2-8 Shalat Jamaah – Fikih Empat Madzhab

Fikih Empat Madzhab
(Maliki, Hanafi, Hanbali, Syafi‘i)
(Judul: Ijmā‘-ul-A’immat-il-Arba‘ati waikhtilāfihim).
Oleh: Al-Wazir Yahya bin Muhammad bin Hubairah

Penerjemah: Ali Mh.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: 002 Bab Shalat - Fikih Empat Madzhab

Bab: Shalat Jamaah.

313. Keempat Imām madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī) sepakat bahwa shalat jamaah disyariatkan dan wajib ditampakkan di hadapan manusia. Apabila penduduk suatu negeri tidak mau menunaikan shalat jamaah maka mereka boleh diperangi karena hal tersebut. (4861).

 

314. Mereka berbeda pendapat, apakah shalat fardhu wajib dilakukan secara berjamaah di luar shalat Jum‘at?

Asy-Syāfi‘ī berkata: “Hukumnya fardhu Kifāyah.”

Segolongan ulama Syāfi‘iyyah berkata: “Hukumnya sunnah.”

Mālik berkata: “Hukumnya Sunnah Mu’akkadah.”

Abū Ḥanīfah berkata: “Hukumnya fardhu Kifāyah.”

Dalam, Syaraḥ-ul-Karkhī disebutkan: “Hukumnya Sunnah Mu’akkadah.”

Segolongan ulama Ḥanafiyyah juga mengatakan: “Hukumnya sunnah.”

Aḥmad berkata: “Hukumnya fardhu ‘Ain, tapi ia bukan syarat sahnya shalat. Apabila seseorang shalat sendirian padahal dia mampu berjamaah maka dia berdosa tapi shalatnya sah.” (4872).

 

315. Mereka sepakat bahwa jumlah minimal shalat jamaah yang dianggap sah dalam shalat fardhu selain shalat Jum‘at adalah dua orang, yaitu Imām dan seorang ma’mum yang berdiri di sebelah kanannya. (4883).

 

316. Mereka berbeda pendapat, apakah boleh mengulang shalat dengan adzan dan Iqāmat di masjid yang ada Imām resminya?

Abū Ḥanīfah berkata: “Hukumnya makruh.”

Mālik berkata: “Apabila masjid tersebut memiliki Imām resmi dan dia telah shalat di dalamnya maka tidak boleh mengulang shalat secara mutlak.”

Ulama Syāfi‘iyyah berkata: “Hukumnya dibolehkan di masjid-masjid pasar yang di dalamnya ditunaikan shalat secara berulang-ulang, bukan masjid-masjid yang ada di jalan raya.”

Aḥmad berkata: “Hukumnya dibolehkan secara mutlak.” (4894).

 

317. Mereka berbeda pendapat tentang doa-doa yang boleh dibaca dalam shalat.

Abū Ḥanīfah dan Aḥmad berkata: “Tidak boleh berdoa dalam shalat kecuali dengan doa-doa yang berasal dari al-Qur’ān dan sunnah yang shaḥīḥ.”

Mālik dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Orang yang shalat boleh berdoa sesuka hatinya yang berhubungan dengan urusan agama dan dunia.” (4905).

 

318. Mereka berbeda pendapat tentang doa Qunut dalam shalat Shubuḥ.

Abū Ḥanīfah dan Aḥmad berkata: “Membaca Qunut dalam shalat Shubuḥ tidak disunnahkan.”

Mālik dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Membaca Qunut dalam shalat Shubuḥ kukumnya sunnah.

Kemudian pengikut Abū Ḥanīfah dan Aḥmad berbeda pendapat tentang orang yang shalat di belakang Imām yang membaca Qunut dalam shalat Shubuḥ, apakah dia boleh mengikutinya atau tidak?

Abū Ḥanīfah berkata: “Dia tidak boleh mengikutinya.”

Aḥmad berkata: “Dia boleh mengikutinya.” (4916).

 

319. Mereka berbeda pendapat, apakah kaum wanita dianjurkan shalat fardhu berjamaah bila mereka berkumpul?

Abū Ḥanīfah berkata: “Hukumnya makruh dalam shalat fardhu, bukan shalat sunnah.”

Mālik berkata: “Hukumnya makruh untuk keduanya.”

Ibnu Aimān (4927) meriwayatkan dari Mālik bahwa hukumnya tidak makruh, baik shalat fardhu maupun shalat sunnah. Justru disunnahkan agar menunaikan keduanya secara berjamaah.

Asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad – dalam riwayat yang masyhur darinya – berkata: “Kaum perempuan disunnahkan agar menunaikan shalat fardhu secara berjamaah dan imamnya berdiri bersama mereka dalam shaf di tengah. (4938).

 

320. Mereka sepakat bahwa kaum remaja perempuan dilarang (dimakruhkan) menghadiri shalat jamaah kaum lelaki. (4949).

 

321. Mereka berbeda pendapat tentang nenek-nenek apakah mereka boleh menghadiri shalat jamaah kaum lelaki?

Mālik dan Aḥmad berkata: “Hukumnya tidak makruh secara mutlak.”

Abū Ḥanīfah berkata: “Makruh bagi mereka menghadirinya kecuali dalam shalat ‘Isyā’ dan Shubuḥ saja.”

Demikian menurut salah satu dari dua riwayat darinya. Pendapat ini juga diriwayatkan oleh Muḥammad dari Abū Ayyūb darinya. Sedangkan dalam riwayat lain disebutkan: “Mereka boleh keluar saat shalat dua Hari Raya (‘Īdain) saja.”

Asy-Syāfi‘ī berkata: “Hukumnya makruh bagi nenek-nenek sebagaimana dimakruhkan bagi gadis, bila nenek-nenek tersebut masih mengundang nafsu kaum lelaki sebagaimana halnya gadis. Sedangkan bila dia tidak lagi mengundang nafsu maka hukumnya tidak makruh.” (49510).

[Aku mengatakan] (49611): “Menurut pendapatku kaum wanita boleh menghadiri shalat jamaah dan tempat mereka berada di shaf paling akhir. Hal ini berdasarkan hadits-hadits yang membolehkannya, juga berdasarkan praktek yang dilakukan pada masa Rasūlullāh s.a.w. serta generasi pertama umat ini (masa Sahabat). Jadi, hukumnya tidak makruh, malah disunnahkan. Pendapat yang mengatakan makruh dengan alasan akan menimbulkan fitnah tertolak dengan dalil-dalil yang membolehkannya.” (49712).

Catatan:

  1. 486). Lih. Raḥmat-ul-Ummati Fī Ikhtilāf-il-A’immah (51).
  2. 487). Lih. at-Taḥqīq (4/5), al-Hidāyah (1/60), Bidāyat-ul-Mujtahid (1/263), at-Talqīn (118).
  3. 488). Masalah ini disebutkan dalam manuskrip “C” dalam Bab Imāmah, dan manuskrip “Z” dalam Bab Imamah Dan Yang Paling Berhak Menjadi Imām.

    Lih. Al-Muhadzdzab (1/176), Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (1/489), dan Raḥmat-ul-Ummah (51).

  4. 489). Lih. al-Majmū‘ (4/119), at-Taḥqīq (4/71), dan al-Mudawwanah (1/212).
  5. 490). Lih. al-Mughnī (1/621), al-Majmū‘ (3/451).

    Masalah ini dan masalah berikutnya yang tertulis dalam naskah yang dicetak terdapat di akhir bab fardhu shalat, sedangkan dalam manuskrip “C” dan “Z” pada bab Shalat Jamā‘ah.

  6. 491). Lit. al-Majmū‘ (3/474), al-Mughnī (1/823), Raḥmat-ul-Ummah (42).
  7. 492). Dalam manuskrip “C” tertulis: “Ibnu Abī Lailā.” Dan yang diralat adalah yang benar.

    Ibnu Aimān adalah Abū ‘Abdillāh Muḥammad bin ‘Abd-il-Mālik bin Aimān bin Faraj al-Qurthubī, ulama besar Andalusia dan ahli sanad pada masanya. Dia adalah teman Qāsim bin Ashbāgh. Dia menjadi imam besar masjid raya Cordoba. Dia seorang ahli fikih dan Mufti dan juga seorang ahli hadits. Dia mengarang kitab tentang Sunnah yang merupakan Takhrīj atas Sunan Abī Dāūd. Dia lahir pada tahun 252 Hijriyyah dan wafat pada tahun 330 Hijriyyah.

    Lih. As-Siyar (11/629).

  8. 493). Lih. Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (1/493), al-Majmū‘ (4/94), Raḥmat-ul-Ummah (51), dan at-Taḥqīq (4/17).
  9. 494). Lih. al-Majmū‘ (4/94), Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (1/493), dan al-Hidāyah (1/61).
  10. 495). Lih. Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (1/494), al-Hidāyah (1/61), al-Majmū‘ (4/95).
  11. 496). Dalam manuskrip “Z” tertulis: “Al-Wazīr – semoga Allah memberi keteguhan padanya berkata.”
  12. 497). Ini termasuk yang di-tarjīḥ (dipilih yang paling kuat) oleh Imām Ibnu Ḥubairah. Metode yang ditempuhnya adalah mengikuti dalil dan mendahulukannya atas pendapat para ulama, karena memang terdapat hadits-hadits Shaḥīḥ yang membolehkan kaum wanita shalat di masjid. Dan dalil-dalilnya sudah sangat terkenal sehingga tidak perlu disebutkan di sini.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *