2-9-3 Menyentuh Mayat – Fiqih Lima Madzhab

FIQIH LIMA MADZHAB
(Ja‘farī, Ḥanafī, Mālikī, Syāfi‘ī, Ḥanbalī)
(Judul Asli: Al-Fiqhu ‘Alal-Madzāhib-il-Khamsah)
Oleh: Muhammad Jawad Mughniyah.

Penerjemah: Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus al-Kaff.
Penerbit: PT LENTERA BASRITAMA

Rangkaian Pos: 002-9 Menyentuh Mayat | Fiqih Lima Madzhab

2. MAYAT

BAB 9

MENYENTUH MAYAT

(Bagian 3)

 

Cara-cara Shalat:

Hendaknya mayat itu diletakkan terlentang, lalu orang yang menshalatinya berdiri di belakangnya (jenazah) yang tidak jauh dari jenazah tersebut. (111) lalu menghadap Qiblat, dan kepala mayat berada di sebelah kanan, dan juga disyaratkan agar tidak ada batas (aling-aling) baik tembok maupun sejenisnya. Orang yang menshalatinya harus berdiri kecuali kalau tidak bisa, karena ada ‘udzur yang dibolehkan syara‘, kemudian berniat dan bertakbir sebanyak empat kali.

Mālikī: Wajib berdoa setelah setiap takbir dari empat takbir tersebut, paling sedikitnya mengucapkan doa:

اللهُمَّ اغْفِرْ لِهذَا الْمَيِّتِ.

Ya Allah, ampunilah mayat ini.”

Kalau mayat itu anak kecil, maka hendaknya berdoa pada kedua orang tuanya, dan mengucapkan salam setelah takbir yang keempat, dan tidak boleh mengangkat dua tangannya kecuali pada takbir yang pertama: Contoh berikut ini telah cukup untuk menshalati mayat.

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُمَّ اغْفِرْ لِهذَا الْمَيِّتِ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُمَّ ارْحَمْهُ وَ ارْحَمْنَا، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُمَّ تُبْ عَلَيْهِ وَ عَلَيْنَا، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُمَّ أَسْكِنْهُ فَسِيْحَ جِنَانِكَ، السَّلَامُ عَلَيْكُمْ….

Allah Maha Besar, Ya Allah ampunilah (dosa), mayit ini. Allah Maha Besar. Ya Allah, kasihanilah dia dan kasihanilah kami, Allah Maha Besar. Ya Allah, terimalah taubatnya dan taubat kami, Allah Maha Besar. Ya Allah, berilah dia tempat yang lapang (atas) surga-surgaMu, semoga kesejahteraan bagimu…”

Ḥanafī: Memuji Allah setelah takbir pertama, dan membaca shalawat setelah takbir kedua, dan berdoa setelah takbir ketiga, dan mengucapkan salam setelah takbir keempat, dan tidak boleh mengangkat kedua tangannya kecuali pada takbir pertama. Gambarannya cukup berikut ini.

اللهُ أَكْبَرُ، سُبْحَانَ اللهِ وَ لَهُ الْحَمْدُ، اللهُ أَكْبَرُ اللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُمَّ ارْحَمْ هذَ­­­ا الْمَيِّتَ، اللهُ أَكْبَرُ، السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَ رَحْمَةُ اللهِ، السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَ رَحْمَةُ اللهِ .

Allah Maha Besar, Maha Suci Allah dan bagi-Nya segala puji, Allah Maha Besar. Ya Allah, shalawat atas Nabi Muhammad, Allah Maha Besar. Ya Allah, kasihanilah mayat ini, Allah Maha Besar. Semoga kesejahteraan dan rahmat Allah kepadamu, semoga kesejahteraan dan rahmat Allah bagimu.”

Syāfi‘ī dan Ḥanbalī: Setelah takbir pertama membaca al-Fatihah, dan setelah takbir kedua membaca Shalawat kepada Nabi Muhammad s.a.w., dan setelah takbir ketiga membaca doa, dan setelah takbir keempat mengucapkan salam, dan setiap takbir harus mengangkat kedua tangannya. Orang yang shalat pada jenazah cukup seperti berikut:

اللهُ أَكْبَرُ، وَ يَقْرَأُ الْفَاتِحَةَ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُمَّ ارْحَمْنَا وَ إِيَّاهُ. اللهُ أَكْبَرُ، السَّلَامُ عَلَيْكُمْ.

Allah Maha Besar, (kemudian membaca al-Fatihah), Allah Maha Besar, Ya Allah shalawat atas Nabi Muhammad, Allah Maha Besar, Ya Allah, kasihanilah kami dan dia, Allah Maha Besar, semoga kesejahteraan bagimu…..

