2-31 Tawajjuh Kelompok Wushul & Salik – Ulasan Syaikh Ahmad Zarruq

AL-ḤIKAM
IBN ‘ATHĀ’ILLĀH
(Diterjemahkan dari: Ḥikamu Ibni ‘Athā’illāh: Syarḥ-ul-‘Ārif bi Allāh Syaikh Zarrūq)

Ulasan al-‘Arif Billah
Syekh Ahmad Zarruq

Penerjemah: Fauzi Bahreisy dan Dedi Riyadi
Penerbit: Qalam (PT Serambi Semesta Distribusi).

31. اِهْتَدَى الرَّاحِلُوْنَ إِلَيْهِ بِأَنْوَارِ التَّوَجُّهِ وَ الْوَاصِلُوْنَ لَهُمْ أَنْوَارُ الْمُوَاجَهَةِ ……

Orang yang berangkat menuju Tuhan mendapatkan petunjuk melalui cahaya tawajjuh (menghadap), sementara orang yang telah sampai kepada-Nya memiliki cahaya muwājahah (saling berhadapan).”

Cahaya tawajjuh meliputi ‘amal dan mu‘āmalah, sedangkan cahaya muwājahah meliputi segala hal yang datang dari hakikat wushūl, ketika hamba telah sampai kepada-Nya. Tanda-tanda lahiriah kelompok pertama ada tiga, yaitu mencari petunjuk untuk sampai, menjadikan ‘amal sebagai wasīlah, dan mengaitkan diri untuk mendekat. Sementara, tanda-tanda kelompok kedua ada tiga: mendapatkan taufiq sebagai petunjuk, ilham sebagai pertolongan, dan realisasi kewalian (Barang siapa yang Allah tidak menjadikan untuknya cahaya maka ia tidak mendapatkan cahaya.” (511).

Makna perjalanan bagi kelompok ini adalah perpindahan dari realitas indrawi dan imajinasi dengan cara mengosongkan diri dari dugaan, prasangka, kesesatan. Sementara, makna wushūl bagi kelompok kedua adalah menyatanya (taḥaqquq) ilmu dan yakin, dan kokohnya hamba di wilayah ma‘rifat. Masing-masing kelompok ini memiliki aḥwāl, hakikat, hukum, martabat, dan kekhususan, sebagaimana diungkapkan

 

31. فَالْأَوَّلُوْنَ لِلْأَنْوَارِ وَ هؤُلَاءِ الْأَنْوَارُ لَهُمْ ……

Golongan pertama adalah milik cahaya, sedangkan golongan kedua memiliki cahaya.”

Golongan pertama dimiliki cahaya. Mereka menjadi budak dan milik cahaya, karena mereka menjadikan cahaya sebagai perhatian utama; cahaya menjadi sandaran yang paling kuat sehingga mereka tak mampu berpisah darinya. Jika berpisah, mereka berduka dan berputus-asa dari hasrat dan tujuan karena mereka terpisah dari sandaran dalam upaya mencapai maksud. Sementara, bagi kalangan ahli wushūl, cahaya adalah milik mereka. Cahaya adalah budak mereka yang tunduk, patuh, dan selalu mengikuti mereka meskipun di antara mereka tidak terpisahkan. Penulis syaraḥ Maḥāsin-ul-Majālis mengatakan: “Kalangan ‘ārif tegak berdiri bersama Allah, sehingga Dia mengambil alih segala urusan mereka. Setiap waktu mereka menunjukkan ketaatan dan tidak pernah berharap balasan. Sebab, dalam pandangan mereka, semua kebaikan itu bukan mereka yang mengerjakan. Jika muncul dari mereka keburukan maka diyat-nya dibebankan kepada pelaku. Mereka tidak menyaksikan apa pun selain Dia baik dalam keadaan sempit maupun lapang. Mereka tegak berdiri bersama Allah, pandangan mereka tertuju kepada-Nya. Rasa takut adalah kegembiraan mereka dan harapan adalah keagungan mereka.”

Ungkapan: “Diyat-nya dibebankan kepada si pembunuh” mengandung arti bahwa yang menentukan hukuman adalah juga Dia yang memberikan balasan kebaikan. Jika Dia berkehendak, Dia akan menyiksa dan jika Dia berkehendak, Dia akan mengampuni. Sebab, tidak ada beban di permulaan. Pahamilah. Kemudian Ibnu ‘Athā’illāh r.a. menyebutkan ‘illat keadaan wushūl:

 

31. لِأَنَّهُمْ للهِ لَا لِشَيْءٍ دُوْنَهُ: (قُلِ اللهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِيْ خَوْضِهِمْ يَلْعَبُوْنَ)

Karena mereka adalah milik Allah, bukan milik sesuatu selain Allah.” Katakanlah: “Allah-lah (yang menurunkannya), kemudian (sesudah kau menyampaikan al-Qur’ān kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya”.”

Maksudnya, mereka selalu bersama Allah, tidak bersama apa pun selain Dia. Tidak pernah sekalipun mereka berpaling dari-Nya baik dalam menemu maupun kehilangan, baik dalam ketaatan maupun kemaksiatan. Jika ada kebaikan atau keburukan pada mereka maka itu tidak dimunculkan oleh nafsu mereka sendiri. Kehendak mereka adalah ridha Allah, sebagaimana dikatakan penyair:

Mereka adalah laki-laki dan celakalah
Laki-laki tetapi tidak bersifat laki-laki.

Kemudian Ibnu ‘Athā’illāh r.a. menyebutkan ayat yang menghimpun hakikat mereka dari sisi pencarian terhadap dalil untuk menegaskan maqām mereka: “Katakanlah: “Allahlah (yang menurunkannya)”, kemudian sesudah kau menyampaikan al-Qur’ān kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.” (522) Kesesuaian ayat ini dengan tema yang dibahas di sini tidak akan tuntas dijelaskan di sini. Sesungguhnya ayat ini bukanlah jawaban terhadap ayat sebelumnya, yaitu firman-Nya: “Katakanlah, siapa yang menurunkan al-Kitāb yang Mūsā datang dengannya.” Bagi kalangan yang mendapat petunjuk, ayat itu bermakna: cukuplah Allah bagiku. Sungguh aku merasa cukup sehingga tak membutuhkan apa pun selain Dia. Makna ini sangat jelas didapatkan dalam ayat-ayat yang lain. Kemudian, farsa dzarr hum mengandung arti “tinggalkan mereka bermain-main dalam kesesatan mereka.” Atau, dengan kata lain, biarkan mereka menyibukkan diri dengan segala yang tidak penting dan tidak berhakikat. Sebab, permainan adalah kesibukan yang tidak berhakikat. Bahkan, seluruh maujūd atau ciptaan sesungguhnya tidak memiliki hakikat apa-apa. Benarlah ungkapan Lubaid (533) dalam syairnya:

Sungguh, segala selain Allah adalah batil.

Batil dalam syair itu berarti tidak mengandung hakikat dan bukan sesuatu yang benar-benar ada. Pada bagian berikutnya Ibnu ‘Athā’illāh r.a. akan menjelaskan ini secara lebih gamblang.

 

Tambahan: ruang ma‘rifat adalah penyucian jiwa dan pemurniannya dari segala aib. Barang siapa yang menghendaki ma‘rifat, ia harus menempuh tahapan dan proses ini, sesuai dengan firman Allah: “Dan orang-orang yang berjuang menuju Kami, sungguh Kami akan menunjukkan mereka kepada jalan-jalan (kepada) Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang baik.” (544) Maka, jangan sekali pun kau berpaling dari Allah dan menyibukkan dirimu dengan apa pun selain Dia. Bahkan, jangan sibukkan dirimu dengan memohon ma‘rifat. Alih-alih, sibukkan dirimu untuk membersihkan diri dari keburukan dan cacat. Penjelasan ini menjadi pembuka dan pengantar bagi pembahasan berikutnya pada Bab Ketiga.

Catatan:

  1. 51). QS. an-Nūr [24]: 40.
  2. 52). QS. al-An‘ām [6]: 91.
  3. 53). Lubaid ibn Rabī‘ah ibn Mālik al-Amīrā, penyair dari Ḥadhramī yang hidup di masa Jāhiliyyah dan kemudian masuk Islam. Ia wafat pada 41 H/661 M.
  4. 54). QS. al-‘Ankabūt [29]: 69.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *