Buah Shalat adalah Menghadapnya Seorang Hamba kepada Allah.
Setiap perbuatan manusia memiliki konsekuensi dan buahnya masing-masing. Apa pun yang diucapkan atau dilakukan seorang hamba akan berdampak dan berpengaruh pada dirinya, begitu pula ibadah dan ketaatan yang dilakukannya kepada Allah. Ketika hamba berpuasa, ia akan merasakan buahnya, berupa kesucian jiwa; buah ibadah zakat adalah kesucian jiwa dan harta; buah ibadah haji adalah kepastian mendapat ampunan; dan buah jihad adalah penyerahan diri kepada Allah yang akan memberinya pahala berupa surga. Semua bentuk ibadah dan ketaatan lain akan membuahkan balasan bagi orang yang melakukannya.
Sementara, buah ibadah shalat adalah menghadapnya seorang hamba kepada Allah. Ketika ia menghadap kepada Allah, niscaya Dia pun akan menghadap kepadanya. Menghadapkan diri kepada Allah hanya dapat dilakukan dalam shalat yang membuahkan berbagai amal yang telah disebutkan
Shalat lima waktu memberikan kesempatan pada tiap-tiap orang beriman untuk menumbuhkan energi mereka yang terpendam di dalam dirinya sesuai dengan potensi yang dimiliki, sehingga mampu membangun hubungan dengan Tuhan. Makin sempurna pelaksanaan shalat itu, maka makin dekat hubungan mereka dengan Tuhan.Dr. Afzalur-Rahman.
sebelumnya. Sama halnya, buah semua amal perbuatan hanya dapat dirasakan ketika seorang hamba menghadapkan diri kepada Allah dalam shalat.
Karena itulah Nabi s.a.w. mengatakan:
وَ جُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِيْ فِي الصَّلَاةِ
“Kesejukan hatiku dijadikan dalam ibadah shalat.”
Beliau tidak mengatakan: “Kesejukan hatiku dijadikan dalam puasa, haji dan umrah, atau ibadah-ibadah lainnya.”
Dalam hadis di atas Nabi s.a.w. mengatakan: “fish-shalati” atau di dalam shalat, bukan “bish-shalati”, yang berarti melulai shalat. Ungkapan Rasulullah s.a.w. itu mengandung arti bahwa beliau tidak merasa bahagia kecuali bila masuk dalam shalatnya sebagaimana seorang pecinta yang hanya merasa bahagia jika berjumpa dan menyatu dengan kekasihnya. Atau, seperti orang ketakutan yang merasa bahagia bila berada di tempat yang disukai dan memberinya rasa aman. Kesejukan mata dan kebahagiaan hati karena memasuki sesuatu lebih sempurna daripada kebahagiaan yang dirasakan sebelum mamasukinya. Sebab, dengan memasukinya hati menjadi terbebas dari keletihan dan kepayahan. Karena itulah Nabi s.a.w. bersabda:
يَا بِلَالُ، أَرِحْنَا بِالصَّلَاةِ
“Hai Bilal, senangkanlah kami dengan shalat!”
Ungkapan Nabi s.a.w. disampaikan kepada Bilal dengan maksud agar Bilal segera mengumandangkan seruan azan. Artinya: “Hai Bilal, segeralah seru manusia untuk mendirikan shalat.” Nabi s.a.w. menyatakan dalam hadits di atas dengan ungkapan yang sangat indah, yaitu: senangkanlah kami dengan shalat.” Sebab, beliau merasa senang, nikmat, dan bahagia ketika shalat. Beliau, dan siapa pun hamba yang mendirikan shalat akan terbebas dari derita kesibukan, sebagaimana seorang yang kelelahan mengistirahatkan dirinya setelah mencapai tempat istirahat yang nyaman dan meninggalkan segala kelelahan dan kepayahan yang dialaminya.
Renungkanlah sabda Nabi s.a.w. berikut:
أَرِحْنَا بِالصَّلَاةِ
“Senangkanlah kami dengan shalat!”
Nabi s.a.w. tidak mengatakan: “arihna minha” yang mengandung arti bebaskanlah kami dari shalat. Sebab, ungkapan semacam itu bertolak belakang dengan makna hadis di atas: “Senangkanlah kami dengan shalat.” Pernyataan: “bebaskan kami dari shalat” hanya mungkin dikatakan orang yang merasa berat dan terbebani untuk mendirikan shalat. Ia merasa menderita dan tertekan selama mengerjakan shalat. Setelah keluar dari shalatnya, hati dan jiwanya merasa senang dan bebas. Itulah perasaan hamba yang tidak bersyukur dan enggan mendekat kepada Allah. Ia merasa senang terlepas dari shalat karena hatinya selalu disibukkan segala sesuatu dan segala urusan selain Allah, sedangkan shalat memutuskannya dari semua kesibukan dan kesenangan duniawi. Karena itulah ia merasa tersiksa selama shalat sampai ia tuntas mengerjakannya.
Keadaan dan perasaan orang semacam itu dapat terbaca dari gerak dan keadaan lahiriahnya. Misalnya, orang yang merasa terbebani dan berat menunaikan shalat akan mengerjakan shalat secara tergesa-gesa. Gerakannya cepat, bacaannya pun tak tertata dengan baik, karena hatinya tidak menghadap kepada Tuhannya. Ia menjalankan rukun-rukun shalat tanpa disertai ketenangan (thuma’ninah) dan juga tanpa disertai kekhusyukan. Kendati demikian, ia tahu bahwa ia harus mengerjakan shalatnya sehingga mengerjakannya dengan cara yang tidak sempurna dari berbagai segi. Ia adalah orang yang lisannya mengatakan apa yang tidak terdapat dalam hatinya. Ketika menunaikan shalat, hatinya terus berucap “ayo segera selesaikan shalat agar terbebas dari beban dan kewajiban.” Ia mendirikan shalat bukan karena senang dan ingin menunaikannya.
Itulah perbedaan antara orang yang mendirikan shalat dengan senang hati dan penuh nikmat dan orang yang menunaikannya dengan perasaan terpaksa dan terbebani.
Tentu saja buah yang akan didapatkannya pun berbeda. Orang yang menganggap shalat sebagai belenggu berat yang membebani semua anggota tubuhnya atau penjara yang sempit lagi menyesakkan hatinya tidak akan mendapatkan apa-apa dari shalatnya. Ia menganggap shalat sebagai hambatan yang menghalangi kebebasan jiwanya. Ia menunaikan shalat dengan tujuan hanya agar lepas dari beban dan kewajiban. Ia berharap, dengan mengerjakan shalat ia terbebas dari dosa dan terhindar dari kebinasaan. Kadang-kadang orang seperti ini akan mendapatkan kifarat dan pahala dari shalatnya, atau mendapatkan rahmat sesuai dengan kadar penghambaan dirinya kepada Allah dalam shalatnya. Namun, kadang-kadang orang seperti ini mendapatkan siksa akibat kekurangan dan kelalaian dalam shalatnya.
Sebaliknya, orang yang menganggap shalat sebagai kenikmatan bagi hatinya, kebahagiaan dan kesenangan bagi semua anggota tubuhnya, dan taman yang indah serta tempat rekreasi yang menyenangkan akan mendapatkan buah dan balasan yang sangat berharga. Usai shalat pun ia akan tetap diliputi rasa tenang, senang, dan bahagia, karena ia selalu berusaha mendekat dan bermunajat kepada Allah. Ketika shalat ia mendapatkan ketenangan hati, kesejukan bola mata, kesenangan jiwa, dan kenikmatan seluruh anggota tubuhnya. Shalat menjadi taman rekreasi yang sangat menenangkan baginya. Ia mendapatkan kenikmatan berlimpah dalam shalatnya. Ia bersenang-senang di dalamnya karena mendapat kedudukan khusus yang didekatkan kepada Allah, kedudukan yang tinggi di sisi-Nya. Dia ikut serta bersama orang-orang terdahulu dalam meraih pahala kebaikan. Bahkan, secara khusus ia meraih kedudukan lebih tinggi yang berbeda dari kedudukan mereka jika ia menunaikan shalat dengan khusyuk dan tunduk.
Kedekatan kepada Allah menjadi salah satu buah utama yang didapatkan seorang hamba dari shalatnya. Shalat yang ditunaikan dengan baik dan khusyuk akan mengantarkan orang yang mendirikannya dekat kepada Allah. Perumpamaannya seperti orang yang menghamba dan terus mendekati seorang raja. Jika ia terus berusaha mendekati raja
Allah berfirman: Aku telah membagi shalat antara Aku dan hamba-Ku; separuhnya untuk-Ku dan separuhnya lagi untuk hamba-Ku. Ia akan menerima apa saja yang ia minta. Hamba mengatakan: “Bismillāh-ir-rahmān-ir-rahīm,” Allah berfirman: “hamba-Ku menyanjung-Ku.” Hamba mengucapkan: “al-hamdu lillāhi rabbil ‘ālamīn”, Allah berfirman: “Hamba-Ku memuji-Ku.” Hamba berucap: “ar-rahmān-ir-rahīm”, Allah berfirman: “Hamba-Ku memuliakan-Ku.” Hamba berucap: “Māliki yaum-id-dīn”, Allah berfirman: “Hamba-Ku menyerahkan dirinya kepada-Ku.” Hamba berucap: “Iyyāka na‘budu wa iyyāka nasta‘īn”, Allah berfirman: “Ini antara Diri-Ku dan hamba-Ku.” Ketika hamba berucap; “Ihdin-ash-shirāth-al-mustaqīm…”, Allah berfirman: “Ini untuk hamba-Ku dan hamba-Ku akan memperoleh yang dimintanya.”Hadis Qudsi.
dengan melakukan segala perbuatan yang diperintahkannya dan menghadap kepadanya dengan merendahkan diri, niscaya raja akan menyayanginya dan memberinya balasan serta kebaikan yang dikehendaki dan disukainya. Sebagaimana dikatakan para ahli sihir kepada Firaun sebelum mereka melawan Nabi Musa a.s.:
أَئِنَّ لَنَا لأَجْرًا إِنْ كُنَّا نَحْنُ الْغَالِبِيْنَ
“Apakah Kami sungguh-sungguh mendapat upah yang besar jika kami menang?” (asy-Sya‘arā’ [26]: 41). (Juga al-A‘rāf [7]: 113)
Firaun menjawab sebagaimana dikisahkan dalam firman-Nya:
قَالَ نَعَمْ وَ إَنَّكُمْ لَمِنَ الْمُقَرَّبِيْنَ
“Ya, dan sungguh kamu benar-benar akan termasuk orang yang dekat (kepadaku).” (al-A‘rāf [7]: 114).
Itulah balasan yang dijanjikan Firaun, seorang raja di dunia, bagi siapa pun yang menaati perintahnya dan menghambakan diri kepadanya. Ia berjanji kepada para ahli sihirnya akan memberi mereka imbalan yang besar dan kedudukan yang dekat dengannya, yaitu kedudukan yang tinggi di sisinya.
Maka, tentu lebih besar dan lebih tinggi lagi kedudukan yang akan diberikan Allah, penguasa semesta, Sang Maha Raja, kepada hamba-hambaNya yang taat, tunduk, berserah, dan menghambakan diri kepada-Nya.
Perumpamaan golongan pertama – yang berat menunaikan shalat – adalah seperti hamba yang memasuki istana raja, tetapi ada tirai penghalang antara dirinya dan sang pemilik istana sehingga ia tidak dapat berjumpa dan berhadap-hadapan dengannya. Ia hanya bisa berdiri di balik tirai yang menghalanginya. Ia tidak mendapatkan kebahagiaan karena tidak dapat melihat sang pemilik istana dan tidak dapat bertatap muka dengannya, karena terhalang tirai syahwat, awan nafsu, kabut ambisi, dan asap tebal angan-angannya sendiri. Hati orang seperti ini selalu dalam keadaan sakit, karena jiwanya terjerumus dalam dorongan nafsu untuk meraih kenikmatan yang sementara.
Orang seperti ini tidak akan bisa menunaikan shalat kecuali dengan perasaan tertekan. Ia sama sekali tidak menemukan kenikmatan dalam shalat. Ia pun tidak mendapatkan rasa harap akan pahala-Nya maupun rasa takut akan siksa-Nya. Ia merasa tersiksa dalam shalatnya sampai ia selesai mengerjakannya. Sebab, kebahagiaan dan kesenangan hanya ia rasakan ketika dapat memenuhi keinginan nafsu dan hasrat duniawi.
Perumpamaan golongan kedua – yang merasakan nikmat shalat – adalah seperti orang yang memasuki istana raja, lalu disingkapkan untuknya tirai penghalang antara dirinya dan sang raja sehingga ia merasa bahagia, karena dapat bertatap muka dan berjumpa dengan rajanya. Ia berdiri di hadapan rajanya seraya melayaninya dengan terus melakukan ketaatan dan pengabdian. Ia menjalankan semua perintah dan keinginan rajanya dengan khusyuk, tulus, dan penuh perhatian.
Maka, sebagai balasan, kadang-kadang raja memberinya hadiah berupa berbagai macam cindera mata dan mendekatkan kedudukannya. Ia mendapat curahan kasih-sayang sang raja karena ia sendiri tidak pernah berpaling sedikit pun dari hadapan sang raja. Ia mendapatkan kenikmatan dan kebahagiaan karena dekat kepada sang raja, menghambakan diri kepadanya, bermunajat kepadanya, mendengarkan dengan saksam setiap ucapan dan titahnya, serta merendahkan diri di hadapannya. Ia terus berusaha agar bisa berbicara secara rahasia dengan sang raja.
TUJUAN SHALAT: Sesungguhnya Aku inilah Allah. Tidak ada tuhan yang haq selain Aku. Maka sembahlah Aku dan tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku[20: 14]
Dalam situasi seperti itu, segala hadiah, anugerah, dan balasan baik berdatangan kepadanya dari segala penjuru.
Jiwa orang yang dekat kepada Allah akan senantiasa merasa tenang dan tenteram. Hatinya khusyuk menghadap Tuhannya, begitu pula semua anggota tubuhnya. Ia mencapai kesenangan dan kebahagiaan dengan menyembah Allah, seakan-akan ia melihat-Nya. Seakan-akan ia merasa bahwa Allah memperlihatkan diri melalui kalam-Nya. Karenanya, hal yang paling berat dirasakannya adalah bila ia beranjak dari hadapan-Nya dan keluar dari shalatnya.
Semoga Allah memberikan taufik, hidayah, dan pertolongan-Nya kepada kita semua. Sampai di sini pembahasan ringkas mengenai rahasia shalat yang merupakan salah satu wujud penghambaan diri seorang hamba.