(فَصْلٌ) فِيْ شُرُوْطِ الصَّلَاةِ.
FASAL TENTANG SYARAT SHALAT
(Bagian 3)
(وَ) ثَانِيْهَا: (جَرِيُّ مَاءٍ عَلَى عُضْوٍ) مَغْسُوْلٍ، فَلَا يَكْفِيْ أَنْ يَمَسَّهُ الْمَاءُ بِلَا جِرْيَانٍ لِأَنَّهُ لَا يُسَمَّى غُسْلًا. (وَ) ثَالِثُهَا: (أَنْ لَا يَكُوْنَ عَلَيْهِ) أَيْ عَلَى الْعُضْوِ (مُغَيَّرٌ لِلْمَاءِ تَغَيُّرًا ضَارًّا) كَزَعْفَرَانٍ وَ صَنْدَلٍ، خِلَافًا لِجَمْعٍ. (وَ) رَابِعُهَا: (أَنْ لَا يَكُوْنَ عَلى الْعُضْوِ حَائِلٌ) بَيْنَ الْمَاءِ وَ الْمَغْسُوْلِ، (كَنُوْرَةٍ) وَ شَمْعٍ وَ دُهْنٍ جَامِدٍ وَ عَيْنِ حُبْرٍ وَ حِنَّاءٍ، بِخِلَافِ دُهْنٍ جَارٍ أَيْ مَائِعٍ – وَ إِنْ لَمْ يَثْبُتِ الْمَاءُ عَلَيْهِ – وَ أَثَرَ حُبْرٍ وَ حِنَّاءٍ. وَ كَذَا يُشْتَرَطُ – عَلَى مَا جَزَمَ بِهِ كَثِيْرُوْنَ – أَنْ لَا يَكُوْنَ وَسَخٌ تَحْتَ ظُفْرٍ يَمْنَعُ وُصُوْلَ الْمَاءِ لِمَا تَحْتَهُ، خِلَافًا لِجَمْعٍ مِنْهُمُ الْغَزَالِيُّ وَ الزَّرْكَشِيُّ وَ غَيْرُهُمَا، وَ أَطَالُوْا فِيْ تَرْجِيْحِهِ وَ صَرَّحُوْا بِالْمُسَامَحَةِ عَمَّا تَحْتَهَا مِنَ الْوَسَخِ دُوْنَ نَحْوِ الْعَجِيْنِ. وَ أَشَارَ الْأَذْرَعِيُّ وَ غَيْرُهُ إِلَى ضَعْفِ مَقَالَتِهِمْ. وَ قَدْ صَرَّحَ فِي التَّتِمَّةِ وَ غَيْرِهَا، بِمَا فِي الرَّوْضَةِ وَ غَيْرِهَا، مِنْ عَدَمِ الْمُسَامَحَةِ بِشَيْءٍ مِمَّا تَحْتَهَا حَيْثُ مَنَعَ وُصُوْلِ الْمَاءِ بِمَحَلِّهِ. وَ أَفْتَى الْبَغَوِيُّ فِيْ وَسَخٍ حَصَلَ مِنْ غُبَارٍ بِأَنَّهُ يَمْنَعُ صِحَّةَ الْوُضُوْءِ، بِخِلَافٍ مَا نَشَأَ مِنْ بَدَنِهِ وَ هُوَ الْعِرْقُ الْمُتَجَمِّدُ. وَ جَزَمَ بِهِ فِي الْأَنْوَارِ.
(Syarat yang kedua dari wudhu’) adalah (mengalirkan air pada anggota yang dibasuh), maka tidak cukup mengusapkan air tanpa mengalirkan (191) karena hal tersebut tidak dinamakan membasuh. (Syarat ketiga dari wudhu’) adalah (pada anggota ketiga dari wudhu’) adalah (pada anggota wudhu’ tidak terdapat sesuatu yang dapat merubah air dengan perubahan yang membahayakan (202)) seperti minyak za‘faran dan kayu cendana, sementara sekelompok ulama’ berpendapat lain. (Syarat yang keempat dari wudhu’) adalah (pada anggota wudhu’ tidak ada penghalang) di antara air dan anggota yang dibasuh (seperti kapur), lilin, minyak yang telah mengeras, dzat tinta dan inai. Berbeda dengan minyak yang cair –walaupun air tidak menetap pada anggota wudlu – dan bekas (213) tinta dan inai. Begitu pula disyaratkan – menurut mayoritas ulama’ – tidak adanya kotoran kuku yang dapat mencegah masuknya air pada bagian di bawah kuku tersebut. Sementara sekelompok ulama’ berpendapat lain, sebagian ulama’ tersebut adalah Imām al-Ghazālī, Imām az-Zarkasyī dan selain keduanya. Mereka bersikukuh memperkuat pendapatnya dan menjelaskan bahwa sesuatu yang berada di bawah kuku yakni dari kotoran bukan sejenis adonan roti merupakan dispensasi (224) (rukhshah). Imām al-Adzra‘ī dan selainnya memberi isyarat atas lemahnya pendapat mereka. Imām Mutawallī dalam kitab Tatimah dan selainnya menjelaskan dengan menggunakan pendapat yang tertuang dalam ar-Raudhah dan selainnya bahwa kotoran yang berada di bawah kuku, jika dapat menghalangi masuknya air ke tempatnya tidaklah mendapatkan dispensasi. Imām al-Baghawī berfatwa bahwa kotoran yang dihasilkan dari debu itu dapat menghalangi sahnya wudhu’, berbeda dengan keringat yang mengeras yang muncul dari tubuhnya sendiri dan Imām Yūsuf telah mengambil keputusan dalam kitab al-Anwār-nya sesuai dengan hal tersebut.
(وَ) خَامِسُهَا: (دُخُوْلُ وَقْتٍ لِدَائِمِ حَدَثٍ) كَسَلِسٍ وَ مُسْتَحَاضَةٍ. وَ يُشْتَرَطُ لَهُ أَيْضًا ظَنُّ دُخُوْلِهِ، فَلَا يَتَوَضَّأُ – كَالْمُتَيَمِّمِ – لِفَرْضٍ أَوْ نَفْلٍ مُؤَقَتٍ قَبْلَ وَقْتِ فِعْلِهِ، وَ لِصَلَاةِ جَنَازَةٍ قَبْلَ الْغُسْلِ، وَ تَحِيَّةٍ قَبْلَ دُخُوْلِ الْمَسْجِدِ، وَ لِلرَّوَاتِبِ الْمُتَأَخِّرَةِ قَبْلَ فِعْلِ الْفَرْضِ، وَ لَزِمَ وُضُوْآنِ أَوْ تَيَمُّمَانِ عَلَى خَطِيْبٍ دَائِمٍ الْحَدَثِ، أَحَدُهُمَا: لِلْخُطْبَتَيْنِ وَ الْآخَرُ بَعْدَهُمَا لِصَلَاةِ جُمْعَةٍ، وَ يَكْفِيْ وَاحِدٌ لَهُمَا لِغَيْرِهِ، وَ يَجِبُ عَلَيْهِ الْوُضُوْءُ لِكُلِّ فَرْضٍ – كَالتَّيَمُّمِ وَ كَذَا غُسْلُ الْفَرْجِ وَ إِبْدَالُ الْقُطْنَةِ الَّتِيْ بِفَمِهِ وَ الْعَصَابَةِ، وَ إِنْ لَمْ تَزُلْ عَنْ مَوْضِعِهَا. وَ عَلَى نَحْوِ سَلِسٍ مُبَادَرَةٌ بِالصَّلَاةِ، فَلَوْ أَخَّرَ لِمَصْلَحَتِهَا كَانْتِظَارِ جَمَاعَةٍ أَوْ جُمْعَةٍ وَ إِنْ أُخِّرَتْ عَنْ أَوَّلِ الْوَقْتِ وَ كَذَهَابٍ إِلَى مَسْجِدٍ لَمْ يَضُرُّهُ.
(Syarat wudhu’ yang kelima) (235) adalah (masuknya waktu shalat bagi seorang yang selalu hadats) seperti orang yang beser (246) dan istiḥādhah, dan disyaratkan pula baginya untuk menduga masuknya waktu shalat, maka baginya tidak diperbolehkan berwudhu’ – seperti halnya orang yang tayammum – untuk shalat fardhu ataupun sunnah sebelum masuknya waktu untuk mengerjakannya, dan untuk shalat janazah sebelum memandikannya, dan untuk shalat tahiyyat-ul-masjid sebelum masuk masjid, dan untuk shalat rawatib yang diakhirkan sebelum melakukan shalat fardhu. Wajib melakukan dua wudhu’ atau dua tayammum bagi seorang khatib yang selalu hadats, satu wudhu’ untuk dua khutbah dan satunya setelah dua khutbah untuk melakukan shalat jum‘at, dan dicukupkan satu wudhu’ untuk kedua hal tersebut baginya untuk berwudhu’ di setiap akan melaksanakan shalat fardhu’ seperti halnya tayammum (257) Begitu pula wajib membasuh vagina dan mengganti kapuk yang berada pada bibir vagina dan mengganti pembalut walaupun pembalut tersebut tidak bergeser dari tempatnya. (268). Dan bagi sejenis beser kencing diwajibkan untuk bersegera melaksanakan shalat. Kalau seandainya ia mengakhirkan shalat karena untuk kemaslahatan shalat seperti menunggu jama‘ah atau shalat jum‘at – walaupun shalat tersebut diakhirkan dari awal waktu – dan seperti berangkat menuju masjid, maka hukumnya tidaklah masalah baginya.
Catatan: