Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:
بِلَا تَنَاهِيْ مَا بِهِ تَعَلَّقَتْ. | فَقُدْرَةٌ بِمُمْكِنٍ تَعَلَّقَتْ |
“Maka sifat Qudrah yang berta‘alluq dengan segala yang mungkin tidak akan berakhir oleh sesuatu yang dita‘alluq olehnya.”
Ta‘alluq sifat qudrah pada sesuatu yang mungkin itu secara terus-menerus, tidak ada putusnya sampai ke surga.
Ta‘alluq adalah hubungan atau tuntutan sifat pada perkara yang lain. Misalnya, Ta‘alluq sifat qudrah terhadap mumkināt (segala sesuatu yang mungkin) maksudnya adalah tuntutan sifat qudrah pada maqdūr (sesuatu yang dikuasai). Demikian halnya sifat sam‘, bashar, dan kalām.
Ketahuilah, tujuh sifat ma‘ānī tersebut jika dilihat dari segi memiliki ta‘alluq atau tidaknya dibagi menjadi empat: (60).
Ta‘alluq-nya sifat qudrah pada mumkināt (sesuatu yang mungkin) tidak ada putusnya, mulai dari tidak ada menjadi ada, kemudian dari ada menjadi tidak ada lagi, lalu diwujudkan lagi, kemudian adakalanya dimasukkan ke surga atau ke neraka. Hal itu tidak ada putusnya sampai merasakan kenikmatan surga.
Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:
إِرَادَةٌ وَ الْعِلْمُ لَكِنْ عَمَّ ذِيْ. | وَ وَحْدَةً أَوْجِبْ لَهَا وَ مِثْلُ ذِيْ |
“Dan wajibkan esa bagi-Nya. Dan seperti qudrah ini adalah
Irādah dan ‘Ilmu, tetapi sifat ‘Ilmu merata (ta‘alluq-nya) kepada segala yang mungkin.”
Yakinlah bahwa sifat qudrah Allah tunggal. Maksudnya, wajib meyakini bahwa sifat qudrah Allah tunggal, tidak berbilangan. Sifat irādah juga seperti sifat qudrah, yaitu tunggal, tidak berbilangan. Keduanya ber-ta‘alluq pada mumkināt (segala sesuatu yang mungkin) secara terus-menerus tanpa terputus, bedanya, sifat qudrah mewujudkan atau meniadakan, sedangkan sifat irādah hanya menentukan saja.
Sifat ‘Ilmu juga seperti sifat qudrah dalam segi ta‘alluq-nya, sama-sama pada mumkināt dan secara terus-menerus. Bedanya, sifat qudrah itu Ījād (mewujudkan) sedangkan ta‘alluq sifat ‘ilmu inkisyāf; bedanya lagi, ta‘alluq sifat ‘ilmu pada mumkināt adalah secara umum, baik sebelum atau setelah wujudnya. Sebab, Allah berfirman:
وَ اللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ.
“Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-Ḥujurāt [49]: 16).
Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:
وَ مِثْلُ ذَا كَلَامُهُ فَلْنَتَّبِعْ. | وَ عَمَّ أَيْضًا وَاجِبًا وَ الْمُمْتَنِعْ |
“Dan merata pula kepada yang wajib dan mumtani‘ (dicegah).
Seperti ‘ilmu adalah kalāmullāh maka hendaklah kita mengikuti.”
Ta‘alluq sifat ‘ilmu juga mencakup wājib ‘aqlī, sebagaimana Allah mengetahui Dzāt dan sifat-Nya, dan juga mencakup muḥāl ‘aqlī, sebagaimana Allah mengetahui mustaḥīlnya sekutu dan anak bagi-Nya. Sifat yang menyerupai sifat ‘ilmu dalam hal ta‘alluq-nya pada tiga hal (jā’iz, wājib, dan mustaḥīl) adalah sifat kalām. Maka, selayaknya kita mengikuti pendapat para ‘ulamā’ Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah dalam hal ta‘alluq sifat-sifat Allah.
Maksud perkataan Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī adalah bahwa ta‘alluq sifat ‘ilmu adalah pada wājib ‘aqlī, sebagaimana ‘ilmu Allah atas Dzāt, sifat, dan wājib wujūd-Nya; juga pada mustaḥīl ‘aqlī, sebagaimana ‘ilmu Allah atas mustaḥīlnya Allah memiliki sekutu dan anak; juga pada Jā’iz ‘aqlī, sebagaimana ‘ilmu Allah atas kebolehan wujudnya sesuatu yang mungkin.
Ta‘alluq sifat kalām Allah juga pada sesuatu yang wājib, mustaḥīl, dan jā’iz. Ini sama dengan sifat ‘ilmu, tetapi ada sedikit perbedaan. Ta‘alluq sifat ‘ilmu adalah inkisyāf, sedangkan ta‘alluq sifat kalām adalah dilālah (petunjuk). Maksudnya, firman Allah ada beberapa macam:
1. Menunjukkan pada wājib ‘aqlī, seperti firman Allah:
قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ. اللهُ الصَّمَدُ.
“Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.” (QS. al-Ikhlāsh [112]: 1-2).
2. Menunjukkan pada mustaḥīl ‘aqlī, seperti firman Allah:
لَمْ يَلِدْ وَ لَمْ يُوْلَدْ، وَ لَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ.
“Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” (QS. al-Ikhlāsh [112]: 3-4).
3. Menunjukkan pada jā’iz ‘aqlī, seperti firman Allah:
وَ أَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُوْرًا.
“Dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih.” (QS. al-Furqān [25]: 48).
إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيْهِ.
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan).” (QS. al-Insān [76]: 2).
أَلَمْ نَجْعَلِ الْأَرْضَ مِهَادًا، وَ الْجِبَالَ أَوْتَادًا.
“Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan? Dan gunung-gunung sebagai pasak?” (QS. an-Naba’ [78]: 6-7).
Adapun jika dilihat dari sisi hukum syarī‘at, firman Allah adakalanya menunjukkan wājib, ḥarām, wa‘du (janji), wa‘īd (ancaman), khabar (memberi informasi), basyīrah (kabar gembira), nidzārah (peringatan), qishshah (cerita), juga ḥukum dan ḥikmah lain seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Jangan terlalu banyak membahas sifat kalām Allah dengan orang awam.
Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:
كَذَا الْبَصَرْ إِدْرَاكُهُ إِنْ قِيْلَ بِهْ. | وَ كُلُّ مَوْجُوْدٍ أَنِطْ لِلسَّمْعِ بِهِ |
“Dan setiap yang wujūd, ta‘alluq-kanlah sifat sam‘ dengannya,
Begitu juga sifat bashar dan idrāk jika dikatakan dengannya.”
Yakinilah bahwa segala sesuatu yang wujūd (sesuatu yang ada) itu di-ta‘alluq-i oleh sifat sam‘, artinya ta‘alluq sifat sam‘ adalah pada sesuatu yang wujūd, begitu juga sifat bashar dan sifat idrāk. Ini menurut pendapat yang menyatakan bahwa Allah memiliki sifat idrāk.
Sifat sam‘ dan bashar itu ta‘alluq-nya ada sesuatu yang wujūd, maksudnya sesuatu yang bisa dilihat dan didengar. Adapun seperti apa ta‘alluq sifat sam‘ dan bashar pada sesuatu yang wujūd itu tidak diketahui, hanya Allah yang mengetahui hakikatnya.
Sebagian ‘ulamā’ berpendapat bahwa sifatt sam‘ yang azali ber-ta‘alluq pada masmū‘āt (segala sesuatu yang didengar) dan sifat bashar yang azali pada mubsharāt (segala sesuatu yang dilihat). Wallāhu a‘lam.
Adapun sifat idrāk, sebaiknya jangan dibahas lagi, karena malah akan membuat bingung orang-orang awam.
Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:
ثُمَّ الْحَيَاةُ مَا بِشَيْ تَعَلَّقَتْ. | و غَيْرُ عِلْمٍ هذِهِ كَمَا ثَبَتْ |
“Dan (sifat-sifat) ini adalah selain sifat ‘Ilmu sebagaimana yang telah tetap. Kemudian Ḥayāt adalah satu sifat yang tidak ta‘alluq dengan sesuatu.”
Adapun empat sifat ini, yakni, kalām, sam‘, bashar, dan idrāk, menurut pendapat para ‘ulamā’ berbeda dengan sifat ‘ilmu, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’ān. Sifat ḥayāt tidak punya ta‘alluq pada sesuatu yang wujūd.
Sifat kalām, sam‘, dan bashar berbeda dengan sifat ‘ilmu. Sebab, keempat sifat tersebut memiliki madlūl sendiri-sendiri. Misal, jika diterapkan pada makhluq, maka madlūl-nya sifat kalām adalah perkataan, madlūl-nya sifat sam‘ adalah telinga karena sifat sam‘ adalah indera pendengar, madlūl-nya sifat bashar adalah mata, karena sifat bashar adalah indera penglihat, sedangkan madlūl-nya sifat ‘ilmu adalah mengetahui. Dengan perumpamaan seperti ini, menjadi jelas bahwa keempat sifat tersebut tidak sama. Wallāhu a‘lam.