Terkadang Allah memberikan sebuah pemberian terhadap hamba-Nya atas Nama-Nya Yang Maha Pengasih (ar-Raḥmān), di mana kasus pemberian ini bebas dari semua yang bertentangan dengan hakikat hamba ketika itu, atau segala sesuatu yang bisa menjatuhkannya. Terkadang Allah memberikan atas Nama Yang Maha Meliputi (al-Wāsi‘), sehingga pengaruhnya bersifat universal. Sementara pada waktu lain, Dia memberikan atas nama Yang Maha Bijaksana (al-Ḥakīm), untuk memberikan pelayanan terbaiknya terhadap hamba-Nya. Dia bisa memberikan atas Nama Yang Maha Memberi (al-Wahhāb), di mana Dia memberikan sebagai sebuah karunia yang tidak diminta, sehingga penerima tidak wajib untuk menyatakan syukur, atau melakukan pekerjaan agar layak mendapat karunia. Dia memberikan atas Nama Yang Maha Perkasa (al-Jabbār), di mana dengan hal ini, tindakan-Nya sesuai dengan kebutuhan situasi. Dia memberikan atas Nama Yang Maha Pengampun (al-Ghaffār), di mana Dia mempertimbangkan situasi atau keadaan sesuai dengan waktunya. Jika hukuman pantas diberikan, maka di bawah Nama itu, Dia akan melindungi hamba-Nya dari-Nya, dan jika hukuman tidak layak, Dia melindungi dari keadaan yang mendatangkan hukuman.
Dengan cara ini, hamba-hamba (para wali) semacam ini dianggap kebal dan terlindungi dari dosa. Pemberi adalah Allah, sebagai Pemelihara perbendaharaan melalui Kebaikan-Nya, yang hanya Dia bagikan sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan melalui Nama yang cocok. “Dia memberikan secara sesuai terhadap semua yang Dia ciptakan”, (121) dengan Nama-Nya Yang Maha Adil (al-‘Adl) dan sifat-sifat yang sama.
Nama-nama Allah tidak terbatas. Sebab, Nama-nama ini dikenal oleh semua yang berasal dari mereka yang terbatas, bahkan, sekalipun nama-nama tersebut berasal dari sejumlah sumber yang telah dikenal, yang merupakan acuan-acuan atau tempat Nama-nama dipakai. Pastinya, hanya ada satu Realitas, yang secara tak terbatas memanifestasi, akan mempunyai realitasnya sendiri, yang dibedakan dari setiap Nama yang lain. Realitas yang berbeda ini adalah esensi dari Nama (Nama itu sendiri), bukan bahwa ia mempunyai kesamaan dengan yang lain. Dengan cara yang sama, setiap pemberian ilahi dibedakan dari setiap yang lain dengan kualitas individualnya sendiri; karena, meskipun semua berasal dari sebuah yang lain. Yang menyebabkannya adalah saling pembedaan di antara Nama-nama, di sana tidak ada repetisi atas Hadirat Ilahi dan semua perluasannya. Hal ini merupakan kebenaran yang tidak bisa diperdebatkan lagi.
Hal semacam ini adalah pengetahuan yang dimiliki oleh Syīts, dan itulah ruhnya yang menggerakkan setiap ruh lain yang mengungkapkan jenis kebenaran ini, kecuali ruh Tanda, karena dasar spiritualnya berasal secara langsung dari Allah, dan bukan dari ruh lain. Lebih jauh, ia berasal dari ruh atau Tandanya, sehingga semua ruh lain memperoleh substansinya, kendatipun Tanda itu tidak menyadari fakta sementara dalam tubuh fisik. Dalam hal realitas esensial dan tingkatan spiritualnya, dia mengetahuinya secara esensial, sementara tentang tubuh, dia tidak mengetahuinya. Dia mengetahui sekaligus tidak mengetahui, yang dengan menghubungkan pada dirinya sifat-sifat yang bertentangan, sebagaimana dilakukan Sumber Itu Sendiri, yang menjadi Maha Agung (al-Jalīl) sekaligus Yang Indah (al-Jamīl), Yang Lahir (azh-Zhāhir), Yang Bathin (al-Bāthin), Yang Pertama (al-Awwal) dan Yang Akhir (al-Ākhir), wujud (coincidentia oppositorum) inilah yang menjadi esensi dirinya. Dia mengetahui dan tidak mengetahui, dia sadar dan tidak sadar, dia memahami, dan, namun tidak memahami.
Karena, pengetahuan inilah, Syīts diberi nama demikian, namanya berarti “Pemberian Allah” (Hibah Allāh). Di tangannya terdapat kunci bagi pemberian-pemberian ilahi dalam semua variasi dan hubungannya. Allah menganugerahkan Syits kepada Ādam, sebagai pemberian pertama tak bersyarat, dengan menganugerahkannya sebagai sesuatu yang berasal dari Ādam sendiri, karena anaknya adalah realitas batin ayahnya, dengan mengeluarkan darinya dan kembali kepadanya. Jadi, tidak ada yang asing baginya yang datang sebagai pemberian Allah. Barang siapa yang pemahamannya diilhami oleh Allah, pasti akan mengetahui hal ini.
Sesungguhnya, setiap pemberian di alam nyata ini didasarkan atas bentuknya. Ada yang tiada pada setiap orang dari Allah (sebagai yang lain), dan ada yang tiada pada setiap orang kecuali yang berasal dari dirinya sendiri, betapa pun beragam bentuknya. Meskipun hal ini menjadi kebenaran abadi dari materi ini, tidak seorang pun mengetahuinya secara langsung kecuali beberapa elit wali tertentu. Anda seharusnya menemui salah seorang di antara mereka yang memiliki pengetahuan semacam ini. Anda bisa mempunyai keyakinan yang besar kepada dirinya, karena dia adalah mutiara langka di antara elit masyarakat.
Kapan pun seorang gnostikus menerima intuisi spiritual di mana dia melihat sebuah bentuk yang membawanya pada sebuah pengetahuan spiritual baru dan kehormatan spiritual baru, dia seharusnya mengetahui bahwa bentuk yang direnungkan tidak lain daripada diri essensialnya. Sebab, ia hanya berasal dari pohon dirinya sendiri sehingga dia akan mengumpulkan buah dari pengetahuannya tersebut. Dengan cara yang sama, citranya dalam sebuah permukaan yang digosok adalah sia-sia kecuali dia, meskipun tempat atau taraf di mana dia melihat citranya mempengaruhi perubahan-perubahan tertentu dalam citra yang sesuai dengan realitas intrinsik dari taraf itu. Dengan cara ini, sesuatu yang besar tampak kecil dalam sebuah cermin yang kecil, panjang dalam sebuah cermin yang panjang, dan bergerak dalam sebuah cermin yang bergerak. Ia menghasilkan pembalikan citra ini yang benar-benar persis, kanan mencerminkan kanan – dan kiri mencerminkan kiri. Tetapi, adalah lebih biasa jika dalam cermin sebelah kanan mencerminkan yang kiri. Namun, berbeda dengan hal ini, yang kanan terkadang mencerminkan yang kanan sehingga pembalikan pun terjadi. Semua ini juga terjadi sama dengan mode-mode dan sifat-sifat bidang di mana tajallī ilahi terjadi, yang kita bandingkan pada sebuah cermin.
Siapa pun yang mempunyai pengetahuan dari kecenderungan abadinya, mengetahui pemberian ilahi tentang apa yang akan dia terima, meskipun tidak setiap orang mengetahui apa yang akan dia terima, juga mengetahui kecenderungannya, kecuali setelah dia menerima, meskipun dia mengetahuinya dengan cara umum.
Para teoretisi tertentu yang intelektualnya lemah, yang sepakat bahwa Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya, selanjutnya menyatakan sesuatu tentang Allah, yang berlawanan dengan Hikmah dan kebenaran. Mereka lebih jauh menyangkal kontingensi (al-imkān), sebagaimana juga wujud yang mencukupi-diri (al-wujūbu bidz-dzāti) dan esensial relatif. Orang yang benar-benar mengetahui, menegaskan kontingensi dan mengetahui tarafnya; dia mengetahui apa yang kontingen dan dengan cara apa ia demikian, bahkan dianggap dalam esensinya, ia mencukupi diri dengan keutamaan sesuatu selain dirinya, sebagaimana juga dia mengetahui dengan cara apa sumbernya dianggap sebagai “yang lain”, ketika ia menjadikan dirinya cukup dengan sendirinya. Hanya mereka yang mempunyai pengetahuan khusus tentang Allah-lah yang memahami hal ini secara terperinci.
Akan menjadi ada dalam garis keturunan Syīts bahwasanya manusia sejati terakhir akan lahir, sambil membawa rahasia-rahasianya tentang Hikmah ilahi. Manusia semacam ini tidak akan lahir sesudah dirinya. Dia akan menjadi Tanda Generasi. Di sana, akan hadir dengan dirinya seorang saudara wanita yang lahir sebelumnya, sehingga kepalanya akan menjadi kakinya. Dia akan lahir di dataran Cina dan akan berbicara dengan bahasa daerah tersebut. Kemudian kesucian akan mengatasi para pria dan wanita daerah ini dan, meskipun akan bergaul, tidak akan terlahir seorang anak sebagai manusia sejati. Dia akan menyeru mereka kepada Allah dengan tanpa keberhasilan, dan ketika Allah mengambilnya beserta orang-orang yang beriman di masanya, yang lain tetap hidup laksana binatang buas tanpa mengenal baik dan buruk, digantikan dengan hukum alam yang lebih rendah, intelek dan Syariah Suci menjadi kosong. Zaman Akhir pun akan menyusul mereka.