PENJELASAN TENTANG SIFAT BERITA GHAIB.
Tidak diragukan, bahwa sebagian atau semua peristiwa telah diketahui oleh para Nabi yang mulia, terutama hal-hal yang terdapat dalam al-Qur’ān. Di sini, muncul dua pertanyaan:
Pertama: mengapa berita semacam itu tidak terjadi dalam kenyataan?
Kedua: bagaimana sikap Nabi terhadap pemberitaan hal-hal yang kemudian ternyata tidak terjadi?
JAWAB:
Adapun yang Pertama, sebagaimana telah diriwayatkan mengenai penafsiran terhadap riwayat-riwayat ini, bahwa tidak terjadinya berita ghaib itu dalam kenyataan, dikarenakan tidak terpenuhinya syarat-syarat tertentu yang harus ada bagi terwujudnya hal tersebut dalam kenyataan. Atau, dengan kata lain, ada penghalang yang mempengaruhi sesuatu yang telah ditetapkan sebelumnya, untuk terjadi.
Anda bisa mengatakan bahwa amal saleh berupa taubat yang dilakukan oleh umat Nabi Nūḥ, sedekah yang didermakan pada kisah Nabi ‘Īsā a.s. dan Nabi Muḥammad s.a.w., dapat mengubah sesuatu yang telah ditentukan. Hal ini pada hakikatnya merupakan esensi al-Badā’, yang kita anggap aneh.
Mengenai pertanyaan yang Kedua, jawaban ringkasnya adalah, bahwa Allah s.w.t.mempunyai dua Lawḥ:
Pertama: Lawḥ-ul-Maḥfūzh, Yaitu Lawḥ tempat sesuatu yang apabila telah ditetapkan sesuatu atasnya, maka tidak bisa diubah, dan sesuatu yang telah ditentukan (ditakdirkan) itu, tidak bisa diganti. Ketentuan tersebut sesuai dengan ilmu Allah.
Kedua: adalah Lawḥ-Mahw (lembaran penghapusan) dan Lawḥ-ul-Itsbāt (lembaran penetapan). Dalam Lawḥ tersebut, sesuatu ditulis sesuai dengan wujud yang telah ditentukan, tetapi tidak memenuhi syarat, atau ada aral yang merintanginya, ia masih bisa dihapus. Misalnya, dalam Lawḥ ini ditetapkan bahwa umur Zaid adalah lima puluh tahun; artinya, ketentuan umur lima puluh tersebut ditetapkan pada keberadaan Zaid. Namun demikian, ketentuan tersebut bukanlah ‘illat bagi batas final atas umur Zaid. Ketentuan tersebut bagian dari ‘illat itu sendiri, atau merupakan suatu ‘illat yang belum final yang ditentukan kepadanya, sehingga memungkinkan terjadinya pergantian dan perubahan, baik dengan cara bertambah atau berkurang. Dengan menyambungkan tali silaturaḥmi, maka umurnya yang telah ditentukan lima puluh tahun, bisa berubah menjadi enam puluh tahun; begitu pula jika orang itu memutuskan hubungan silaturahmi, maka umurnya yang telah ditentukan lima puluh tahun, bisa menjadi empat puluh tahun. Atas dasar itu juga, maka dikatakan bahwa perbuatan baik dan perilaku buruk dapat mempengaruhi takdir yang pertama, baik dengan bertambah atau berkurang.
Hal tersebut (yakni hukum berdasarkan persyaratan) bukanlah sesuatu yang bid‘ah, tetapi merupakan bagian yang wajar dalam suatu kehidupan. Sebagai contoh, seorang dokter yang pandai. Dengan melihat kondisi seseorang, ia dapat memperkirakan bahwa orang itu akan mencapai umur enam puluh tahun, namun perkiraan ini bisa berubah, bergantung pada tindakan orang yang bersangkutan dalam menjaga kesehatannya. Demikian pula sebaliknya. Apabila orang itu rajin berolah-raga, bisa jadi umurnya akan bertambah menjadi tujuh puluh tahun. Dan, sebaliknya, jika orang tersebut selalu minum minuman keras yang membahayakan, maka umurnya bisa jadi akan berkurang.
Dengan demikian, dapatlah kita simpulkan, bahwa ketentuan dokter tersebut merupakan hukum yang sesuai dengan persyaratan, dan hukum ini bisa berganti serta berubah.
Apabila anda sudah memahami hal ini, maka anda akan mengerti bahwa berita-berita gaib yang datangnya dari para Nabi itu, sebenarnya karena adanya hubungan mereka dengan Lawḥ yang kedua, yang bisa berubah dan berganti; sehingga mereka dapat mengabarkan suatu kebaikan tertentu sesuai dengan persyaratan situasi. Tetapi, hal itu bisa berubah sejalan dengan terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat, atau tergantung pada ada-tidaknya suatu penghalang (Mant). Tentang alam Itsbāt (penetapan) ini, ‘Allāmah al-Majlisī berkata: “Ketahuilah, bahwa ayat-ayat dan berita hadis itu menunjukkan bahwa Allah s.w.t. menciptakan dua Lawḥ. Pada kedua Lawḥ itu Allah menetapkan apa yang terjadi di alam ini:
Pertama: Lawḥ-ul-Maḥfūzh, yang di dalamnya tidak ada perubahan sama sekali, dan sesuai dengan Ilmu Allah s.w.t.
Kedua: Lawḥ-ul-Mahw dan Itsbāt, yang di dalamnya ditetapkan suatu ketentuan, tetapi ia masih dapat dihapus. Hal ini dapat dimaklumi oleh orang-orang yang berakal.” (Biḥār-ul-Anwār, Jilid IV, hlm. 130).
Tentang hal yang sama, Al-Khurasānī berkata: “Sesungguhnya, Allah s.w.t. apabila hendak menunjukkan penetapan sesuatu yang dihapus karena ada suatu kebijaksanaan (ḥikmah), maka Allah mengilhamkan atau mewahyukan kepada Nabi-Nya atau kepada Wali-Nya, agar memberitahukan ketetapan tersebut sesuai dengan pengetahuannya bahwa Dia akan menghapus ketentuan itu. Atau Nabi tersebut tidak mengetahui, karena tidak mengetahui secara utuh apa yang berlaku pada Ilmu Allah s.w.t. Dia mengabarkan hal tersebut – yang disebabkan oleh kesucian jiwa mereka – berdasarkan hubungannya dengan Lawḥ-ul-Mahw (Lawḥ ketetapan yang bisa diubah dan alam itsbāt). Akan tetapi dia tidak mengetahui wujudnya sehubungan dengan hal-hal yang tidak terjadi, atau karena adanya penghalang-penghalang Allah s.w.t. berfirman:
“Allah menghapus dan menetapkan apa yang Ia kehendaki…..”(13: 39).
“Benar, bahwa termasuk keistimewaan adalah mendapatkan pertolongan Allah dan hubungan jiwa yang suci dengan alam Lawḥ-ul-Maḥfūzh yang merupakan alam Rubūbiyyah yang paling agung (yakni, Umm-ul-Kitāb), sehingga tampak baginya peristiwa-peristiwa yang akan terjadi padanya, sebagaimana yang kita dapati pada riwayat Nabi Muḥammad dan sebagian dari para wāshī. Mungkin kepadanya diwahyukan suatu hukum, yang tampaknya berlanjut dan berkesinambungan, sedangkan pada kenyataanya memiliki akhir dan batas yang ditentukan oleh-Nya, dengan maksud yang lain. Hukum itu pada saat yang lain benar-benar terjadi, hanya saja hal itu tidak dimaksudkan kecuali untuk menguji dan memberi pelajaran kepada suatu kaum. Misal, bukanlah termasuk al-Badā’ bila Allah memberikan wahyu atau ilham yang memberitakan datangnya siksaan atau berita lain, yang nantinya tidak terjadi, karena ada kebijaksanaan yang ingin ditampakkan di situ. Atau hal itu memang benar-benar terjadi, sehingga memungkinkan-Nya berbuat al-Badā’, dengan pengertian bahwa apa yang Ia perintahkan kepada Nabi atau Wali-Nya ditampakkan setelah sebelumnya tidak tampak, dan selanjutnya Ia menampakkan apa yang tidak nampak. Tetapi hal itu dinamakan ibdā’. Hal tersebut dapat terjadi karena ada kemiripan yang hampir tidak bisa dibedakan antara al-Badā’ dan ibdā’. Demikian pula mengenai al-Badā’ pada yang lainnya. Kiranya keterangan kami ini sudah cukup.” (Akhund Al-Khurasānī, Jilid I, hlm. 373-375).
Demikianlah jawaban secara garis besar, yang rinciannya akan anda dapatkan pada pertanyaan-pertanyaan berikut, yang merupakan hakikat al-Badā’ dalam hal penetapannya (itsbāt).
Penjelasan tersebut di atas merupakan penjelasan terhadap pemberitaan-pemberitaan ghaib yang diisyaratkan oleh para Nabi dan Wali, namun ternyata tidak terjadi.
Sedangkan mengapa itu dinamakan al-Badā’, akan dijelaskan masalahnya pada tanya-jawab berikut: