PERTANYAAN KETIGA.
Bagaimana mungkin Nabi s.a.w. atau Wāshī r.a. memberitakan sesuatu dengan gambaran yang tegas dan pasti, padahal masih ada kemungkinan terjadi al-Badā’?
JAWAB:
Berita-berita ghaib yang diriwayatkan dari mereka itu terbagi dua:
Pertama: berita ghaib yang tidak terjadi al-Badā’ padanya. Dengan demikian pemberitaan mengenainya bersifat qath‘ī (pasti). Ini tidak perlu kita bahas. Yang perlu adalah yang menyangkut pemberitaan ghaib yang terjadi al-Badā’ padanya, yaitu bagian Kedua: berita-berita dalam bagian ini terbagi lagi menjadi dua macam:
Pertama: berita-berita yang diberi syarat dalam pengucapannya, seperti dalam kisah Nabi Yūnus, yang diriwayatkan bahwa ia berkata kepada kaumnya: “Sesungguhnya adzab itu akan menimpa mereka setelah tiga hari, jika mereka tidak bertaubat,” atau tidak bersyarat sama sekali.
Pada yang pertama, kenyataan yang berbeda dengan apa yang diberitakan tidak menjadi persoalan, karena pemberitaan itu sendiri bersyarat.
Kedua: yang akan kita bahas adalah apabila pemberitaan itu dalam bentuk qath‘ī. Kami berpendapat, seandainya pemberitaan-pemberitaan itu bersifat qath‘ī, maka harus dilihat prasyaratnya. Misalnya, bila ada seseorang yang minum racun, tapi tidak mati. Sementara, orang yang menyaksikan perbuatannya itu pasti mengatakan: “dia akan mati”, yakni dengan melihat adanya sayrat kematian yang telah dilaksanakan orang yang minum racun tersebut.
Begitu pula bila ada orang yang menyaksikan seorang sopir membawa lari kencang mobilnya sehingga oleng (shaky, stegger, rock), ia pasti mengatakan: “sopir tersebut pasti mati.” Dan sekiranya orang si peminum racun selamat karena meminum obat penawar, dan si sopir selamat karena mampu megendalikan mobilnya, tidaklah menafikan berita qath‘ī tadi.
Dan demikian juga dalam perjalanan dan kehidupan sosial kita sehari-hari. Kita sering mengatakan kepada seseorang dengan pasti, padahal pemberitaan itu hanya berdasarkan prasyarat yang dia lakukan. Walhasil, pemberitaan gaib yang tidak terjadi itu memiliki dua kemungkinan:
Pertama: apabila pemberitaan itu sifatnya kondisional (bersyarat), maka penetapan syaratnya dapat diketahui dari apa yang disampaikan oleh pembicara, atau dari kaitan-kaitan yang terdapat dalam pembicaraannya.
Kedua: apabila pemberitaan itu sifatnya definitif (mutlak), tapi hanya sebatas pengetahuan akan syarat-syaratnya masih kurang atau karena adanya penghalang, tidaklah menafikan pengetahuan akan syarat-syarat terbuktinya pemberitaan itu. Seperti yang sering terjadi dalam kehidupan kita, maka manusia tidak diberitahu pemberitaan yang definitif meskipun telah tahu syarat-syarat terbuktinya pemberitaan itu. Pengetahuan akan syarat-syarat tersebut tidaklah menafikan tidak terjadinya apa yang diberitakan karena ada syarat-syarat yang belum terpenuhi atau adanya penghalang.