Imāmiyyah: Diwajibkan lima takbiran berdasarkan jumlah shalat fardhu sehari-hari. Setelah takbir pertama orang yang shalat itu harus membaca dua kalimat Syahadat. Dan setelah takbir kedua membaca shalawat kepada Nabi Muḥammad s.a.w., dan setelah takbir ketiga membaca doa untuk orang-orang mukmin dan mukminat dan setelah takbir keempat membaca doa untuk mayat dan doa untuk kedua orang tuanya kalau ia anak kecil, dan setelah takbir kelima tidak diwajibkan apa-apa. Disunnahkan mengangkat kedua tangannya setiap takbir. Contoh berikut adalah merupakan gambaran yang paling sedikit dari hal yang wajib dilakukan:

اللهُ أَكْبَرُ، اَشْهَدُ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ. اللهُ أَكْبَرُ، اللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ آلِهِ. اللهُ أَكْبَرُ، اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُؤْمِنَاتِ. اللهُ أَكْبَرُ، اللهُمَّ اغْفِرْ بِهذَا الْمَيِّتِ. اللهُ أَكْبَرُ.

Allah Maha Besar. Saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan Muḥammad adalah utusan Allah. Allah Maha Besar. Ya Allah, shalawat atas Nabi Muḥammad dan keluarganya. Allah Maha Besar. Ya Allah, ampunilah dosa-dosa orang-orang mu’minin dan mu’minat. Allah Maha Besar. Ya Allah, ampunilah dosa-dosa mayat ini. Allah Maha Besar.”

Gambaran ringkas ini, kami maksudkan untuk menjelaskan paling sedikitnya hal-hal yang diwajibkan. Sebenarnya setiap madzhab mempunyai doa-doa yang ma‘tsūr dan panjang yang dijelaskan dalam bab khusus.

Empat Madzhab: Menegaskan beberapa syarat yang menjadi sahnya shalat jenazah, yaitu harus suci, menutupi aurat, sama seperti shalat fardhu. Imāmiyyah: Suci dan menutupi aurat bukan termasuk syarat sahnya shalat jenazah itu, hanya keduanya disunnahkannya, karena shalat tersebut bukan merupakan shalat yang sebenarnya (hakikatnya). Ia sebenarnya hanya untuk mendoakan. Dari itu, menurut Imāmiyyah, Imam shalat tidak menanggung bacaan (al-Qur’ān) dari Ma’mūm.

Dari keterangan di atas jelaslah bahwa empat madzhab mewajibkan empat takbir pada shalat jenazah, sedangkan Imāmiyyah mewajibkan lima takbir.

Imām Ja‘far ash-Shādiq menjelaskan: Allah memfardhukan shalat lima kali setiap hari, yang menjadikan setiap shalat itu (sebagai standar) takbir untuk shalat jenazah. Beliau juga berpendapat: Nabi bertakbir lima kali pada semua mayat. Dan ketika Allah melarangnya untuk bershalat pada mayat orang-orang munafik, maka beliau (Rasūlullāh) bertakbir lima kali bagi orang-orang yang bukan munafik, yang mana Rasūlullāh berdoa setelah takbir keempat, dan Rasūlullāh bertakbir empat kali bagi orang-orang munafik, dan tidak pernah berdoa baginya selamanya.

 

Tempat Shalat Jenazah

Syāfi‘ī: Untuk shalat pada mayat itu disunnahkan diadakannya di masjid. Ḥanafī: Shalat jenazah di masjid dimakruhkan. Imāmiyyah dan Ḥanbalī: Dibolehkan asal jangan mengotori masjid.

 

Waktu Shalat Jenazah

Syāfi‘ī dan Ḥanbalī: Boleh dilakukan setiap waktu (waktu kapan saja) untuk shalat jenazah. Mālikī, Imāmiyyah dan Ḥanafī: Tidak boleh dishalatkan pada waktu terbitnya matahari, tergelincirnya dan pada waktu terbenamnya matahari.

 

Mengebumikan

Semua ulama madzhab sepakat bahwa mengbumikan mayat di atas tanah adalah tidak boleh, dan juga di atas bangunan yang tidak digali, sekalipun mayat itu berada dalam peti kecuali karena darurat. Yang jelas, yang wajib adalah dikebumikan pada suatu lubang yang digali yang dapat terjaga jasadnya dari berbagai macam ancaman dan menguap baunya. Mereka juga sepakat bahwa mayat itu harus diletakkan pada bagian kanannya dan menghadap Qiblat, dan kepalanya terletak mengarah ke Barat, dan kakinya mengarah ke Timur.

Mālikī: Meletakkan mayat seperti itu adalah sunnah saja, bukan wajib. Imāmiyyah: Kalau mayat wanita, yang harus memasukkannya ke liang lahat adalah suaminya, atau salah satu muḥrim-nya dari kalangan orang yang boleh melihatnya pada masa hidupnya, atau harus dimasukkan oleh wanita, maka boleh dimasukkan oleh orang-orang lain yang bukan muḥirm-nya tapi orang-orang yang saleh.

Ḥanbalī dan Ḥanafī: Suami itu sebenarnya sama saja dengan orang lain yang bukan muhrim-nya setelah putusnya perlindungan antara ia dengannya dengan mati tersebut. Dalam buku al-Wajīz karya al-Ghazālī dari golongan Syāfi‘ī dijelaskan: Mayat itu tidak boleh diletakkan (dikebumikan) kecuali oleh orang lelaki; kalau ia wanita, maka yang bertanggung-jawab adalah suaminya atau muḥrim-nya. Bila tidak mempunyai, maka yang bertanggung-jawab adalah budaknya. Bila tidak mempunyai juga, maka harus dilakukan orang yang disenanginya. Bila tidak ada juga, maka oleh ahli warisnya. Bila tidak ada juga, maka boleh dilakukan oleh orang-orang lain, yang bukan muḥrim-nya. Ini berarti bahwa lelaki yang bukan muḥrim-nya harus didahulukan dari wanita.

 

Melempar Mayat Ke Dalam Laut.

Apabila manusia mati di kapal yang sangat jauh dari daratan, maka bila bisa diperlambat (diundurkan) untuk dikebumikan di bumi, maka ia wajib mengundurkannya. Tapi bila khawatir keburu rusak, maka hendaknya ia dikafani dan dishalatinya, lalu diletakkan ke dalam peti yang kuat atau diletakkan ke dalam tong yang ujungnya tertutup rapat, kemudian baru dilemparkan ke dalam laut. Bila tidak bisa tenggelam, hendaknya digantungkan batu atau besi, dan lain-lainnya yang berat, lalu dilemparkannya ke dalam laut. Para ahli fiqih membahas tentang masalah ini atau serupa dengannya, karena pada waktu itu tidak ada alat-alat yang dapat menjaga tubuh dari kerusakan. Sedangkan pada hari ini dapat (bisa) diletakkan di dalam peti yang sejuk atau bisa mempergunakan alat-alat yang tidak menghancurkannya dan merusakkan badannya, maka dari itu kalau sekarang wajib diundur sekalipun waktunya lama.

 

Meratakan Kuburan

Semua ulama madzhab sepakat bahwa kalau mengikuti sunnah bahwa kuburan itu adalah rata, berdasarkan ketetapan bahwa Rasulullah s.a.w. telah meratakn kuburan putranya Ibrahim. Pendapat Syāfi‘ī dan Imāmiyyah seperti di atas. Ḥanafī, Mālikī, dan Ḥanbalī: Menambahkannya adalah lebih utama, karena meratakan itu dapat menjadi lambang bagi sebagian “kelompok”.

 

Membongkar Kuburan

Semua ulama madzhab sepakat bahwa membongkar kuburan itu adalah haram, baik yang meninggal itu (mayat) yang sudah dikuburkan itu orang besar mampun anak kecil, gila maupun berakal, kecuali kalau untuk mengetahui ada dan tidaknya, dan telah jadi tanah, atau penggalian lagi untuk ke-mashlahat-an mayat, sebagaimana kalau kuburannya berada di tempat mengalirnya air, atau di tepi sungai, atau dipendam di tempat ghasab, baik di tempat musuh, atau karena tidak tahu maupun karena lupa, sedangkan orang yang memilikinya tidak mau menerima ganti, atau dikafani dengan kain yang tidak boleh dikafankan, atau dipendam bersama hartanya yang bernilai, baik milik mayat itu sendiri maupun milik orang lain.

Ulama madzhab berbeda pendapat tentang bolehnya menggali lagi kuburan mayat kalau ia telah dipendam tanpa dimandikan, atau sudah dimandikan tapi tidak mengikuti peraturan syara‘.

Ḥanafī dan sebagian Imāmiyyah: Tidak boleh, karen ia telah rusak dan semacamnya.

Ḥanbalī, Syāfi‘ī, Mālikī, dan kebanyakan Imāmiyyah: Boleh dibongkar lagi, dimandikan dan dishalatkan, kalau tidak khawatir rusak badannya.

Sebagian Imāmiyyah menambahkan bahwa membongkar lagi kuburan itu boleh kalau untuk menentukan hak-hak tertentu yang membutuhkan melihat tubuh mayat.

 

Catatan:


  1. 11). Syāfi‘ī dan Ḥanbalī: Boleh menshalati mayat yang berada di atas kendaraan atau dipangku oleh orang lelaki atau dipikul mereka. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *