnah.

Hanya berselang empat hari, Imām al-Ghazālī pun wafat. ‘Īsā bin Dīnār dipenjara selama 20 tahun karena menolak mengatakan bahwa al-Qur’ān adalah baru. Imām Aḥmad bin Ḥanbal juga dipenjara karena tidak mau mengakui sifat barunya al-Qur’ān. Imām asy-Sya‘bī ditanya perihal sifat kalām Allah, dia menjawab: “Adapun Taurāt, Injīl, Zabūr dan al-Furqān (al-Qur’ūn), empat hal ini adalah sesuatu yang baru”. Beliau mengatakan hal itu sambil memberi isyarat pada jari-jarinya, akhirnya beliau selamat dari fitnah. Maksud perkataan beliau adalah: “keempat jari-jariku ini adalah sesuatu yang baru.” (663).

 

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

احْمِلْ عَلَى اللَّفْظِ الَّذِيْ قَدْ دَلًّا. فَكُلُّ نَصٍّ لِلْحُدُوْثِ دَلًّا

Maka setiap nash yang menunjukkan kebaruan al-Qur’ān, bawalah maknanya kepada lafazh al-Qur’ān yang menunjuk kepada (sifat yang qadīm).”

Setiap nash al-Qur’ān yang menunjukkan bahwa al-Qur’ān itu baru, tangguhkanlah pada lafazh al-Qur’ān yang bisa dibaca yang menunjukkan pada kalām Allah yang qadīm.

Penjelasan

Setiap nash al-Qur’ān yang menunjukkan bahwa al-Qur’ān adalah baru, seperti firman Allah s.w.t.:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ.

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’ān) pada malam kemuliaan.” (QS. al-Qadr [97]: 1).

Maka, tetapkanlah pada lafazh al-Qur’ān yang biasa kita baca dengan huruf dan suara, yang diturunkan kepada Nabi Muḥammad s.a.w. dengan lafazh dan makna. Ada pula yang berpendapat al-Qur’ān diturunkan dengan makna saja, kemudian malaikat Jibrīl a.s. membuat ibarat lafazhnya. Pendapat yang lain mengatakan yang membuat ibarat lafazh adalah Nabi Muḥammad s.a.w.

Pendapat yang mu‘tamad (bisa dibuat pegangan) adalah yang pertama, yakni lafazh dan makna karena Allah telah menuliskan al-Qur’ān di lauḥ-ul-maḥfūzh dengan susunan yang sama dengan mushḥaf yang kita temui saat ini. Kemudian Allah menurunkan shaḥīfah (lembaran-lembaran) dari lauḥ-ul-maḥfūzh ke langit dunia, lalu berhenti di suatu tempat yang bernama Bait-ul-‘Izzah. Selanjutnya secara bertahap diturunkan ke dunia selama 23 tahun, sesuai dengan kejadian atau peristiwa yang terjadi di dunia, bukan berdasar susunan al-Qur’ān yang ada saat ini. (674).

Setelah al-Qur’ān diturunkan semua, Nabi Muḥammad s.a.w. dan malaikat Jibrīl a.s. melakukan tadarrus, membaca al-Qur’ān dengan susunan sebagaimana yang kita ketahui saat ini, mulai ayat yang pertama kali turun, yakni:

اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَ.

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan”. (QS. al-‘Alaq [96]: 1).

Sampai ayat yang terakhir turun, yaitu:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَ أَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَ رَضِيْتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِيْنًا.

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk engkau agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islami itu jadi agama bagimu.” (QS. al-Mā’idah [5]: 3).

Ada juga yang menyatakan bahwa ayat yang terakhir turun adalah:

وَ اتَّقُوْا يَوْمًا تُرْجَعُوْنَ فِيْهِ إِلَى اللهِ.

Dan peliharalah dirimu dari (‘adzab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu engkau semua dikembalikan kepada Allah.” (QS. al-Baqarah [2]: 281).

Dua puluh satu hari kemudian, Rasūlullāh s.a.w. wafat, dan al-Qur’ān telah tersusun rapi seperti yang ada saat ini, sebagaimana yang telah dibuat tadarrus dengan malaikat Jibrīl a.s. setiap bulan Ramadhān.

Catatan:

  1. 64). Tuḥfat-ul-Murīd, hal. 160.
  2. 65). Ibid. hal. 160.
  3. 66). Ibid, hal. 160.
  4. 67). Ibid., hal. 162.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *