2-7-2 Bab Sifat Shalat (Bagian 2) – Fikih Empat Madzhab

Fikih Empat Madzhab
(Maliki, Hanafi, Hanbali, Syafi‘i)
(Judul: Ijmā‘-ul-A’immat-il-Arba‘ati waikhtilāfihim).
Oleh: Al-Wazir Yahya bin Muhammad bin Hubairah

Penerjemah: Ali Mh.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: 002 Bab Shalat - Fikih Empat Madzhab

Bab: Sifat Shalat.

(Bagian 2)

 

260. Mereka sepakat bahwa setiap orang yang shalat wajib membaca baik dia sebagai Imām maupun shalat sendirian, baik dalam 2 rakaat Shubuh maupun pada 2 rakaat (pertama) pada shalat 4 rakaat dan 3 rakaat, sebagaimana yang telah kami uraikan sebelumnya.

 

261. Mereka berbeda pendapat tentang selain itu.

Asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Membaca wajib atas Imām dan orang yang shalat sendirian pada setiap rakaat dari shalat lima waktu secara mutlak.”

Abū Ḥanīfah berkata: “Membaca tidak wajib atas Imām dan orang yang shalat sendirian kecuali pada 2 rakaat dari shalat 4 rakaat dan shalat Maghrib tanpa ditentukan, baik 2 rakaat pertama maupun 2 rakaat terakhir atau pada salah satu dari 2 rakaat pertama dan salah satu dari 2 rakaat terakhir. Hanya saja yang lebih utama adalah membaca pada 2 rakaat pertama. Adapun pada 2 rakaat shalat Shubuh maka wajib membaca pada keduanya.”

Menurut Mālik, dalam hal ini Ibn-ul-Mundzir dalam kitab al-Isyrāf meriwayatkan dua riwayat darinya.

Pertama, seperti madzhab asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad.

Kedua, apabila seseorang tidak membaca al-Qur’ān pada 1 rakaat dalam shalatnya maka dia harus sujud sahwi dan shalatnya sah. Kecuali shalat Shubuh; bila dia tidak membaca pada salah 1 rakaatnya maka dia harus memulai lagi shalatnya dari awal. (4171).

 

262. Mereka berbeda pendapat tentang wajibnya membaca bagi ma’mūm.

Abū Ḥanīfah berkata: “Ma’mūm tidak wajib membaca baik Imām membaca dengan suara keras maupun lirih, dan juga tidak disunnahkan baginya membaca di belakang imām.”

Mālik dan Aḥmad berkata: “Ma’mūm tidak wajib membaca.”

Mālik berkata: “Apabila dalam shalat tersebut Imām membaca dengan suara keras atau membaca dengan suara keras pada sebagiannya maka ma’mūm dilarang membaca pada rakaat-rakaat tersebut (yang Imām membaca dengan suara keras). Akan tetapi shalatnya tidak batal, baik dia mendengar bacaan Imām maupun tidak.”

Aḥmad berkata: “Apabila ma’mūm mendengar bacaan Imām maka makruh baginya membaca. Sedangkan bila dia tidak mendengarnya maka tidak makruh membacanya. Disunnahkan agar ma’mūm membaca bila Imām membaca dengan suara lirih.”

Imām asy-Syāfi‘ī berkata: “Ma’mūm wajib membaca bila Imām membaca suara lirih.”

Bila Imām membaca dengan suara keras, dalam hal ini ada dua pendapat beliau. Qaul Qadīm mengatakan seperti madzhab Aḥmad, sedangkan Qaul Jadīd mengatakan bahwa ma’mūm wajib membaca.

Al-Buwaithī (4182) meriwayatkan dari asy-Syāfi‘ī bahwa dia berpendapat bahwa dianjurkan agar ma’mūm membaca di belakang Imām, baik Imām membaca dengan suara keras maupun dengan suara lirih. (4193).

 

263. Mereka berbeda pendapat tentang bacaan yang dibaca.

Mālik, asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad – dalam riwayat yang masyhur darinya – berkata: “Yang dibaca adalah surah al-Fātiḥah.”

Abū Ḥanīfah dan Aḥmad – dalam riwayat lain – berkata: “Sah membaca surah lain yang dihapal.” (4204).

 

264. Mereka berbeda pendapat tentang orang yang tidak bisa membaca surah al-Fātiḥah atau surah-surah lainnya dengan baik.

Abū Ḥanīfah dan Mālik berkata: “Dia harus berdiri yang lamanya seperti membaca surah al-Qur’ān.”

Asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Dia harus membaca Tasbīḥ yang lamanya seperti membaca surah.” (4215)

 

265. Mereka berbeda pendapat tentang membaca “Āmīn” setelah membaca surah al-Fātiḥah.

Abū Ḥanīfah dalam riwayat yang masyhur darinya berkata: “Orang yang shalat tidak perlu membaca “Āmīn” dengan suara keras, baik dia bertindak sebagai Imām maupun ma’mūm.”

Ada pula riwayat lain darinya: “Imām membacanya dengan suara lirih.”

Mālik berkata: “Ma’mūm membacanya dengan suara keras.” Adapun imām, dalam hal ini ada dua riwayat darinya.

Asy-Syāfi‘ī berkata: “Imām membacanya dengan suara keras.” Dalam hal ini hanya ada satu riwayat darinya. Sedangkan berkenaan dengan ma’mūm ada dua pendapat.

Aḥmad berkata: “Imām dan ma’mūm membacanya dengan suara keras.” (4226).

 

266. Mereka sepakat bahwa membaca surah setelah al-Fātiḥah disunnahkan dalam shalat Shubuh, 2 rakaat pertama dari shalat 4 rakaat dan 2 rakaat pertama shalat Maghrib. (4237).

Aku mengatakan (4248): “Bagi yang tidak membaca surah lengkap setelah al-Fātiḥah disunnahkan agar dia membaca minimal surah yang paling pendek dalam al-Qur’ān yang jumlahnya 3 ayat.”

 

267. Mereka berbeda pendapat tentang membaca surah setelah al-Fātiḥah pada 2 rakaat terakhir dari shalat 4 rakaat dan rakaat terakhir dari shalat Maghrib, apakah hukumnya disunnahkan?

Abū Ḥanīfah, Mālik, Aḥmad, dan asy-Syāfi‘ī – dalam salah satu dari dua pendapatnya – berkata: “Hukumnya tidak disunnahkan.” Sedangkan dalam pendapat lain, asy-Syāfi‘ī berkata: “Hukumnya disunnahkan.” (4259).

 

268. Mereka sepakat bahwa membaca dengan suara keras pada tempat yang disyariatkan membaca dengan suara keras dan membaca lirih pada tempat yang disyariatkan membaca dengan suara lirih merupakan salah satu dari sunnah-sunnah shalat. (42610).

 

269. Mereka sepakat bahwa apabila seseorang sengaja membaca dengan suara keras pada tempat yang seharusnya bersuara lirih atau membaca dengan suara lirih pada tempat yang seharusnya bersuara keras maka shalatnya tidak batal, hanya saja dia telah meninggalkan sunnah. Kecuali keterangan yang diriwayatkan oleh ath-Thulaithulī (42711) dari salah seorang pengikut Mālik bahwa apabila seseorang sengaja melakukan demikian dalam shalat maka shalatnya rusak. Menurut pendapat yang masyhur dari Mālik, shalatnya sah. (42812).

 

270. Mereka sepakat bahwa apabila seseorang membaca dengan suara keras pada tempat yang seharusnya bersuara lirih karena lupa lalu dia teringat, maka dia harus membaca dengan suara lirih untuk bacaan yang tersisa dan tidak boleh terus membaca dengan suara lirih pada tempat yang seharusnya bersuara keras karena lupa lalu dia teringat maka dia harus mengulang bacaannya. Kecuali Abū Ḥanīfah yang mengatakan: “Apabila seseorang membaca dengan suara lirih pada tempat yang seharusnya bersuara keras sementara dia shalat sendirian maka hukumnya tidak apa-apa. Sedangkan bila dia menjadi imam, bila yang dibaca lirih adalah surah al-Fātiḥah dan yang dibaca lirih sebagian besarnya maka dia wajib melakukan sujud sahwi, sementara bila yang dibaca lirih bukan sebagian besarnya maka dia tidak perlu sujud sahwi. Adapun bila yang dibaca lirih bukan surah al-Fātiḥah, bila dia telah membaca tiga ayat pendek atau ayat panjang maka dia wajib melakukan sujud sahwi, sedangkan bila tidak maka dia tidak perlu melakukan sujūd sahwi. (42913).

