2-5 Definisi Sifat – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

TERJEMAH TAUHID

سَبِيْلُ الْعَبِيْدِ عَلَى جَوْهَرَةِ التَّوْحِيْدِ
Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah
Penerbit: Sahifa Publishing

Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

Definisi Sifat

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

…..ثُمَّ صِفَاتُ الذَّاتِ لَيْسَتْ بِغَيْرٍ أَوْ بِعَيْنِ الذَّاتِ

“……. Kemudian sifat-sifat dzāt itu bukan lain dari dzāt atau ‘ain-udz-dzāt.”

Sesungguhnya sifat dzāt bukanlah selain dzāt. Maksudnya, sifat tidak lepas dari dzāt, tapi bukan ‘ain-udz-dzāt (dzāt itu sendiri). Ringkasnya, sifat dan dzāt bukanlah sesuatu yang tunggal.

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī menjelaskan bahwa sifat dari suatu dzāt, seperti sifat wujūd atau sifat qudrah, itu tidak terpisah dari dzāt tapi bukan ‘ain-udz-dzāt. Pada hakikatnya, dzāt bukanlah sifat atau dzāt tidak sama dengan sifat. Seperti halnya warna putih bukanlah kertas, dan kertas bukanlah warna putih, tetapi warna putih tidak terlepas dari kertas. Pahamilah ini!.

Jadi, sifat suatu dzāt tidak terpisah dari dzāt, tapi bukan ‘ain-udz-dzāt (dzāt itu sendiri), karenanya sifat bukanlah dzāt dan dzāt bukanlah sifat, tapi sifat tidak terpisah dari dzāt.

Karena sifat tidak terpisah dari dzāt, untuk menjelaskan hal ini para ‘ulamā’ berkata:

تَوَاضُعُ كُلِّ شَيْءٍ لِقُدْرَتِهِ أَيْ لِذَاتِهِ لِأَجْلِ قُدْرَتِهِ.

Segala sesuatu menjadi tawādhu‘ karena Dzāt Allah, maksudnya sebab sifat qudrah Allah.

Karena setiap sifat tidak terpisahkan dari dzāt, maka para ‘ulamā’ mengatakan “li qudratihī” bukan “li dzātihī”. Seseorang yang beribadah, menyembah sifat Allah saja, tanpa Dzāt-Nya, maka hukumnya kufur, sedangkan orang yang menyembah Dzāt Allah saja, tanpa sifat-Nya maka hukumnya fasik. Inilah makna ucapan sebagian ‘ulamā’:

مَنْ عَبِدَ الْأَسْمَاءَ دُوْنَ الْمَعْنَى فَقَدْ كَفَرَ، وَ مَنْ عَبِدَ الْمَعْنَى دُوْنَ الْأَسْمَاءِ فَهُوَ زِنْدِيْقٌ، وَ مَنْ عَبِدَهُمَا فَقَدْ أَشْرَكَ، فَالْمُسْتَقِيْمُ عِبَادَةُ الذَّاتِ الْمُتَّصِفَةِ بِالصَّفَةِ.

Barang siapa menyembah sifat, terpisah dari dzāt (tidak menyembah dzāt) maka dia benar-benar telah kufur. Barang siapa menyembah dzāt, tanpa sifat, maka dia berhukum kafir zindiq (sebagian ‘ulamā’ mengatakan fasik). Dan, barang siapa menyembah keduanya (dzāt dan sifat secara terpisah) maka dia benar-benar telah menyekutukan Allah. Maka orang yang berada di jalan yang lurus adalah orang yang menyembah Dzāt yang memiliki sifat.

Perkataan Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī dalam hal bait ini menolak pandangan orang-orang Mu‘tazilah yang mengingkari adanya sifat-sifat ma‘ānī. Mereka meniadakan sifat-sifat ma‘ānī agar tidak ada dua hal qidām (dahulu) yang sama, semisal qudrah dan qādirun maka akan bertumpuk dua hal yang sama. Pendapat Mu‘tazilah ini ditolak dengan bait di atas. Pahamilah ini!

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *