PERTANYAAN KEDUA.
Tidak diragukan, bahwa apabila Nabi s.a.w. atau Imām r.a. memberitakan sesuatu, kemudian terjadi al-Badā’ dalam peristiwa itu, maka sudah seharusnya berita tadi disandarkan kepada sesuatu yang menjadi sumber berita itu sendiri. Maka apa yang menjadi sandaran Nabi dan Imam dalam menyampaikan berita tersebut?
JAWAB:
Apabila anda memahami hakikat al-Badā’ yang telah kami jelaskan dalam kaitannya dengan itsbāt (ketetapan), dan memahami jawaban terhadap pertanyaan pertama bahwa al-Badā’ adalah hasil perubahan dalam fenomena ‘Ilmu Fi‘lī Allah s.w.t., maka pertanyaan kedua ini akan dengan mudah kita jawab. Sesungguhnya Ilmu Allah itu mempunyai berbagai fenomena, ada yang tidak bisa berubah dan ada yang bisa berubah.
Yang pertama adalah ibarat Lawḥ-ul-Maḥfūzh atau yang kadang-kadang disebut Umm-ul-Kitāb. Allah s.w.t. berfirman:
(بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَجِيدٌ فِي لَوْحٍ مَحْفُوظٍ)
“Bahkan (yang didustakan mereka itu) adalah al-Qur’ān yang mulia yang tersimpan di Lawḥ-ul-Maḥfūzh.” (85:21,22).
(وَ إِنَّهُ فِي أُمِّ الْكِتَابِ لَدَيْنَا لَعَلِيٌّ حَكِيمٌ)
“Dan sesungguhnya al-Qur’ān itu dalam Umm-ul-Kitāb (Lawḥ-ul-Maḥfūzh) yang ada di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan sangat banyak mengandung hikmah.” (43: 4).
(مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأَرْضِ وَ لاَ فِي أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذلِكَ عَلى اللهِ يَسِيرٌ)
“Tiada suatu bencana pun yang menimpamu di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitāb (Lawḥ-ul-Maḥfūzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah.” (57: 22).
Lawḥ-ul-Maḥfūzh atau Umm-ul-Kitāb adalah Kitāb yang di dalamnya terdapat ketentuan yang akan menimpa manusia sebelum ia diciptakan, dan tidak bisa dihapus serta dipastikan sedikit pun. Apabila manusia dapat berhubungan dengannya, maka ia pasti mengetahui kejadian-kejadian yang akan datang, tanpa keliru. Adapun yang kedua ialah Lawḥ-ul-Mahw dan Itsbāt. yang telah disyaratkan dengan firman-Nya:
“Allah menghapus dan menetapkan sesuatu yang dikehendaki-Nya….” (13: 19).
Termasuk ke dalam bagian ini adalah hati para malaikat yang taat. Eksekusi hukum yang dibawa oleh mereka adalah eksekusi kondisional. Oleh karena itu, tidak terpenuhinya syarat atau adanya penghalang merupakan penyebab perubahan pelaksanaan eksekusi.
Kematian seseorang yang pelaksanaannya di tangan mereka pun dilihat persyaratannya. Bila persyaratan belum lengkap, ia tidak akan mati, bahkan sehat kembali.
Alhasil, di sini ada dua takdir: takdir yang mewajibkan kematian, dan takdir yang berkaitan dengan lengkapnya bagian persyaratannya, yang memberikan kesempatan hidup bagi orang itu.
Baiklah, kita lihat hipotesis berikut ini. Andaikan seseorang minum racun yang mematikan, maka tidak diragukan lagi, kita dapat mengatakan orang itu akan menemui ajalnya, karena racun mengakibatkan kematian. Akan tetapi hal itu tidak akan terjadi apabila, setelah itu, ia minum penawar racun, atau diobati dan dioperasi oleh dokter. Ia akan sehat dan selamat.
Begitu pula dengan pemberitaan Nabi yang pertama, di mana terjadi karena adanya ketetapan-ketetapan tertentu, bukan karena tercukupinya alasan bagi terjadinya peristiwa tersebut. Karena itu, benarlah baginya pemberitaan takdir yang pertama karena terpenuhnya prasyarat, sebagaimana pula kita boleh meramalkan matinya si peminum racun karena adanya persyaratan. Kita akan mengatakan bahwa ia akan mati, bila ia telah minum. Hal itu tidak menafikan penawar racun dan pengobatan oleh dokter. Bisa juga dikatakan, mungkin saja Nabi s.a.w. dan wāshī r.a. berpijak kepada prasyarat kejadian, tidak kepada alasan yang telah terpenuhi; jika tidak, niscaya mereka akan diberi kabar tentang takdir kedua, dan tidak mustahil mereka berdua tidak mengetahui prasyarat takdir pertama dan penghalang-penghalangnya, demi kemaslahatan-kemaslahatan yang diketahui oleh Allah s..w.t.
Takdir yang telah kami sebutkan tadi, disyaratkan oleh Abū Ja‘far al-Bāqir, ketika ditanya oleh Ḥaram tentang firman Allah: “Ia tentukan satu ajal, satu ajal (lagi) ada di sisi-Nya…..”
Beliau menjawab: Keduanya adalah ajal, ajal definitif (mutlak) dan ajal kondisional (bersyarat). (Biḥār-ul-Anwār, Jilid IV, hlm. 16, hadis No. 64).
Dalam masalah ini Shadr Muta’allihīn berpendapat: “Jika kekuatan luhur (jiwa-jiwa yang luhur) mengetuhi akan matinya seseorang yang disebabkan oleh penyakit tertentu dan akan terjadi pada malam tertentu, disebabkan oleh sebab-sebab yang menuntutnya demikian, dan ia tidak mengetahui sedekah yang akan diberikannya sebelum hari kematiannya karena ketidaktahuannya terhadap sebab-sebab sedekah, sehingga ia memutuskan bahwa orang itu – karena tidak bersedekah – akan mati, maka akan muncul dua keputusan terhadap orang tersebut: yang pertama, “mati” (bila tidak bersedekah), sedangkan yang kedua “sembuh” (bila bersedekah).
Jika jiwa Nabi atau Imām sampai pada kekuatan itu, sehingga mereka melihat sebagian urusan tadi, maka beliau dapat mengabarkan apa yang dilihat oleh mata-hatinya, atau yang disaksikan oleh cahaya-kesadarannya (Nūr Bashīrah), atau yang didengar oleh telinga batinnya.” (Shadr-ul-Muta’allihīn, Syarḥu Ushūl-il-Kāfī).