2. MAYAT
BAB 9
MENYENTUH MAYAT
(Bagian 1)
Apabila manusia menyentuh mayat manusia, apakah ia diwajibkan berwudhū’ atau mandi, atau tidak diwajibkan apa-apa?
Empat madzhab: Menyentuh mayat itu bukanlah termasuk hadats kecil dan bukan pula hadats besar. Dari itu, ia tidak diwajibkan apa-apa baginya, baik wudhū’ maupun mandi, hanya ia disunnahkan mandi bagi orang yang memandikan mayat, bukan bagi orang yang menyentuhnya.
Kebanyakan ulama Imāmiyyah: Bagi orang yang menyentuh mayat diwajibkan mandi, dengan syarat badan mayat itu telah dingin dan pada waktu menyentuhnya mayat itu belum dimandikan secara syara‘. Kalau ia menyentuh mayat sebelum dingin atau setelah dimandikan, maka bagi yang menyentuhnya tidak diwajibkan apa-apa.
Mereka (Imāmiyyah) tidak membedakan tentang diwajibkannya mandi itu, baik menyentuh mayat non muslim, maupun menyentuh mayat muslim, tua maupun muda, walau sampai menyentuh anak yang gugur yang sudah berumur empat bulan, baik menyentuh dengan sukarela (disengaja) maupun terpaksa, baik yang menyentuh itu orang yang berakal maupun gila, tua maupun muda; hanya bagi orang yang gila kewajibannya mandi itu berlaku setelah sadar, dan bagi yang masih kecil berlaku setelah besar (bāligh); bahkan Imāmiyyah mewajibkan mandi kalau menyentuh sepotong pemberian, baik yang berasal dari orang yang masih hidup maupun yang sudah mati, kalau pemberian tadi mengandung tulang. Kalau anda menyentuh jari-jari yang merupakan potongan dari orang yang masih hidup, maka diwajibkan mandi, sebagaimana juga diwajibkan mandi kalau menyentuh gigi yang terpisah dari mayat. Kalau anda menyentuh gigi setelah terpisah dari orang yang masih hidup, maka anda diwajibkan mandi kalau gigi itu masih terdapat daging, bila tidak, maka tidak diwajibkan mandi.
Meskipun Imāmiyyah mewajibkan mandi bagi orang yang menyentuh mayat itu, tetapi menurut mereka (Imāmiyyah) hukumnya sama dengan hadats kecil. Maksudnya bahwa yang menyentuh mayat dilarang melakukan perbuatan-perbuatan yang disyaratkan berwudhū’ saja, bukan perbuatan-perbuatan yang disyaratkan mandi. Maka bagi orang yang menyentuh mayat itu dibolehkan masuk masjid, berdiam di dalamnya, dan membaca al-Qur’ān. Dan mandi karena menyentuh mayat adalah sama dengan mandi karena junub.
Mayat Dan Hukum-hukumnya.
Pembahasan tentang masalah ini dibagi ke dalam beberapa bab.
Bab Pertama: Tentang Iḥtidhār.
Iḥtidhār adalah menghadapi ke Qiblat. Para ulama madzhab berbeda pendapat tentang cara-cara menghadapkannya ke Qiblat. Imāmiyyah dan Syāfi‘ī: Menelantangkan mayat dan menjadikan kedua tapak kakinya menghadap ke Qiblat yang sekiranya kalau ia duduk ia langsung menghadapi Qiblat. Mālikī, Ḥanbalī dan Ḥanafī: Meletakkan sisi kanan tubuh mayat dan menghadapkannya ke Qiblat, sebagaimana yang dilakukan ketika menguburkan mayat.
Mereka (ulama madzhab) juga berbeda pendapat tentang pengertian menghadapi ke Qiblat, dan juga mereka berbeda pendapat tentang wajibnya menghadapkannya ke Qiblat.
Empat madzhab dan sekelompok Imāmiyyah: Ia sunnah saja, bukan wajib.
Kebanyakan ulama Imāmiyyah: Fardhu Kifāyah, seperti mandi dan mengafani. Dalam buku Mishbāḥ-ul-Faqīh karya salah seorang Imāmiyyah menjelaskan bahwa kewjiban menghadapkannya ke Qiblat adalah meliputi yang tua dan yang muda.
Agar diketahui, bahwa setiap kewajiban-kewajiban yang akan dijelaskan ini hanya merupakan fardhu kifāyah. Artinya bila ada sebagian orang yang telah melaksanakannya, yang lain berarti telah gugur dari kewajiban. Tetapi bila semua orang meninggalkannya, maka semuanya bertanggungjawab dan mendapat dosa.
Bab Kedua: Tentang Mandi.
Dalam hal ini ada beberapa masalah:
Semua ulama madzhab sepakat bahwa orang yang mati syahid, yaitu orang yang mati karena berperang dengan orang-orang kafir, tidak wajib dimandikan. (101) Mereka juga sepakat bahwa orang yang bukan muslim tidak diwajibkan mandi, kecuali Syāfi‘ī yang menyatakan boleh dimandikannya. Mereka juga sepakat bahwa keguguran yang tidak sampai empat bulan dalam kandungan ibunya, tidak wajib dimandikan.
Namun Para ulama madzhab berbeda pendapat tentang anak yang gugur (miskram) yang telah sampai empat bulan dalam kandungan ibunya. Ḥanbalī dan Imāmiyyah: Wajib dimandikan. Ḥanafī: Kalau ia gugur dan hidup, kemudian meninggal, atau ketika keguguran itu anggota tubuhnya sempurna, maka ia wajib dimandikan. Tapi bila tidak, ia tidak wajib dimandikan.
Mālikī: Bayi yang keguguran itu tidak wajib dimandikan kecuali kalau hidup, yakni jika menurut para ahli bahwa bayi itu sebenarnya dapat hidup terus.
Syāfi‘ī: Kalau bayi yang gugur itu lahir setelah berumur enam bulan dalam kandungan ibunya, ia wajib dimandikan, dan kalau belum sampai enam bulan tapi anggota tubuhnya sudah sempurna, ia juga wajib dimandikan, begitu juga kalau anggota badannya tidak sempurna dan diketahui ia hidup, lalu meninggal, maka ia wajib dimandikan, sedangkan kalau tidak sempurna dan tidak hidup, maka tidak wajib dimandikan.
Kalau sebagian tubuh mayat hilang, karena sakit, terbakar, dimakan binatang, atau lain-lainnya; apakah sisanya itu wajib dimandikan? Ḥanafī: Tidak wajib untuk dimandikan kecuali kalau kebanyakan anggota badannya atau separuhnya beserta kepalanya didapatkan. Mālikī: Wajib dimandikan kalau didapatkan sepertiga dari anggota badannya. Ḥanbalī dan Syāfi‘ī: Tetap wajib dimandikan walau hanya didapatkan sebagian dari anggota tubuhnya.
Imāmiyyah: Kalau yang didapatkan dari sepotong anggota badan mayat itu adalah dadanya atau sebagian yang lainnya yang mengandung hati, maka hukumnya persis seperti hukum terhadap mayat yang sempurna, yaitu wajib dimandikan, dikafani dan dishalatkan. Namun, jika tidak ada sepotong saja dari anggota tubuhnya yang mengandung hati, atau sebagiannya, seperti dada, tapi terdapat tulangnya, maka ia wajib dimandikan dan dibungkus dengan sehelai kain kemudian dikuburkan. Tapi bila tidak terdapat tulang di dalam anggota tubuh yang ditemukannya itu, maka ia hanya dibungkus dengan sehelai kain dan dikubur, tidak usah dimandikan.
Orang Yang Memandikan Mayat.
Orang yang memandikan dengan orang yang dimandikan itu wajib sama (sejenis). Kalau yang meninggal itu lelaki maka yang boleh memandikannya adalah lelaki, dan kalau yang dimandikan itu wanita, maka yang boleh memandikan adalah wanita juga.
Imāmiyyah, Syāfi‘ī, Mālikī dan Ḥanbalī: Boleh bagi suami memandikan istrinya, begitu juga sebaliknya Ḥanafī: Suami tidak boleh memandikan istrinya, karena ia (istrinya) lepas dari perlindungannya (perjagaannya) setelah ia meninggal. Namun istrinya boleh memandikan suaminya, karena ia masih dalam ‘iddah suaminya. Artinya, bahwa istrinya itu masih berada dalam hak suaminya.
Kesepakatan semua ulama madzhab: Kalau seorang suami mencerai istrinya, kemudian ia meninggal, dan cerainya adalah cerai (talak) bā’in, maka sang istri tidak boleh memandikannya, begitu juga suaminya tidak boleh memandikan istrinya,
Imāmiyyah: Kalau talaknya adalah talak raj‘i, maka boleh bagi suami memandikan istrinya, begitu juga sebaliknya. Ḥanafī dan Ḥanbalī: Istri boleh memandikan suaminya, tapi tidak sebaliknya. Mālikī dan Syāfi‘ī: Istri tidak boleh memandikan suaminya, begitu juga sebaliknya, dan mereka (Mālikī dan Syāfi‘ī) tidak membedakan antara talak bā’in dan talak raj‘ī.
Imāmiyyah: Boleh bagi wanita untuk memandikan mayat anak kecil lelaki kalau ia belum berumur lebih dari tiga tahun. Dan bagi lelaki boleh memandikan mayat wanita yang masih bocah kalau berumur tidak lebih dari tiga tahun. Ḥanafī: Boleh sampai berumur empat tahun. Ḥanbalī: Sampai umur dibawah tujuh tahun. Mālikī: Wanita boleh memandikan mayat anak lelaki yang berumur delapan tahun, dan bagi lelaki boleh memandikan mayat wanita yang masih kecil, yang berumur dua tahun delapan bulan.
Catatan: