PERTANYAAN KEEMPAT.
Apakah diberitakannya sesuatu oleh Nabi s.a.w., namun kemudian berita itu tidak terjadi, merupakan kedustaan dan omong kosong saja, yang pada akhirnya berarti lemahnya akidah orang-orang Mu’min yang berkaitan dengan para Imām dan para pemimpin mereka?
JAWAB:
Sesungguhnya, memang berita-berita yang mengalami al-Badā’ dapat menjerumuskan para Nabi ke dalam tuduhan kedustaan dan omong kosong yang tak sesuai dengan kenyataan, bila Nabi tidak menjelaskan kebenaran ucapannya dan menyebutkan syarat terjadinya peristiwa yang diberitakannya. Oleh karena itu, kita lihat Nabi ‘Īsā a.s. tatkala memberi kabar kepada para sahabatnya tentang seorang pengantin wanita yang akan mati, dan kematian itu tidak terbukti, maka pada saat itu beliau berkata kepada si wanita: “Bangkitlah dari tempat dudukmu!” Ternyata di bawah tempat duduknya ada seekor ular yang menyerupai tongkat yang akan menggigit karena dosa (mempelai laki-laki). Maka Nabi ‘Īsā a.s. berkata: “Karena perbuatan itulah engkau diselamatkan dari ular itu.” Kisah lengkap mengenai hal ini sudah dibahas sebelumnya.
Kisah ini tidak hanya terjadi kepada ‘Īsā a.s., tetapi juga terjadi pada Nabi yang mulia Muḥammad s.a.w. tatkala memberitakan kematian seorang Yahudi. Pada saat itu Nabi s.a.w. menyuruhnya meletakkan kayu bakarnya, dan ternyata ada seekor ular di ujung kayu bakar itu, mengigit kayu tersebut.
Kisah yang serupa terjadi juga pada Nabi Ibrāhīm a.s., ketika anaknya diganti dengan seekor sembelihan, yang menjadi bukti mimpi yang diberitakan oleh Nabi Ibrāhīm.
Juga pada kisah Nabi Yūnus, ketika memberitahukan tentang adzab. Kaumnya pun telah melihat tanda-tanda (siksa yang akan turun). Maka seorang alim kerkata kepada mereka: “Takutlah kalian kepada Allah, mudah-mudahan Dia menyayangi kalian dan menghapus siksaan-Nya, terhadap kalian. Keluarlah kalian menuju kebahagiaan, dan pisahkanlah antara perempuan dan anak-anaknya, dan antara binatang dengan anak-anaknya, kemudian berdoalah kalian sambil menangis.”
Maka mereka melakukannya sehingga mereka terhindar dari adzab Allah tersebut. (Majma‘-ul-Bayān, Jilid III, hlm. 153). Dan dikarenakan pemberitaan tentang sesuatu itu dilakukan setelah adanya kenabian dan bukti-bukti risalah, maka pemberitahuan seperti ini bukanlah pemberitahuan tanpa bukti. Atau, hal ini menyangkut masalah kenabian, khususnya bila bukti-bukti itu menegaskan benarnya pemberitaan itu sebagaimana telah dijelaskan.
Dengan demikian, maka maksud riwayat-riwayat itu menjadi jelas, bahwa yang diajarkan oleh Allah s.w.t. kepada malaikat dan rasūl-rasūlNya benar-benar akan terjadi.
Dia tidak akan berdusta kepada diri-Nya, demikian pula kepada malaikat-Nya serta kepada para utusan-Nya. (Al-Kāfī, Jilid I, hlm. 147, hadits No. 6, bab al-Badā’, dan hadits yang serupa diriwayatkan oleh ash-Shadūq dan ‘Uyūn-ur-Ridhā, lihat al-Biḥār, Jilid IV, hlm. 36).
Diriwayatkan oleh al-Fadhil bin Yāsir, ia berkata: “Aku dengar Abū Ja‘far mengatakan: “‘Ilmu itu ada dua: Pertama: Ilmu Allah yang tersimpan, yang tidak diketahui oleh satu makhluk pun; Kedua: ‘Ilmu yang diajarkan Allah kepada malaikat-malaikat dan rasūl-rasūlNya, yang benar-benar akan terjadi. Allah tidak akan berdusta pada diri-Nya, kepada para malaikat dan rasūl-rasūl-Nya.” (Biḥār-ul-Anwār, Jilid IV, hlm. 119, hadits No. 58).
Al-‘Ayyāsyī meriwayatkan dari al-Fudhil bin Yāsir, ia berkata: “Aku dengar Abū Ja‘far r.a. berkata: “Di antara perkara itu ada yang definitif dan tidak mustahil, serta ada perkara yang kondisional di sisi Allah, yang ditetapkan dan dihapus menurut kehendak-Nya, yang tidak diketahui oleh satu makhluk pun. Adapun yang diberitakan oleh para rasūl adalah sesuatu yang mesti diyakini, karena Dia tidak berdusta pada diri-Nya, pada Nabi-Nya juga pada para Malaikat-Nya.”
Tampaknya riwayat-riwayat tersebut menyangkut suatu hal yang tidak terjadi al-Badā’ padanya, yang diajarkan Allah kepada para Nabi-Nya, dan terjadinya al-Badā’ pada hal-hal yang belum diajarkan oleh Allah kepada seseorang. Hal tersebut tak dapat diakurkan dengan apa yang telah kami nukil dari para rasūl, yang mereka ketahui tentang terjadinya al-Badā’ sesuai ilmu dan pemberitaan-pemberitaan mereka.
Adapun dua hal yang perlu dicatat sehubungan dengan masalah di atas adalah: Pertama: sebenarnya riwayat-riwayat tersebut seiring dengan pernyataan: “Dia tidak berdusta kepada Diri-Nya, kepada para malaikat dan para rasūl-Nya.” Kecuali bila ada kesengajaan untuk menjadikan al-Badā’ sebagai wasīlah untuk mendustakan Rasūl. Bila tidak demikian, mungkin riwayat-riwayat tersebut tidak memuat bahwa Nabi dapat membuktikan benarnya perkataan beliau disebabkan karena adanya persyaratan, dan al-Badā’ benar-benar akan terjadi padanya. Atau, Kedua: sesungguhnya riwayat-riwayat tersebut tidak benar.