2-7 Wirid Fathimah – 115 Kisah Menakjubkan dalam Kehidupan Rasulullah

115 Kisah Menakjubkan dalam Kehidupan Rasūlullāh Saw

Oleh: FUAD ABDURAHMAN
(Penulis buku bestseller The Great of Two Umars)

Penerbit: Penerbit Noura Books
(PT Mizan Publika)

Untuk kedua orangtuaku:
Ma’mun Fudholi ibn K.H. Ahmad Fudholi
Siti Sobariyah

Untuk dua guruku:
Al-‘Allamah Al-Ustadz Qurtubi (Alm.)
Drs. K.H. Pepe Syafi‘i Mukhtar (Alm.)

Diketik Oleh: Zahra’

Wirid Fāthimah

 

‘Alī ibn Abī Thālib r.a. dan istrinya Fāthimah r.a. hidup sangat sederhana. Ketika menikah, perlengkapan rumah tangga yang mereka miliki hanyalah dua buah batu penumbuk gandum, dua buah tempat air dari kulit kambing, bantal yang terbuat dari ijuk pohon kurma, dan sedikit minyak wangi.

Mereka juga tidak punya pembantu atau pelayan. Fāthimah berkerja seorang diri hingga kedua tangannya kasar dan melepuh. Sering kali ‘Alī r.a. membantu pekerjaan istrinya di rumah.

Suatu ketika Rasūlullāh Saw. pulang dari salah satu peperangan dengan membawa tawanan dan pampasan perang yang banyak. ‘Alī r.a. menyarankan kepada istrinya untuk meminta seorang pembantu kepada beliau untuk meringankan perkerjaan rumah tangganya. Fāthimah pun menyetujuinya.

Putri Rasūlullāh Saw. itu pergi menemui ayahnya. Tiba di hadapan Rasūlullāh Saw., Fāthimah ditanya: “Apa keperluanmu, Putriku?”

Fāthimah terdiam. Ia tidak kuasa mengatakan maksud kedatangannya. Ia hanya berkata: “Tidak ada, wahai Rasūlullāh. Aku ke sini hanya untuk menyampaikan salam kepadamu,” kemudian Fāthimah beranjak pulang ke rumahnya.

Saat tiba di rumah, sang suami telah menunggunya. “Bagaimana hasilnya, wahai Istriku?” tanya ‘Alī r.a.

“Aku tak kuasa mengatakannya kepada Rasūlullāh. Aku merasa malu meminta seorang pembantu kepadanya,” Fāthimah menjawab pelan.

“Bagaimana kalau kita berdua mendatangi Rasūlullāh?”

Fāthimah r.a. menganggukkan kepala, kemudian mereka pergi menghadap Rasūlullāh Saw. menyampaikan keinginan mereka. Namun, bagaimanakah tanggapan Rasūlullāh Saw.? Beliau berkata: “Demi Allah, aku tidak akan memberi kalian, sementara banyak fakir miskin kaum Muslim dengan usus berbelit-belit karena kelaparan.”

Malam hari itu, Rasūlullāh Saw. mendatangi Fāthimah dan ‘Alī. Keduanya sudah berbaring di tempat tidur Mereka berselimut sehelai kain pendek yang tidak cukup menutup tubuh mereka. Jika kepala tertutupi, kaki mereka tersingkap. Kalau kaki ditutupi, kepala mereka tersembul.

Mereka bangkit menyambut kedatangan ayahanda yang mulia. Namun, beliau berujar lembut, “Tetaplah di tempat kalian!”

Setelah diam beberapa kejap, Rasūlullāh saw. bersabda: “Maukah kalian kuajari beberapa kalimat sebagaimana yang diajarkan Jibrīl kepadaku, sesuatu yang lebih berharga daripada yang kalian minta tadi siang?”

“Tentu saja, wahai Rasūlullāh,” jawab mereka.

“Jibrīl mengajariku beberapa kalimat. Bacalah tasbīḥ (subḥānallāh) 10 kali, taḥmīd (al-ḥamdulillāh) 10 kali, dan takbīr (Allāhu akbar) 10 kali, seusai shalat fardhu. Dan bila kalian hendak tidur, bacalah tasbīḥ 33 kali, taḥmīd 33 kali, dan takbīr 33 kali!”

“Sejak malam itu,” ‘Alī menuturkan: “aku tidak pernah meninggalkan wiridan yang diajarkan Rasūlullāh.” Kelak di kemudian hari, wirid itu dikenal dengan nama “Wirid Fāthimah”.

Pada kesempatan yang lain, Rasūlullāh Saw. mengunjungi rumah Fāthimah az-Zahrā. Beliau melihat putrinya sedang menggiling gandum di penggilingan batu sambil menangis. Tentu saja Rasūlullāh heran dan bertanya: “Putriku, mengapa engkau menangis?”

“Duhai Ayah, aku menangis karena batu penggilingan ini, dan juga karena beratnya pekerjaan rumah,” ujar Fāthimah, “bagaimana jika Ayah meminta kepada ‘Alī untuk membelikanku seorang budak perempuan untuk membantu perkerjaan rumah?”

Rasūlullāh Saw. yang sedari tadi duduk di dekat Fāthimah berjalan mendekati penggilingan itu. Beliau mengambil setangkup gandum dengan tangannya yang penuh berkah, lalu meletakkan gandum itu kembali di penggilingan, seraya membaca: bismillāh-ir-raḥmān-ir-raḥīm. Dengan izin Allah, penggilingan itu berputar sendiri menggiling gandum. Bahkan, si batu itu bertasbih kepada Allah dengan bahasa yang berbeda-beda.

Ketika dirasa sudah beres menggiling, Rasūlullāh Saw. berkata kepada batu itu: “Diamlah engkau, dengan izin Allah!” Seketika itu juga batu penggilingan itu tak bergerak. Namun tak lama kemudian si batu itu berbicara dengan bahasa ‘Arab yang fasih: “Wahai Rasūlullāh, demi Allah yang telah mengutusmu dengan benar sebagai nabi dan rasul, sekiranya engkau memerintahkanku untuk menggiling gandum yang ada di Timur dan Barat, niscaya akan kulakukan. Sungguh, aku telah mendengar firman Allah dalam kitab-Nya: Wahai orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api nereka, yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang dijaga malaikat yang kuat dan keras yang tidak pernah menyalahi semua perintah Allah kepada mereka. Mereka selalu melaksanakan semua perintah-Nya (Qs Al-Taḥrīm [66]: 6). Sungguh aku sangat takut, wahai Rasūlullāh, aku takut menjadi batu yang masuk neraka.”

Rasūlullāh Saw. menjawab: “Bergembiralah, karena kau termasuk batu yang akan menjadi bagian istana Fāthimah kelak di surga.” Batu itu merasa gembira mendengarnya dan akhirnya ia diam.

Kemudian Baginda Nabi berkata kepada putrinya: “Wahai Fāthimah, sekiranya Allah berhendak, niscaya batu ini akan berputar sendiri untukmu. Tetapi, Allah ingin menuliskan kebaikan bagimu, menghapus kejelekanmu, dan meningkatkan derajatmu, karena kau menggiling gandum dengan tanganmu sendiri. Putriku, siapa pun wanita yang memasak untuk suami dan anak-anaknya, Allah menuliskan baginya dari setiap biji yang dimasaknya satu bebaikan dan menghapus darinya satu keburukan serta mengangkat baginya satu derajat….” Wallāhu a‘lam.[]

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *