PENUTUP.
Di akhir pembahasan ini akan kami tegaskan bahwa peristiwa-peristiwa yang mengalami al-Badā’ itu, dibagi dua:
Pertama: Terjadi peristiwa yang dikabarkan Nabi s.a.w., atau oleh wāshī r.a. yang diberitakan sebelum terjadi peristiwa itu, sampai akhirnya terjadi al-Badā’ padanya, baik yang terdapat pada syariat kaum terdahulu, maupun di dalam syariat Islam.
Kedua: Perkara yang diberitakan oleh Nabi s.a.w. atau wāshī-nya r.a., setelah terjadi al-Badā’ padanya , tidak diberitakan sebelumnya.
Di antara perkara yang termasuk kepada bagian pertama adalah:
1. Pemberitaan Nabi Ibrāhīm a.s. tentang penyembelihan puteranya, Ismā‘īl a.s. yang tidak jadi.
2. Pemberitaan Mūsā Kalīmullāh a.s. kepada umatnya tentang kegaibannya selama tiga puluh hari dari umatnya, akan tetapi ditambah hingga genap empat puluh hari.
3. Pemberitaan Nabi Yūnus a.s. tentang adzab yang akan menimpa umatnya yang durhaka, akan tetapi adzab itu selanjutnya dibatalkan.
4. Pemberitaan Nabi Dāūd a.s. bahwa ia akan mati setelah tujuh hari. Namun kemudian umur seorang pemuda itu diperpanjang.
5. Pemberitaan Ādam a.s. tentang umur Nabi Dāūd a.s., akan tetapi kemudian umur Nabi Dāūd ditambah.
6. Pemberitaan Nabi Muḥammad s.a.w., tentang akan matinya seorang raja pada hari tertentu, akan tetapi kemudian tidak terjadi.
7. Pemberitaan Nabi ‘Īsa al-Masīḥ a.s. tentang akan meninggalnya pengantin perempuan, tetapi kemudian tidak terjadi.
8. Pemberitaan Nabi yang mulia s.a.w., tentang kematian seorang Yahudi yang tidak jadi.
9. Apa yang dikabarkan oleh Amīr-ul-Mu’minīn a.s., tentang akan terwujudnya kemakmuran pada tahun tujuh puluh Hijrah, akan tetapi tidak pernah terwujud.
Inilah peristiwa-peristiwa yang dikabarkan oleh Nabi atau oleh wāshī, kemudian terjadi al-Badā’ padanya. Sebagian peristiwa tersebut terdapat di dalam al-Qur’ān yang mulia, dan yang lainnya di dalam hadits. Jawaban terhadap setiap pertanyaan telah anda ketahui, begitu juga rinciannya.
Adapun bagian yang kedua, yaitu yang dikabarkan oleh Nabi s.a.w. atau oleh wāshī a.s. setelah terjadi al-Badā’ di dalamnya.
Inilah sejumlah peristiwa yang di dalamnya terjadi al-Badā’. Apakah setelah ini masih ada orang yang akan berkata tentang sesuatu yang tidak diketahuinya?
Sesungguhnya Imām-imām kaum Rāfidhah itu telah mengajarkan al-Badā’ kepada pengikutnya. Bila mereka mengatakan bahwa sesuatu perkara akan terjadi, dan kemudian ternyata perkara yang mereka beritakan itu tidak terjadi, mereka lantas mengatakan: Al-Badā’ lillāhi ta‘ālā (telah terjadi al-Badā’ bagi Allah). Seperti tuduhan yang terdapat di dalam al-Muḥashshal. (Al-Muḥashshal, Imām ar-Rāzī, Yang dikutip dari Sulaimān bin Ja‘far).
Manakah bukti klaim mereka tentang adanya banyak pemberitaan-pemberitaan yang telah dikabarkan oleh Imām-imām Syī‘ah, yang kemudian terjadi al-Badā’ di dalamnya? Bukankah sebenarnya kebanyakan berita-berita tersebut ada di dalam al-Qur’ān, diyakini oleh seluruh kaum Muslim, yang mau tak mau harus menafsirkan dan memecahkannya? Sebagian berita yang lainnya merujuk kepada para nabi dan rasūl terdahulu, semuanya berkaitan dengan mereka (para nabi dan rasūl). Yang demikian hanyalah satu, yaitu pemberitaan ‘Alī a.s., tentang kemakmuran yang diberitakan akan terwujud pada tahun tujuh puluh Hijrah yang memang kemudian ternyata tidak terwujud pada tahun itu, dikarenakan terjadi al-Badā’ yang disebabkan oleh ketiadaan syarat, sebagaimana yang telah kami terangkan.
Manakah bukti tuduhan Ar-Rāzī, dan Sulaimān tentang adanya pemberitaan-pemberitaan para Imām Syī‘ah mengenai banyaknya pemberitaan yang terjadi al-Badā’ padanya, sehingga setelah itu mereka lantas menegaskan tidak terwujudnya berita-berita itu kepada pengikutnya? Bagaimana mungkin para Imām Syī‘ah dituduh dengan tuduhan tersebut di atas, bahwa mereka membuat-buat keyakinan tentang al-Badā’ untuk melegismitasikan tidak terjadinya berita yang telah mereka beritakan? Jelasnya, siapa yang menyimak riwayat mengenai al-Badā’, ia akan mendapati bahwa kebanyakan riwayat-riwayat itu menyangkut al-Badā’ dalam masalah ketentuan; dan dia akan mendapati bahwa yang dimaksud dengan konsep al-Badā’ tersebut adalah kemungkinan bisa berubahnya takdir dan masih sejalan dengan perubahan perbuatan dan perilaku, sejalan dengan berubahnya laku-buruk menjadi amal saleh, sebagaimana hal itu bisa dilihat dalam hadits No. 2 ,3, 7, 9, 11, 12, 13, 14, 16, 18, dan seterusnya.
Keyakinan terhadap al-Badā’ ini sebenarnya dimaksudkan membantah keyakinan orang-orang Yahudi dan kaum Qadariyyah yang memandang tidak berperannya Allah terhadap suatu perkara dan menunjukkan ketidakmampuan-Nya. Begitu juga kepada mereka yang memandang bahwa manusia tidak mampu mengubah ketentuan (takdir), seperti yang telah kita lihat dalam dua hadits No. 6 dan 17 dan yang lainnya, yang menjelaskan bahwa aqidah al-Badā’ muncul untuk menolak keyakinan orang-orang Yahudi yang meyakini tidak beperannya Allah s.w.t. dalam segala urusan, dan bahwa Dia berlepas diri dari setiap masalah. Singkat kata para Imām Syī‘ah Imāmiyyah, dan para ulamanya ingin mempertahankan kebenaran al-Badā’
Banyak sekali hadits-hadits dan riwayat-riwayat yang banyak tersebar di berbagai mu‘jam hadits adalah mengenai al-Badā’ dalam hal ketentuan, yakni mungkinnya terjadi perubahan ketentuan (takdir) dikarenakan oleh perbuatan baik dan buruk.
Adapun mengenai adanya pemberitaan suatu perkara yang kemudian tidak terjadi, disebabkan oleh terjadinya al-Badā’ adalah dari Nabi s.a.w., dari suatu sumber, yaitu mengenai akan matinya seorang Yahudi, begitu pula yang diriwayatkan oleh para Imām Syī‘ah yang memberitakan bahwa pada tahun tujuh puluh Hijrah akan terwujud kemakmuran. Hal itu dimaksudkan untuk menegaskan aqidah al-Badā’ dalam hal ketentuan agar mereka bisa melihat bagaimana ketentuan itu dapat diubah dengan perbuatan-perbuatannya.
Sampai di sinilah bahasan kami tentang konsep al-Badā’.
الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