2-6-1 Peringatan (Bagian 2) – Kasyifat-us-Saja’

كاشفة السجا في شرح سفينة النجا
Kāsyifat-us-Sajā fī Syarḥi Safīnat-un-Najā
(Tirai penutup yang tersingkap dalam mensyarahi kitab Safīnat-un-Najā [Perahu Keselamatan])
لمحمد نووي بن عمر الجاوي
Oleh: Muḥammad Nawawī bin ‘Umar al-Jāwī

Alih Bahasa: Zainal ‘Arifin Yahya
Penerbit: Pustaka Mampir

Rangkaian Pos: Rukun-rukun Iman - Kashifat-us-Saja’ | Syekh Nawawi al-Bantani

قَوْلُهُ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ السَّاعَةِ، أَيْ عَنْ وَقْتِ الْقِيَامَةِ.

Ucapan malaikat Jibril: “Lalu beritahu kepadaku tentang hari kiamat”, maksudnya adalah mengenai waktu [terjadinya] kiamat.

قَوْلُهُ: مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا، أَيْ عَنْ وَقْتِهَا.

Sabda Nabi s.a.w.: “Tidaklah orang yang ditanya tentang hal itu, maksudnya tentang waktu [terjadinya] kiamat.

قَوْلُهُ: بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ، أَيْ أَنْتَ لَا تَعْلَمُهَا وَ أَنَا لَا أَعْلَمُهَا

Sabda Nabi s.a.w.: “lebih mengetahui dari penanya”, maksdunya adalah engkau tidak mengetahuinya dan akupun tidak mengetahuinya.

فَالْمُرَادُ التَّسَاوِيْ فِيْ نَفْيِ الْعِلْمِ بِوَقْتِهَا لَا التَّسَاوِيْ فِي الْعِلْمِ بِوَقْتِهَا.

Maka yang dimaksud adalah kesamaan dalam ketiadaan mengetahui tentang waktu [terjadinya] kiamat, bukan kesamaan dalam mengetahui dengan waktu [terjadinya] kiamat.

قَوْلُهُ: عَنْ أَمَارَاتِهَا، بِفَتْحِ الْهَمْزَةِ أَيْ عَلَامَاتِهَا

Ucapan malaikat Jibrīl: “tentang tanda-tandanya”, [lafazh amārātihā], dengan hamzah yang dibaca fatḥah, [amārātihā] yakni tanda-tandanya,

كَمَا قَالَ فِي الْمِصْبَاحِ الْأَمَارَةُ الْعَلَامَةُ وَزْنًا وَ مَعْنًى، وَ أَمَّا الْإِمَارَةُ بِكَسْرِ الْهَمْزَةِ فَهِيَ الْوِلَايَةُ وَ الْإِمَامَةُ

Sebagaimana keterangan di dalam kitab al-Mishbāḥ: “Al-Amārah adalah al-‘Alāmah [tanda], secara wazan [persesuaian bentuk kalimat] dan secara makna. Adapun al-‘Imārah, dengan di-kasrah-kan hamzahnya, maka hal itu adalah kekuasaan dan kepemimpinan.”

وَ الْمُرَادُ عَلَامَاتُهَا السَّابِقَةُ عَلَيْهَا وَ مُقَدَّمَاتُهَا لَا الْمُقَارِنَةُ الْمُضَايِقَةُ لَهَا

Dan yang dimaksud tanda-tanda kiamat adalah segala [peristiwa akhir zaman] yang mendahului atas kiamat itu dan pendahuluan-pendahuluan terjadinya kiamat, bukan peristiwa yang membarengi yang terjadi secara bertubi-tubi pada hari kiamat,

كَطُلُوْعِ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا وَ خُرُوْجِ الدَّابَّةِ

Seperti terbitnya matahari dari baratnya dan keluarnya sejenis hewan-hewan melata. [an-Naml [27]: 82).

فَلِذَا قَالَ: أَنْ تَلِدَ الْأَمَةُ رَبَّتَهَا

Karena itulah Nabi bersabda: “seorang budak perempuan melahirkan tuannya.”

وَ فِيْ رِوَايَةٍ رَبَّهَا.

Dan di dalam riwayat lain dengan lafazh rabbahā [tanpa huruf tā’]. (KS-691).

وَ اخْتُلِفَ فِيْ مَعْنَاهَا عَلَى أَقْوَالٍ

Diperselisihkan dalam pengertian sabda Nabi tersebut, atas beberapa pendapat.

أَصَحُّهَا أَنَّهُ إِخْبَارٌ عَنْ كَثْرَةِ السَّرَارِيْ وَ أَوْلَادِهِنَّ

Pendapat yang paling shaḥīḥ adalah bahwa sabda Nabi tersebut adalah sebagai pemberian informasi tentang banyaknya wanita tawanan dan anak-anaknya.

وَ أَنَّ وَلَدَهَا مِنْ سَيِّدِهَا بِمَنْزِلَةِ سَيِّدِهَا لِأَنَّ مَالَ الْإِنْسَانِ صَائِرٌ إِلَى وَلَدِهِ،

Dan bahwa anak tawanan dari tuannya itu berkedudukan sama seperti tuannya, karena sesungguhnya harta manusia itu akan beralih kepada anaknya.

وَ قَدْ يَتَصَرَّفُ فِيْهِ فِي الْحَالِ تَصَرُّفَ الْمَالِكِيْنَ إِمَّا بِالْإِذْنِ أَوْ بِقَرِبْتَهِ الْحَالِ أَوْ عُرْفِ الْاِسْتِعْمَالِ،

Dan si anak pasti mendaya-gunakan pada harta ayahnya dalam suatu keadaan pendaya-gunaan layaknya pemilik, adakalanya dengan izin atau dengan pertanda keadaan [yang memperbolehkan] atau menurut keumuman penggunaan [harta milik].

وَ عَبَّرَ بَعْضُهُمْ بِأَنْ يَسْتَوْلِيَ الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى بِلَادِ الْكُفَّارِ فَتَكْثُرَ السَّرَارِيْ

Sebagian Ulama menggambarkan dengan semisal kaum muslim menguasai atas berbagai negeri orang-orang kafir, maka akan banyaklah tawanan wanita.

فَيَكُوْنُ وَلَدُ الْأَمَةِ مِنْ سَيِّدِهَا بِمَنْزِلَةِ سَيِّدِهَا لِشَرَفِهِ بِأَبِيْهِ.

Maka menjadilah anak budak wanita dari tuannya itu [menempati] pada kedudukan yang sama dengan tuannya, karena kemuliaan anak itu mengikuti ayahnya.

ثَانِيْهَا: أَنَّ مَعْنَاهَا أَنَّ الْإِمَاءَ تَلِدُ الْمُلُوكَ فَتَكُوْنَ أُمُّهُ مِنْ جُمْلَةِ رَعِيَّتِهِ إِذْ هُوَ سَيِّدُهَا.

Pendapat kedua, bahwa pengertian sabda Nabi tersebut adalah bahwa para budak wanita akan melahirkan para raja, lalu keberadaan ibunya termasuk sejumlah rakyatnya, sebab si anak adalah pemimpinnya.

ثَالِثُهَا: أَنَّ مَعْنَاهُ أَنْ تَفْسَدَ أَحْوَالُ النَّاسِ فَيَكْثُرُ بَيْعُ أُمَّهَاتِ الْأَوْلَادِ فِيْ آخِرِ الزَّمَانِ

Pendapat ketiga, bahwa pengertian sabda Nabi tersebut adalah bahwa akan menjadi rusak tatanan perilaku manusia, karena banyak terjadi penjualan para umm-ul-walad [budak wanita yang melahirkan anak dari tuannya] di akhir zaman.

فَيَكْثُرَ تَرْدَادُهَا فِيْ أَيْدِي الْمُشْتَرِيْنَ حَتَّى يَشْتَرِيْهَا إِبْنُهَا مِنْ غَيْرِ عِلْمٍ أَنَّهَا أُمُّهُ

Lalu banyak terjadi berulang-kali umm-ul-walad itu ada di kepemilikan para pembeli, hingga akan terjadi anaknya akan membelinya, tanpa ia mengetahui bahwa umm-ul-walad itu adalah ibu kandungnya.

وَ مِنْ ذلِكَ أَنْ يَكْثُرَ الْعُقُوْقُ فِي الْأَوْلَادِ فَيُعَامِلُ الْوَلَدُ أُمَّهُ بِمَا يُعَامِلُ السَّيِّدُ أَمَتَهُ مِنَ الْإِهَانَةِ وَ السَّبِّ.

Dan karena itulah akan banyak terjadi kedurhakaan pada para anak, karena si anak memperlakukan ibunya, dengan sesuatu yang seorang tuan memperlakukan budak perempuannya, berupa hinaan dan cacian.

قَوْلُهُ: وَ أَنْ تَرَى الْحُفَاةَ، بِضَمِّ الْحَاءِ الْمُهْمَلَةِ جَمْعُ حَافٍ هُوَ مَنْ لَا نَعْلَ فِيْ رِجْلِهِ.

Sabda Nabi s.a.w.: “dan engkau akan melihat orang yang bertelanjang kaki”, lafazh al-Ḥufāta dengan di-dhammah-kan huruf ḥā’-nya yang tidak bertitik, jama‘ dari lafazh ḥāfin, yaitu orang yang tidak memiliki sandal [alas kaki] di kakinya.

قَوْلُهُ: الْعُرَاةَ، جَمْعُ عَارٍ وَ هُوَ مَنْ لَا شَيْءٌ عَلَى جَسَدِهِ.

Sabda Nabi s.a.w.: “bertelanjang tubuh”, lafazh al-‘Urāta adalah jama‘ dari lafazh ‘ārin, yaitu orang yang tidak ada sesuatu [penutup]-pun di tubuhnya.

قَوْلُهُ: الْعَالَةَ، بِفَتْحِ اللَّامِ الْمُخَفَّفَةِ جَمْعُ عَائِلٍ وَ الْعَالَةُ هِيَ فِيْ تَقْدِيْرُ فَعَلَةٍ مِثْلُ كَافِرٍ وَ كَفَرَةٍ مَعْنَاهُ الْفُقَرَاءُ.

Sabda Nabi s.a.w.: “orang-orang miskin” lafazh al-‘ālata dengan dibaca fatḥah huruf lām-nya, yang diiringankan, merupakan jama‘ dari lafazh ‘ā’ilin. Lafazh al-‘ālah adalah diperkirakan mengikuti wazan fa‘alatun, sama seperti lafazh kāfirin dan [jama‘-nya] kafaratun, makna al-‘Ālah adalah orang-orang fakir.

قَوْلُهُ: رِعَاءَ الشَّاءِ، بِكَسْرِ الرَّاءِ وَ الْمَدِّ جَمْعُ رَاعٍ وَ أَمَّا بِالضَّمِّ فَلَا بُدَّ مِنَ التَّاءِ الْمَرْبُوْطَةِ مِثْلُ قَاضٍ وَ قُضَاةٍ كَمَا فِي الْمِصْبَاحِ

Sabda Nabi s.a.w.: “Ri‘ā’-asy-Syā’i” dengan di-kasrah-kan huruf rā’-nya dan dibaca panjang, merupakan jama‘ dari lafazh rā‘in. Adapun dengan di-dhammah-kan, maka tidak boleh tidak harus ditambah tā’ marbūthah, sama seperti lafazh qādhin dan [jama‘-nya] qudhātun, sebagaimana keterangan di dalam kitab al-Mishbāḥ.

وَ أَصْلُ الرَّعْيِ الْحِفْظُ وَ الشَّاءِ بِالْهَمْزَةِ الْغَنَمُ جَمْعُ شَاةٍ وَ هُوَ مِنَ الْجُمُوْعِ الَّتِيْ يُفْرَقُ بَيْنَهَا وَ بَيْنَ وَاحِدِهَا بِالْهَاءِ، وَ تُجْمَعُ أَيْضًا عَلَى شِيَاهٍ بِاْلهَاءِ

Dan asal mulanya ar-Ra‘yi bermakna menjaga. Dan lafazh asy-Syā’i dengan hamzah adalah kambing-kambing, merupakan jama‘ dari lafazh syātun, dan merupakan termasuk kalimat-kalimat jama‘ yang [cara] membedakannya antara jama‘ dan mufrad-nya, dengan hā’ dan bisa di-jama‘-kan pula, berupa lafazh syiyāhin, dengan huruf hā’.

وَ خَصَّهُمْ بِالذِّكْرِ لِأَنَّهُمْ أَهْلُ الْبَادِيَةِ.

Dan dikhususkan mereka [para penggembala] dalam penuturan sabda Nabi s.a.w., karena sesungguhnya mereka adalah penduduk pedusunan.

قَوْلُهُ: يَتَطَاوَلُوْنَ فِي الْبُنْيَانِ، أَيْ يَتَبَاهُوْنَ فِي ارْتِفَاعِهِ

Sabda Nabi s.a.w.: “mereka berlomba membuat menjulang dalam bangunan” maksudnya adalah mereka bermegah-megahan di dalam meninggikan bangunan.

وَ الْقَصْدُ مِنَ الْحَدِيْثِ الْإِخْبَارُ عَنْ تَبْدِيْلِ الْحَالِ وَ تَغَيُّرِهِ بِأَنْ يَسْتَوْلِيَ أَهْلُ الْبَادِيَةِ وَ الْفَاقَةِ الَّذِيْنَ هذِهِ صِفَاتُهُمْ عَلَى أَهْلِ الْحَاضِرَةِ

Dan maksud dari hadits itu adalah mengabarkan tentang peralihan keadaan dan perubahannya, dengan menguasainya para penduduk pedusunan dan para fakir miskin, yang bersifat mereka dengan sifat ini, mengalahkan penduduk kota.

وَ يَتَمَلَّكُوْنَ بِالْقَهْرِ وَ الْغَلَبَةِ فَتَكْثُرَ أَمْوَالُهُمْ وَ تَتَّسِعَ فِي الْحُطَامِ أَيْ فِي الْفَانِيَةِ

Dan mereka menguasai dengan cara menundukkan dan mengalahkan. Lalu menjadi berlimpah harta-harta mereka, dan menjadi lapang dalam hal harta keduniawian, yakni dalam [aset-aset kebendaan] yang fana’.

وَ هِيَ الْمَتَاعُ الْكَثِيْرُ الْهِمَّةِ فَتَصَرَّفَ هِمَمُهُمْ إِلَى تَشْيِيْدِ الْبُنْيَانِ أَيْ تَطْوِيْلِهِ وَ رَفْعِهِ بِالْجَصِّ،

Yaitu harta benda yang memicu banyak cita-cita, lalu terarahkan cita-cita mereka itu kepada mendirikan bangunan-bangunan, yakni memanjangkannya dan meninggikannya dengan semen [beton].

وَ الْهِمَّةِ بِالْكَسْرِ أَوَّلُ الْعَزْمِ وَ قَدْ يُطْلَقُ عَلَى الْعَزْمِ الْقَوِيِّ كَمَا فِي الْمِصْبَاحِ.

Lafazh al-Himmah, dengan kasrah [huruf hā’-nya] adalah awal suatu tekad, dan terkadang diucapkan untuk menunjukkan tekad yang kuat, seperti keterangan di dalam kitab al-Mishbāḥ.

قَوْلُهُ: ثُمَّ انْطَلَقَ، أَيِ الرَّجُلُ السَّائِلُ عَمَّا ذُكِرَ.

Ucapan Sayyidinā ‘Umar: “Kemudian lelaki itu bertolak pergi”, maksudnya adalah lelaki si penanya tentang persoalan yang telah dituturkan itu.

وَ قَوْلُهُ: فَلَبِثَ أَيِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَيِ اسْتَمَرَّ سَاكِتًا عَنِ الْكَلَامِ فِيْ هذِهِ الْقَضِيَّةِ،

Ucapan Sayyidinā ‘Umar: “lalu terdiam” yakni Nabi s.a.w., maksudnya Nabi berkondisi lama terdiam terus-menerus dari berbicara tentang inti masalah ini.

وَ جَاءَ فِيْ رِوَايَةٍ فَلَبِثْتُ بِتَاءٍ مَضْمُوْمَةٍ فَيَكُوْنُ عُمَرُ هُوَ الْمُخْبِرُ بِذلِكِ عَنْ نَفْسِهِ.

Dan telah datang di dalam satu riwayat [disebutkan] (KS-702): “Fa-labitstu [lalu aku terdiam] dengan haruf tā’ yang di-dhammah-kan, maka adalah Sayyidinā ‘Umar memberi kabar tentang hal itu, mengenai diri beliau sendirilah [yang terdiam].

قَوْلُهُ: مَلِيًّا، بِتَشْدِيْدِ الْيَاءِ أَيْ زَمَانًا كَثِيْرًا وَ كَانَ ذلِكَ الزَّمَانُ ثَلَاثًا كَمَا جَاءَ فِيْ رِوَايَةِ أَبِيْ دَاوُدَ وَ التِّرْمِذِيِّ وَ غَيْرِهِمَا.

Ucapan Sayyidinā ‘Umar: “Maliyyan”, dengan tasydīd huruf yā’-nya, yakni masa yang lama, dan masa itu adalah tiga [jam], sebagaimana telah datang [keterangan] di dalam riwayat Imām Abū Dāūd dan Imām Tirmidzī dan selain keduanya.

قَوْلُهُ: ثُمَّ قَالَ: يَا عُمَرُ أَتَدْرِيْ مَنِ السَّائِلِ؟

Ucapan Sayyidinā ‘Umar: “kemudian beliau bersabda: “Wahai ‘Umar, tahukah engkau siapa yang bertanya tadi?

قُلْتُ: اَللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ

Aku berkata: “Allah dan Rasūl-Nya lebih mengetahui.

قَالَ: فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ،

Nabi bersabda: “Sesungguhnya lelaki itu adalah Jibrīl, ia datang kepada kalian untuk mengajarkan kalian tentang agama kalian.

أَيْ قَوَاعِدَ دِيْنِكُمْ فَفِيْهِ أَنَّ الدِّيْنَ اِسْمٌ لِلثَّلَاثَةِ الْإِسْلَامِ وَ الْإِيْمَانِ وَ الْإِحْسَانِ

Maksudnya adalah kaidah-kaidah agama kalian, maka di dalam sabda beliau ini menyiratkan bahwa agama adalah sebutan untuk tiga hal ini, yaitu Islām, Īmān dan Iḥsān.

وَ فُهِمَ مِنْهُ أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ لِلْمُعَلِّمِ تَنْبِيْهُ تَلَامِذَتِهِ وَ لِلرَّئِيْسِ تَنْبِيْهُ أَتْبَاعِهِ عَلَى قَوَاعِدِ الْعِلْمِ وَ غَرَائِبِ الْوَقَائِعِ طَلَبًا لِنَفْعِهِمْ وَ فَائِدَتِهِمْ قَالَهُ الْفَشَنِيُّ.

Difahami dari hadits itu, bahwasanya disunnahkan bagi pengajar mengingatkan murid-muridnya dan bagi pimpinan mengingatkan para pengikutnya mengenai prinsip-prinsip ilmu dan peristiwa-peristiwa yang jarang terjadi, karena menuntut untuk memberi manfaat bagi mereka dan faidah bagi mereka, demikian Syaikh al-Fasyanī telah mengatakannya.

Catatan:


  1. KS-69. Terdapat di dalam Shaḥīḥ Muslim, hadtis ke 11 (Kitāb al-Īmān), dari ‘Umar bin Khaththāb. Terdapat di dalam Sunan Nasā’ī, hadits ke 5001 (Kitāb al-Īmāni wa syarā’iḥi, Bab shifat-il-Īmāni wal-Islām), dari Abū Hurairah dan Abū Dzarr. Terdapat di dalam Musnad Aḥmad, hadits ke 8765 [dari Abū Hurairah], dan hadits ke 16541 dan 16851 [Abū ‘Āmir al-Asy‘arī]. 
  2. KS-70. Terdapat di dalam Shaḥīḥ Muslim, hadtis ke 9 (Kitāb al-Īmān), dari ‘Umar bin Khaththāb. Terdapat di Sunan Nasā’ī, hadits ke 5000 (Kitāb al-Īmāni wa syarā’iḥi, Bab na‘t-il-Islām), dari ‘Umar bin Khaththāb. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *