Huruf kedua dari isim mutlak ini adalah: Lām Pertama. Ia ‘ibārat al-Jalāl (keperkasaan), karenanya huruf Lām dikaitkan dengan Alif, sebab al-Jalāl, merupakan manifestasi tertinggi dari manifestasi inti (dzāt)-Nya, tajalliy-ul-Jalāl lebih dahulu dibandingkan tajalliy-ul-Jamāl (keindahan). Dalam sebuah hadits Rasūl s.a.w. bersabda: “Keperkasaan adalah sarungku, keindahan adalah sorbanku.” Tidak ada yang lebih dekat menyentuh tubuh seorang laki-laki selain sarung dan sorban, dengan demikian dapat dikongklusikan bahwa sifat al-Jalāl (keperkasaan) lebih dahulu, dibandingkan sifat al-Jamāl (keindahan). Realita tersebut pararel dengan firman al-Ḥaqq dalam hadits Qudsī: “RahmatKu, mendahului kemarahanKu.” Rahmat-Nya melahirkan bion-bion keindahan-keindahanNya yang bersifat Kullī (universal) dalam Maujūdāt (segala wujud), ia laksana kesatuan dari yang banyak di alam dan isinya alam ini. Ketahuilah bahwa sifat al-Wāḥidiyah al-Jamāliyah (Kehindahan Tunggal), jika kesempurnaannya mumpuni atau mendekati kesempurnaan maka ia dinamakan al-Jalāl (keperkasaan), karena adanya dominasi penampakan kekuasaan al-Jamāl (keindahan). Maka inti pemahaman rahmat dari keindahan universal berikut muara rahmat sejatinya adalah al-Jalāl (keperkasaan).
Huruf ketiga dari isim mutlak ini adalah: Lām Kedua. Ia ‘ibārat Jamāl-ul-Mutlaq (keindahan absolut) yang terlanskapkan dalam pemandangan (tampilan) manifestasi al-Ḥaqq di segala wujud. Semua sifat-sifat keindahan bermuara pada dua sifat, yaitu al-‘Ilm (ilmu pengetahuan) dan al-Luthfu (kelembutan). Seperti halnya semua sifat al-Jalāl (keperkasaan) bermuara pada dua sifat yaitu al-‘Azhmah (keagungan) dan al-Iqtidār (kekuasaan) yang merupakan akhir daripada dua sifat pertama (ilmu dan kelembutan), keduanya laksana satu sifat. Sebagian para ‘ārif menandaskan: “Sesungguhnya keindahan yang tertampakkan pada makhluk, sejatinya ia adalah keperkasaan, dan esensi keperkasaan adalah inti keindahan, satu sama lain (keindahan dan keperkasaan) saling terkait laksana satu sifat, meski pada realitanya dua sifat. Tajallī kedua sifat tersebut laksana fajar, pada awal terbitnya matahari hingga terbenamnya. Maka nisbat al-Jamāl (keindahan) adalah nisbat fajar matahari sedang nisbat al-Jalāl (keperkasaan) adalah nisbat Isyrāq (terbit) nya matahari, terbit itu bermula dari fajar dan fajar itu bermula dari terbit, itulah esensi makna Jamāl-ul-Jalāl (keindahan keperkasaan) dan Jalāl-ul-Jamāl (keperkasaan keindahan). Huruf Lām merupakan isyārat daripada dua penampakan (terbit dan terbenam), namun demikian kedudukan (martabat) nya berbeda-beda sejalan dengan hamparan strata yang ada pada huruf Lām, Alif, Mīm, tingkatan-tingkatan itu berjumlah 71 strata, itulah sejatinya jumlah al-Ḥijāb (tirai penghalang) yang dihamparkan al-Ḥaqq di antara diri-Nya dan hamba-Nya. Rasūl Muḥammad s.a.w. menegaskan dalam sebuah hadits: “Sesungguhnya bagi Allah kurang lebih tujuh puluh hijab dari cahaya.” Di antaranya al-Jamāl (keindahan), al-Zhulmah (kegelapan), al-Jalāl (keperkasaan), andai di-Kasyf-kan akan menghanguskan pujian-pujian wajah-Nya, namun tidak akan pernah berakhir penglihatan-Nya: “Yakni insan-insan yang telah Wishāl (sampai) ke tingkat spiritual tersebut, inti (dzāt)-nya lenyap tak berbekas, yang oleh komunitas Sufi dinamakan al-Maḥaqu was-Saḥaq (lenyap dan lebur). Setiap jumlah masing-masing huruf merupakan isyarat kedudukan (martabat) hijab yang ditebarkan al-Ḥaqq di antara para hamba-Nya. Masing-masing tingkatan hijab memiliki seribu wajah hijab, di antara wajah hijab itu adalah al-‘Izzah (kemuliaan), ia merupakan awal hijab yang melingkupi hidup dan kehidupan setiap insān di alam dan isinya alam ini, hijab kemuliaan ini memiliki seribu wajah yang setiap wajah memiliki ragam hijab, demikian pula dengan hijab-hijab yang ada dihuruf-huruf yang lain. Kita cukupkan contoh hijab itu sampai di sini saja karena jika dipaparkan memerlukan berjilid-jilid keterangan.
Huruf keempat dari isim mutlak ini adalah: Alif yang tidak tersurat dalam tulisan (alif yang tersembunyi), akan tetapi dalam pelafazhan. Ia merupakan Alif al-Kamāl (kesempurnaan) yang tidak berakhiran dan tidak berujung tujuannya, tidak berujungnya tujuan itu merupakan isyarat kejatuhannya dalam khath (kaligrafi) tulisan. Sebab sesuatu yang jatuh dan tersembunyi tidak akan pernah dapat dilihat oleh mata dan tidak meninggalkan bekas (pengaruh) keeksisannya dalam lafazh, yang demikian itu merupakan isyarat akan hakekat wujud jiwa sempurna dalam inti (dzāt) al-Ḥaqq jalla jalālah. Kesempurnaan seperti itu senantiasa tampak dalam diri para ahli ketuhanan (para ‘ārif billāh) dan terus tumbuh berkembang dalam bingkai al-Jamāl (keindahan), apa yang ada dalam diri mereka pararel dengan realitas wujud al-Ḥaqq yang senantiasa bertajallī dalam ragam manifestasi. Setiap tajallī-Nya tumbuh dan berkembang dalam ke-Mahasempurna-an Diri-Nya. Keindahan yang ada pada diri ahli ketuhanan akan bermuara kepada keindahan al-Ḥaqq, atas dasar itulah para ahli hakikat menandaskan: “Segenap alam tumbuh dan berkembang pada tiap-tiap jiwa, karena jiwa merupakan tapak Tajalliyāt (manifestasi-manifestasi) al-Ḥaqq dan tajallī tersebut tidak statis melainkan terus berkembang, semantis logikanya alam juga selalu dalam Taraqqiy (pertumbuhan). Dengan demikian anda bisa saja mengatakan manifestasi ketuhanan itu selalu berkembang sejalan dengan perkembangan makhluk-Nya, analogi seperti juga bisa dinisbatkan ke alam ketuhanan, sedang al-Ḥaqq mustahil disifati seperti itu karena Dia adalah Tuhan Maha Sempurna, Dia tidak disifati dengan kekurangan dan penambahan, lebih dari itu al-Ḥaqq tidak disifati dengan sifat-sifat alam dan isinya alam.
Huruf kelima dari isim mutlak adalah: Hā’. Ia merupakan isyārat dari Hawiyah (ke-Dia-an) al-Ḥaqq, yang sejatinya adalah inti (Dzāt) manusia. Al-Ḥaqq berfirman: “(Katakanlah) wahai Muḥammad, (Dia) yakni manusia. (Allah Yang Esa Esa). Maka huruf Hā’ merupakan isyārat (Huwa) – Dia- yang kembali kepada subjek (pelaku) (Qul-katakanlah- yang sejatinya adalah Engkau. Jika tidak demikian maka tidak diperbolehkan mengembalikan dhamīr (kata ganti) kepada sesuatu yang tidak disebutkan. Kontek pembicaraan dalam ayat ini difokuskan pada sesuatu yang ghaib (tidak ada) dengan disertai keterangan isyārat bahwa kontek pembicaraannya juga tidak menafikan jiwa yang ḥādhir (tidak ghaib), bahkan muatan pembicaraan tersebut mencakup ghaib dan ḥādhir. Al-Ḥaqq berfirman: “Dan jika kamu, (wahai Muḥammad) melihat ketika mereka dihadapkan.” Q.S. al-An’ām 6:27, maksudnya adalah bukan Muḥammad s.a.w. seorang akan tetapi setiap orang yang melihat. Huruf Hā’ berbentuk bulat melingkar merupakan isyārat rotasi (pergerakan) ruh wujūd-Nya yang diciptakan atas diri manusia. Ia di alam permisalan (Amtsāl) laksana lingkaran yang melahirkan isyārat, anda bisa berkata lingkaran huruf itu al-Ḥaqq, sedang lubang yang ada di huruf itu makhluk, juga sebaliknya lingkaran itu makhluk sedang lubangnya adalah al-Ḥaqq, huruf itu bisa mengisyaratkan al-Ḥaqq bisa pula mengisyaratkan makhluk. Anda juga bisa mengatakan amar perintah-Nya lahir dari ilham atau bersitan hati, atau bahkan wahyu. Ketahuilah esensi amar (perintah) ketuhanan yang ditujukan kepada setiap insān beredar di antara eksistensi diri-Nya, yakni di antara kerendahan dan kedha‘ifan (kelemahan) ‘ubūdiyyah sang hamba dengan pencitraan ar-Raḥmān dalam diri hamba tersebut, yang dengan itu manusia memiliki kemuliaan dan kesempurnaan. Al-Ḥaqq berfirman: “Allah. Dia-lah pelindung hakiki.” Q.S. asy-Syūrā 42:9, yakni pelindung sejati manusia sempurna yang citranya diwartakan al-Ḥaqq dalam firman-Nya: “Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” Q.S. Yūnus 10:62. Sebab adalah mustahil insān yang telah menggapai maqām Insān Kāmil, syakilah hati dan jiwanya memiliki rasa takut dan sedih. Al-Ḥaqq adalah icon kewalian utama, karena Dia adalah al-Waliy-ul-Ḥamīd (Maha Pelindung lagi Maha Terpuji). “Dia menghidupkan orang-orang yang mati, dan Dia adalah Maka Kuasa atas segala sesuatu.” Q.S. asy-Syūrā 42:9. Maka sejatinya (walī) itu adalah (al-Ḥaqq) yang termanifestasikan dalam berbagai citra kemakhlukan atau makhluk yang mampu memakrifahi kesejatian makna-makna ketuhanan. Etos kewalian itu juga merupakan tajalliy-ul-Ḥaqq yang termanifestasikan dalam diri tiap insān, ke-Dia-an al-Ḥaqq merupakan pengumpul di antara sifat Kamāl dan kebalikannya yaitu an-Naqsh (kekurangan). Ke-Dia-an-Nya terlanskapkan dalam bumi dan langit, panjang dan pendek dan seterusnya seperti yang terhampar dalam samudera sifat-sifatNya.