Ismā‘īl sudah semakin besar, dan kemudian ia kawin dengan gadis kabilah Jurhum. Ia dengan istrinya tinggal bersama-sama keluarga Jurhum yang lain. Di tempat itu rumah suci sudah dibangun, yang kemudian berdiri pula Makkah sekitar tempat itu.
Juga disebutkan bahwa pada suatu hari Ibrāhīm minta ijin kepada Sārah akan mengunjungi Ismā‘īl dan ibunya. Permintaan ini disetujui dan ia pergi. Setelah ia mencari dan menemui rumah Ismā‘īl ia bertanya kepada istrinya: “Mana suamimu?”
“Ia sedang berburu untuk hidup kami,” jawabnya.
Kemudian ditanya lagi, dapatkah ia menjamu makanan atau minuman, dijawab bahwa dia tidak mempunyai apa-apa untuk dihidangkan.
Ibrāhīm pergi, setelah mengatakan: “Kalau suamimu datang sampaikan salamku dan katakan kepadanya: “Ganti ambang pintumu”.”
Setelah pesan ayahnya itu kemudian disampaikan kepada Ismā‘īl, ia segera menceraikan istrinya, dan kemudian kawin lagi dengan wanita Jurhum lainnya, putri Mudzadz bin ‘Amr. Wanita ini telah menyambut Ibrāhīm dengan baik setelah beberapa waktu kemudian ia pernah datang. “Sekarang ambang pintu rumahmu sudah kuat.” (kata Ibrāhīm).
Dari perkawinan ini Ismā‘īl mempunyai duabelas orang anak, dan mereka inilah yang menjadi cikal-bakal ‘Arab al-Musta‘ribah, yakni orang-orang ‘Arab yang bertemu dari pihak ibu pada Jurhum dengan ‘Arab al-‘Āribah keturunan Ya‘rub ibn Qaḥthān. Sedang ayah mereka, Ismā‘īl anak Ibrāhīm, dari pihak ibunya erat sekali bertalian dengan Mesir, dan dari pihak bapak dengan ‘Irāq (Mesopotamia) dan Palestina, atau kemana saja Ibrāhīm menginjakkan kaki.