Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī meneruskan pembahasan tentang asmā’ (nama-nama) dan sifat-sifat Allah. Beliau berkata:
كَذَا صِفَاتُ ذَاتِهِ قَدِيْمَهْ. | وَ عِنْدَنَا أَسْمَاؤُهُ الْعَظِيْمَهْ |
“Dan menurut kami (Ahl-us-Sunnah) nama-nama Allah yang agung, begitu juga sifat-sifat Dzāt-Nya adalah qadīm (dahulu).”
Menurut kami, ‘ulamā’ Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah, sesungguhnya asmā’ (nama-nama Allah) yang agung dan sifat-sifat Dzāt Allah adalah qadīm (dahulu).
Menurut ‘ulamā’ Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah, seorang mukallaf wajib meyakini bahwa nama-nama dan sifat-sifat Dzāt Allah wajib adanya dan bersifat qadīm (dahulu). Maksudnya, madlūl-nya nama (yang dinamai) adalah yang qadīm, bukan lafazh “Allah”-nya. Sifat-sifat Dzāt, seperti sifat ma‘ānī yang ada tujuh, adalah qadīm, bukan maqdūr-nya.
Ada pula yang berpendapat bahwa yang dihukumi qadīm adalah kalāmullāh azali yang menunjukkan pada nama-nama, seperti “ar-Raḥmān, ar-Raḥīm, Allāhu Lathīfun” itu dihukumi qadīm, bukan lafazhnya.
Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:
كَذَا الصِّفَاتُ فَاحْفَظِ السَّمْعِيَّةْ. | وَاخْتِيْرَ أَنَّ اسْمَاهُ تَوْقِيْفِيَّةْ |
Jumhur ‘ulamā’ Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah mengatakan bahwa penetapan nama-nama dan sifat-sifat Allah s.w.t. berdasarkan keterangan dari al-Qur’ān, Hadits, dan Ijmā‘ para ‘ulamā’. Maka, janganlah engkau menetapkan nama atau sifat pada Allah tanpa ada dasar dari al-Qur’ān dan Hadits.
Kesimpulannya, tidak diperolehkan menetapkan nama atau sifat bagi Allah kecuali dengan adanya idzin dari syara‘ (disebutkan dalam al-Qur’ān dan Hadits). Hanya nama dan sifat yang diidzini oleh syara‘ saja yang boleh ditetapkan pada Allah. Seperti shabūr, syakūr, ḥalīm. Shabūr berarti kesabaran Allah, maksudnya tidak langsung menimpakan siksa pada orang yang maksiat, syakūr berarti Allah memberi pahala pada ‘amal-‘amal kecil, sedangkan arti kata ḥalīm sama dengan shabūr.