PERTANYAAN KEENAM.
Apa faedah dan pengaruh pemberitaan ini bila pemberitaan itu sendiri tidak pernah terjadi?
JAWAB:
Tujuan dari pemberitaan itu adalah untuk menegaskan al-Badā’ dalam pembuktiannya. Sesungguhnya andaikata Nabi s.a.w. memberitakan sesuatu, kemudian berita itu tidak terjadi, maka Nabi atau wāshī menerangkan hal itu dengan menyebutkan, bahwa hal itu tidak terajdi karena ada amal baik, seperti sedekah dan sebagainya. Demikian juga pada diri anda. Dikarenakan amal yang baik, anda akan selamat dan terhindar dari adzab. Dan suatu hal yang dijanjikan, seperti yang diberitakan akan terjadi pada diri anda dan ternyata tidak terjadi, merupakan pembuktian adanya al-Badā’. Dan tidak ada sesuatu yang lebih berbekas dan besar pengaruhnya di dalam jiwa selain dari apa yang diberitakan oleh Nabi, karena hal ini akan menumbuhkan harapan dalam hati orang-orang yang beriman terhadap segala perbuatan dan amal saleh, yang diperbuatnya demi perubahan nasibnya.
Bagaimanapun, ketika al-Badā’ terjadi dan terbukti, disertai juga dengan bukti benarnya pemberitaan dan terpenuhinya syarat itu, merupakan penegasan dan bukti atas kebenaran al-Badā’ dalam hal ketetapan, dan sebagai cara untuk mengembalikan manusia kepada prinsip tersebut, sehingga mereka meyakini kebenarannya dengan mata dan mata hatinya.
PERTANYAAN KETUJUH:
Bagaimanakah manusia bisa dengan tenang meyakini suatu berita sementara beranggapan bahwa pada peristiwa tersebut bisa terjadi al-Badā’?
JAWAB:
Al-Badā’ hanya akan terjadi pada masalah-masalah selain yang telah kami kecualikan sebelumnya. Adapun ketenangan manusia diperoleh dari pengetahuan tentang sesuatu dan syarat-syarat terlaksananya peristiwa itu. Misalnya, jika kita melihat api menjilat-jilat di sebuah rumah, maka kita akan yakin bahwa rumah itu akan terbakar dan akan musnah karena kebakaran itu. Pengetahuan seperti ini kita peroleh berdasarkan pengetahuan kita terhadap syarat kebakaran (yaitu adanya api), yaitu ilmu yang tidak menafikan kemungkinan bahwa kebakaran tersebut dapat diatasi dengan cara-cara pemadaman, atau adanya halangan yang menghalangi terjadinya kebakaran.
Dengan demikian semua yang diberitakan oleh para Nabi dan para wali itu adalah dengan pengetahuan tentang adanya syarat-syarat menurut hukum kausalitas. Dan pengetahuan bersyarat (mu‘allaq) ini tidak bisa dinafikan dengan adanya kenyataan yang berbeda dari yang diberitakan sebelumnya, karena kurangnya persyaratan atau karena adanya penghalang.
PERTANYAAN KEDELAPAN.
Diriwayatkan oleh Al-‘Ayyāsyī, dari ‘Amr Ibnu al-Ḥumq bahwa Imām Amīr-ul-Mu’minīn telah menjanjikan akan adanya kemakmuran sesudah terjadi bencana, yaitu pada tahun ketujuh puluh Hijrah. Akan tetapi ternyata, kesejahteraan itu tidak pernah ada. Ketika itu timbul pertanyaan sebagai berikut: “Mengapa Imām Amīr-ul-Mu’minīn memberitakan datangnya kemakmuran pada tahun tujuh puluh, tapi ternyata kemakmuran itu tidak terwujud pada tahun itu, bahkan juga sesudahnya?
JAWAB:
Sesungguhnya pemberitaan tersebut mempunyai syarat. Syarat-syaratnya ternyata tidak terpenuhi. Di antara syarat tesebut adalah hendaknya umat mempertahankan wasiat Imamah membela hujah-hujahnya, memelihara keyakinan kepada para Imam, dan terhadap rahasia-rahasia Allah. Maka ketika syarat ini tidak terwujud, terjadilah al-Badā’, dan kemakmuran yang dijanjikan pada tahun tujuh puluhan tidak terwujud. Dalam hal ini, Abū Ja‘far al-Bāqir r.a. pun menyatakan demikian. manakala menjawab Ḥamzah ats-Tsumālī yang bertanya sebagai berikut: “Aku bertanya kepada Abū Ja‘far, sesungguhnya ‘Alī a.s. berkata: “Bencana itu hanya sampai tahun tujuh puluh, setelah itu akan ada kemakmuran”. Ternyata tahun tujuh puluh sudah lewat dan kesejahteraan tidak kunjung tiba.” Maka berkatalah al-Bāqir r.a.: “Wahai Tsābit! Sesungguhnya Allah telah menentukan waktu terhadap perkara ini. yakni datangnya kemakmuran setelah bencana, pada tahun tujuh puluh. Ternyata ketika Ḥusain r.a. terbunuh, Allah semakin murka kepada kalian, dan kami jelaskan penyebabnya, lantas kalian pun mengetahui rahasia akan terjadi dan tidaknya peristiwa itu, sehingga Allah pun menangguhkannya, dan tidak lagi menentukan waktunya kepada kita. Kemudian beliau membaca firman Allah s.w.t.:
“Allah menghapus dan menetapkan apa yang Ia kehendaki, dan di sisi-Nyalah terdapat Umm-ul-Kitāb (Lawḥ Maḥfūzh)” (13: 39). (Biḥār-ul-Anwār, Jilid IV, hlm. 119, hadits No. 60 dan 61).