 

271. Mereka berbeda pendapat tentang orang yang shalat sendirian, apakah disunnahkan membaca dengan suara keras pada tempat yang seharusnya bersuara keras?

Asy-Syāfi‘ī berkata: “Hukumnya seperti Imām sehingga disunnahkan membaca dengan suara keras.”

Menurut Aḥmad, dalam hal ini ada dua riwayat darinya.

Pertama, seperti pendapat asy-Syāfi‘ī.

Kedua, tidak disunnahkan membaca dengan suara keras. Inilah pendapat yang masyhur darinya.

Abū Ḥanīfah berkata: “Dia boleh memilih; bila dia mau dia boleh membaca dengan suara keras yang hanya didengar oleh dirinya sendiri, dan bila mau dia bisa membaca dengan suara keras (yang didengar oleh orang lain). Bila dia mau dia juga boleh membaca dengan suara lirih. Akan tetapi membaca dengan suara keras lebih utama.”

Mālik berkata: “Hukumnya adalah seperti imām.” Dalam hal ini hanya ada satu riwayat darinya. (43014).

 

Catatan:


  1. 417). Lih. al-Majmū‘ (3/318), at-Taḥqīq (3/106), dan al-Mudawwanah (1/187). 
  2. 418). Dia adalah Abū Ya‘qūb Yūsuf bin Yaḥyā al-Qurasyī al-Buwaithī, seorang ulama terkenal dari dataran tinggi Mesir. Dia adalah pengganti Imām asy-Syāfi‘ī dalam Ḥalaqah-nya sepeninggal beliau. Asy-Syāfi‘ī berkata: “Tidak ada yang lebih berhak duduk di majlisku ini daripada Abū Ya‘qūb dan tidak ada muridku yang lebih alim darinya.” Di antara karyanya adalah al-Mukhtashar yang dibacakan di hadapan asy-Syāfi‘ī. Dia wafat pada tahun 231 Hijriyyah. Lih. Thabaqāt-usy-Syāfi‘iyyah karya al-Isnawī (1/22). 
  3. 419). Lih. at-Taḥqīq (3/50), al-Majmū‘ (3/289), Raḥmat-ul-Ummah (38), dan al-Isyrāf (1/264). 
  4. 420). Lih. al-Hidāyah (1/52), al-Mudawwanah (1/187), Raḥmat-ul-Ummah (39), dan al-Mughnī (1/555). 
  5. 421). Lih. Raḥmat-ul-Ummah (39), al-Majmū‘ (3/340), dan al-Mudawwanah (1/187). 
  6. 422). Lih. al-Majmū‘ (3/334), al-Hidāyah (1/52), at-Talqīn (107), dan al-Mughnī (1/565). 
  7. 423). Lih. al-Mughnī (1/568), al-Majmū‘ (3/349), dan at-Talqīn (109). 
  8. 424). Dalam manuskrip “Z” tertulis: Al-Wazīr – semoga Allah memberinya keteguhan berkata. 
  9. 425). Lih. al-Majmū‘ (3/351), at-Talqīn (109), al-Mughnī (1/569), dan al-Hidāyah (1/56). 
  10. 426). Lih. Raḥmat-ul-Ummati Fī Ikhtilāf-il-A’immah (39), dan al-Mughnī (1/642). 
  11. 427). Aku tidak menemukan biografinya. 
  12. 428). Lih. al-Mughnī (1/642) dan Raḥmat-ul-Ummah (39). 
  13. 429). Lih. Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (1/505), al-Majmū‘ (3/355), dan al-Isyrāf (1/327). 
  14. 430). Lih. al-Mughnī (1/643), Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (1/506), al-Majmū‘ (3/355), dan Raḥmat-ul-Ummah (39). 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *