2-6-1 Peringatan (Bagian 1) – Kasyifat-us-Saja’

كاشفة السجا في شرح سفينة النجا
Kāsyifat-us-Sajā fī Syarḥi Safīnat-un-Najā
(Tirai penutup yang tersingkap dalam mensyarahi kitab Safīnat-un-Najā [Perahu Keselamatan])
لمحمد نووي بن عمر الجاوي
Oleh: Muḥammad Nawawī bin ‘Umar al-Jāwī

Alih Bahasa: Zainal ‘Arifin Yahya
Penerbit: Pustaka Mampir

Rangkaian Pos: Rukun-rukun Iman - Kashifat-us-Saja’ | Syekh Nawawi al-Bantani

[تَنْبِيْهٌ] إِنَّمَا أَتَى الْمُصَنِّفُ أَوْلًا بِذِكْرِ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ وَ الْإِيْمَانِ لِأَنَّهُ عَظِيْمُ الْمَوْقِعِ

(Peringatan) Sesungguhnya pengarang [Syaikh Sālim bin Sumair] mendatangkan di awal [kitab ini] dengan menuturkan rukun-rukun Islam dan Iman, hanyalah karena sesungguhnya hal tersebut merupakan perkara yang agung kedudukannya

،وَ قَدِ اشْتَمَلَ عَلَى جَمِيْعِ وَظَائِفِ الْعِبَادَاتِ الظَّاهِرَةِ، وَ الْبَاطِنَةِ

Dan sungguh hal itu mencakup kepada semua tugas-tugas ibadah, yang lahiriyyah (zhāhiriyyah) dan yang bāthiniyyah.

قَالَ الْجُفْرِيُّ: وَ يُقْبَحُ بِالْعَاقِلِ أَنْ يُسْأَلَ عَنْ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ وَ الْإِيْمَانِ فَلَا يَرُدُّ جَوَابًا وَ هُوَ يَزْعَمُ أَنَّهُ مُسْلِمٌ وَ مُؤْمِنٌ اِنْتَهَى،

Telah berkata Syaikh al-Jufrī: “Dinilai buruk bagi orang yang berakal, [ketika] ia ditanya tentang rukun-rukun Islam dan Iman, lalu ia tidak mampu memberikan jawaban [pertanyaan tersebut], padahal ia mengaku bahwa ia orang Islam dan orang beriman”. Selesai Syaikh al-Jufrī.

وَ هُوَ مَأْخُوْذٌ مِنْ حَدِيْثِ سَيِّدِنَا جِبْرِيْلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ كَمَا فِي الْأَرْبَعِيْنَ لِلنَّوَوِيِّ،

Dan hal tersebut [keterangan mengenai rukun-rukun Iman dan Islam] dikutip dari hadits Sayyidinā Jibrīl a.s., sebagaimana tertera di dalam kitab ar-Arba‘īn karya Imām an-Nawawī.

قَالَ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ

Imām an-Nawawī raḥimahullāhu ta‘ālā berkata: “[Diriwayatkan] dari Sayyidinā ‘Umar r.a., beliau berkata: “Di saat kami sedang duduk-duduk di dekat Rasūlullāh s.a.w. di suatu hari,

إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ لَا يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَ لَا يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ

Tiba-tiba datang menghampiri kami seorang laki-laki yang sangat putih pakaiannya, sangat hitam rambutnya, tidak terlihat pada dirinya bekas-bekas mengadakan perjalanan, dan tidak seorangpun dari kami yang mengenalnya.

حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَ وَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ

Hingga ia duduk di hadapan Nabi s.a.w., lalu ia mendekatkan dua lututnya dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua paha Nabi s.a.w.,

وَ قَالَ: يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِيْ عَنِ الْإِسْلَامِ

Dan ia berkata: “Hai Muḥammad, beritahu kepadaku tentang Islām.

فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: الْإِسْلَامُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ

Lalu Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Islam adalah hendaknya engkau bersaksi, bahwa tidak ada tuhan, kecuali Allah, dan bahwa Muḥammad adalah utusan Allah,

وَ تُقِيْمَ الصَّلَاةَ وَ تُؤْتِيَ الزَّكَاةَ وَ تَصُوْمَ رَمَضَانَ وَ تَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلًا

Dan engkau mendirikan shalat, dan engkau menunaikan zakat, dan engkau berpuasa di bulan Ramadhān, dan engkau berhaji ke Baitullāh, jika engkau mampu menuju ke sana [dalam menempuh] perjalanannya.

قَالَ: صَدَقْتَ،

Lelaki itu berkata: “Anda benar.

فَتَعَجَّبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَ يُصَدِّقُهُ،

Maka kami merasa heran kepada lelaki itu, ia bertanya kepada Nabi dan ia [juga] membenarkan Nabi.

قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الْإِيْمَانِ

Lelaki itu berkata: “Lalu beritahu kepadaku tentang Īmān.

قَالَ: أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَ مَلَائِكَتِهِ وَ كُتُبِهِ وَ رُسُلِهِ وَ الْيَوْمِ الْآخِرِ وَ تُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَ شَرِّهِ

Nabi bersabda: “Hendaknya engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitabNya, para rasul-Nya, dan hari akhir, dan engkau beriman kepada taqdir, baiknya taqdir dan buruknya [itu dari Allah]”.

قَالَ: صَدَقْتَ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الْإِحْسَانِ

Lelaki itu berkata: “Anda benar”. Lelaki itu berkata: “Lalu beritahu kepadaku tentang Iḥsān”.

قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ، فَإِنَّهُ يَرَاكَ،

Nabi bersabda: “Hendaknya engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, maka jika engkau tidak dapat melihat-Nya, niscaya Allah senantiasa melihatmu.

قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ السَّاعَةِ

Lelaki itu berkata: “Lalu beritahu kepadaku tentang hari kiamat”.

قَالَ: مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ،

Nabi bersabda: “Tidaklah orang yang ditanya tentang hal itu, lebih mengetahui dibanding penanya.

قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنْ أَمَارَاتِهَا

Lelaki itu berkata: “Lalu beritahu kepadaku tentang tanda-tandanya”.

قَالَ: أَنْ تَلِدَ الْأَمَةُ رَبَّتَهَا وَ أَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي الْبُنْيَانِ

Nabi bersabda: “Seorang budak perempuan akan melahirkan tuannya, dan engkau akan melihat orang-orang yang bertelanjang kaki lagi bertelanjang tubuh, yang miskin, yaitu para penggembala kambing, mereka bermegah-megahan dalam hal bangunan gedung-gedung”.

ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثَ مَلِيًّا

Kemudian lelaki itu bertolak pergi, lalu Nabi s.a.w. terdiam beberapa saat lamanya.

ثُمَّ قَالَ: يَا عُمَرُ أَتَدْرِيْ مَنِ السَّائِلُ؟

Kemudian beliau bersabda: “Wahai ‘Umar, tahukah engkau siapa yang bertanya tadi?

قُلْتُ: اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ

Aku [Sayyidinā ‘Umar] berkata: “Allah dan Rasūl-Nya lebih mengetahui”.

قَالَ: فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ” رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

Nabi bersabda: “Sesungguhnya lelaki itu adalah Jibrīl, ia datang kepada kalian untuk mengajarkan kalian tentang agama kalian. Hadits diriwayatkan oleh Imam Muslim. (KS-661).

قَوْلُهُ: “وَ وَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ”

Ucapan Sayyidinā ‘Umar: “dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua paha Nabi s.a.w.”,

أَيْ وَضَعَ الرَّجُلُ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ فَعَلَ ذلِكَ لِلْاِسْتِئْنَاسِ بِاعْتِبَارِ مَا بَيْنَهُمَا مِنَ الْأُنْسِ فِي الْأَصْلِ حِيْنَ يَأْتِيْهِ بِالْوَحْيِ

Maksudnya adalah lelaki itu meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua paha Nabi s.a.w., dan hal itu dilakukannya karena mengupayakan kenyamanan dengan pertimbangan perkara di antara keduanya, [keharusan] memberi kenyamanan pada pokok [situasinya] ketika Jibrīl datang kepada Nabi s.a.w. dengan membawa wahyu.

وَ قَدْ جَاءَ مُصَرِّحًا بِهذَا فِيْ رِوَايَةِ النَّسَائِيِّ مِنْ حَدِيْثِ أَبِيْ هُرَيْرَةَ وَ أَبِيْ ذَرٍّ حَيْثُ قَالَ: وَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ.

Dan sungguh telah datang [hadits] sebagai penjelas dalam persoalan ini dalam riwayat Imām an-Nasā’ī dari hadits Sayyidinā Abū Hurairah dan Sayyidinā Abū Dzarr, di mana beliau berkata: “Lelaki itu meletakkan tangannya di atas dua paha Nabi s.a.w.”. (KS-672).

قَوْلُهُ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الْإِحْسَانِ، يَعْنِيْ بِهِ الْإِخْلَاصَ

Ucapan malaikat Jibrīl: “Lalu beritahu kepadaku tentang Iḥsān”, yang dimaksud dengannya adalah Ikhlāsh.

وَ يَجُوْزُ أَنْ يُعْنَى بِهِ إِجَادَةُ الْعَمَلِ

Dan boleh yang dimaksud dengannya adalah mengerjakan dengan baik dan seksama suatu ‘amal.

وَ هذَا التَّفْسِيْرُ أَخَصُّ مِنَ الْأَوَّلِ.

Dan penjelasan ini lebih khusus dibandingkan yang pertama [tadi].

قَوْلُهُ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ،

Sabda Nabi s.a.w.: “Hendaknya engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, maka jika engkau tidak dapat melihat-Nya, niscaya Allah senantiasa melihatmu”,

هذَا مِنْ جَوَامِعِ كَلَامِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ لِأَنَّهُ شَمِلَ مَقَامَ الْمُشَاهَدَةِ وَ مَقَامَ الْمُرَاقَبَةِ.

Ini termasuk sabda Nabi yang ringkas namun sarat makna, karena sesungguhnya sabda beliau itu mencakup kepada tingkatan Musyāhadah dan tingkatan Murāqabah.

بَيَانُ ذلِكَ وَ إِيْضَاحُهُ أَنَّ لِلْعَبْدِ فِيْ عِبَادَتِهِ ثَلَاثَةُ مَقَامَاتِ:

Penjelasan iḥsān itu dan penguraian keterangannya bahwasanya bagi seorang hamba dalam ibadahnya memiliki tiga tingkatan.

الْأَوَّلُ أَنْ يَفْعَلَهَا عَلَى الْوَجْهِ الَّذِيْ يَسْقُطُ مَعَهُ طَلَبُ الشَّرْعِ بِأَنْ تَكُوْنَ مُسْتَوْفِيَةً لِلشُّرُوْطِ وَ الْأَرْكَانِ.

Yang pertama adalah ia mengerjakan ibadah itu dengan cara yang dapat menggugurkan tuntutan syariat bersamanya, dengan keadaannya sebagai ibadah yang telah memenuhi kepada berbagai syarat dan rukun-rukun.

الثَّانِيْ: أَنْ يَفْعَلَهَا كَذلِكَ وَ قَدِ اسْتَغْرَقَ فِيْ بَحْرِ الْمُكَاشَفَةِ حَتَّى كَأَنَّهُ يَرَى اللهَ تَعَالَى

Yang kedua adalah ia mengerjakan ibadah seperti itu, namun sungguh ia menenggelamkan diri di lautan mukāsyafah, sehingga seakan-akan ia dapat melihat Allah ta‘ālā.

وَ هذَا مَقَامُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَمَا قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: “وَ جُعِلَتْ قُرَّةَ عَيْنِيْ فِي الصَّلَاةِ”

Dan ini merupakan tingkatan Nabi s.a.w., sebagaimana sabda beliau s.a.w. (KS-683): “Dan dijadikan kesejukan hatiku di dalam shalat.

الثَّالِثُ: أَنْ يَفْعَلَهَا كَذلِكَ وَ قَدْ غَلَبَ عَلَيْهِ أَنَّ اللهَ تَعَالَى يُشَاهِدُهُ وَ هذَا هُوَ مَقَامُ الْمُرَاقَبَةِ.

Yang ketiga adalah ia mengerjakan ibadah, seperti itu, dan sungguh telah menguasai atas dirinya, bahwa Allah ta‘ālā menyaksikan dirinya, dan ini merupakan tingkatan Murāqabah [merasakan dalam pengawasan Allah].

فَقَوْلُهُ: فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ، نُزُوْلٌ عَنْ مَقَامِ الْمُكَاشَفَةِ إِلَى مَقَامِ الْمُرَاقَبَةِ

Adapun sabda Nabi s.a.w. “maka jika engkau tidak dapat melihat-Nya” adalah derajat dari tingkatan mukāsyafah ke tingkatan murāqabah.

أَيْ إِنْ لَمْ تَعْبُدْهُ وَ أَنْتَ مِنْ أَهْلِ الرُّؤْيَةِ فَاعْبُدْهُ وَ أَنْتَ بِحَيْثُ تَعْتَقِدُ أَنَّهُ يَرَاكَ

Maksudnya adalah jika engkau tidak [mampu] menyembah Allah dalam keadaan dirimu termasuk ahli melihat [mukāsyafah], maka sembahlah Dia dalam kondisi dirimu sekiranya engkau berkeyakinan bahwa Allah melihatmu.

فَكُلٌّ مِنَ الْمَقَامَاتِ الثَّلَاثَةِ إِحْسَانٌ إِلَّا أَنَّ الْإِحْسَانَ الَّذِيْ هُوَ شَرْطٌ فِيْ صِحَّةِ الْعِبَادَةِ إِنَّمَا هُوَ الْأَوَّلُ

Maka masing-masing dari tiga tingkatan tersebut merupakan iḥsān, hanya saja bahwa iḥsān yang merupakan syarat dalam keabsahan suatu ibadah, sesungguhnya hanyalah merupakan tingkatan awal.

لِأَنَّ الْإِحْسَانَ الَّذِيْ هُوَ فِي الْأَخِيْرِيْنَ مِنْ صِفَةِ الْخَوَاصِّ وَ يُتَعَذَّرُ مِنْ كَثِيْرٍ.

Karena sesungguhnya iḥsān yang ada di dua tingkatan yang disebut belakangan itu tergolong sifat orang-orang khusus [istimewa], dan dirasakan sulit bagi kebanyakan orang [awam].

Catatan:

 


  1. KS-66. Terdapat di Shaḥīḥ Muslim, hadtis ke 9 (Kitāb al-Īmān), dari ‘Umar bin Khaththāb. Terdapat di Sunan Tirmidzī, hadits ke 2619 (Kitāb al-Īmāni ‘an Rasūlillāh, Bab mā jā’a fī washfi Jibrīla lin-Nabiyyi s.a.w. al-Īmāna wal-Islām), dari ‘Umar bin Khaththāb. Terdapat di Sunan Nasā’ī, hadits ke 5000 (Kitāb al-Īmāni wa syarā’iḥi, Bab na‘t-il-Islām), dari ‘Umar bin Khaththāb. Terdapat di Sunan Abī Dāūd, hadits ke 4695 (Kitāb as-Sunnah, Bab fī Qadar), dari ‘Umar bin Khaththāb. Terdapat di Sunan Ibni Mājah, hadits ke 63 (al-Muqaddimah, Bab fil-Īmān), dari ‘Umar bin Khaththāb. Terdapat di Musnad Aḥmad, hadits ke 346 [dari ‘Umar bin Khaththāb] 
  2. KS-67. Terdapat di dalam Sunan Nasā’ī, hadits ke 5001 (Kitāb al-Īmāni wa syarā’iḥi, Bab shifat-il-Īmāni wal-Islām), dari Abū Hurairah dan Abū Dzarr. 
  3. KS-68. Terdapat di dalam Sunan Nasā’ī, hadits ke 3946 (Kitāb ‘isyrat-in-Nisā’, Bab ḥubb-in-Nisā’), dari Anas bin Mālik. Terdapat di dalam Musnad Aḥmad, hadits ke 13526 [dari Anas bin Mālik.]. Terdapat di dalam Iḥyā’ ‘Ulūmiddīn, Juz III, halaman 57, baris ke 3. Terdapat di kitab al-Jāmi‘-ush-Shaghīr, Juz I, huruf jīm, halaman 144, baris ke 9, HR. Thabrānī [dari al-Mughīrah], dan di huruf ḥā’, hal. 146, baris ke 23-24, HR. Aḥmad, Nasā’ī, Ḥākim dan Baihaqī [dari Anas]. 

1 Komentar

  1. Silma SY berkata:

    Alhamdulillah, Syukron ustadz..

Tinggalkan Balasan ke Silma SY Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *