PENJELASAN SECARA GARIS BESAR.
1. Di dalam al-Qur’ān, Allah s.w.t. telah memberitakan kasus disembelihnya Ismā‘īl oleh tangan ayahnya, Ibrāhīm, seperti yang difirmankan oleh-Nya:
“Maka tatkala ia sampai (pada umur mampu) berusaha bersama-sama Ibrāhīm, Ibrāhīm berkata: Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah, apa pendapatmu? Ia menjawab: Hai bapakku kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, In syā’ Allāh kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. Tatkala keduanya berserah diri dan Ibrāhīm membaringkannya atas pelipisnya, nyatalah kesabaran keduanya.” (37: 102-103).
Ibrāhīm bermimpi menyembelih putranya Ismā‘īl, padahal menurut tafsir ad-Durr-ul-Mantsūr, mimpi para Nabi adalah wahyu. (ad-Durr-ul-Mantsūr, jilid V, hal. 280). Dengan demikian, mimpi tersebut adalah mimpi yang benar, yang menjelaskan kejadian yang benar-benar akan terjadi, yaitu, pertama, perintah Allah kepada Ibrāhīm untuk menyembelih putranya; dan kedua, terjadinya mimpi tersebut di dalam kenyataan. Dengan demikian, firman Allah: “Sesungguhnya aku melihat di dalam mimpi aku menyembelihmu” menyingkap dua hal: perintah menyembelih putra sebagai perintah tasyrī‘ī, dan terjadinya pelaksanaan mimpi itu pada dunia nyata. Mula-mula Ibrāhīm a.s. diberitahu oleh Allah melalui wahyu, selanjutnya hal itu diberitahukannya kepada putranya. Ternyata, walaupun perintah tersebut benar-benar dilaksanakan oleh Ibrāhīm, tetapi tidak terjadi, karena telah di-naskh secara tasyrī‘ī. Sedangkan penyembelihan Ibrāhīm atas Ismā‘īl yang tidak terjadi di luar mimpi, merupakan naskh yang bersifat takwīnī. Dua masalah ini dijelaskan oleh firman Allah:
(وَ فَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ)
“Dan Kami telah tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (37: 107).
Dengan demikian, setiap orang yang beriman kepada al-Qur’ān dan as-Sunnah, harus memecahkan kemusykilan tersebut. Bagaimanapun, hal itu pasti menjadi tanda tanya dalam benak manusia, yakni: bagaimana mungkin seorang Nabi memberitakan masalah ghaib yang kemudian tidak terjadi? Pemecahan masalah ini tidak hanya harus dilakukan oleh kelompok tertentu saja, akan tetapi oleh semua kelompok dalam Islam.
2. Kisah Nabi Yūnus dengan kaumnya, yaitu ketika Allah s.w.t. berfirman:
(فَلَوْ لاَ كَانَتْ قَرْيَةٌ آمَنَتْ فَنَفَعَهَا إِيمَانُهَا إِلاَّ قَوْمَ يُونُسَ لَمَّا آمَنُوا كَشَفْنَا عَنْهُمْ عَذَابَ الْخِزْيِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَ مُتَّعْنَاهُمْ إِلى حِينٍ)
“Dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepada mereka selain kaum Yūnus? Tatkala mereka itu (kaum Yūnus itu) beriman, Kami hilangkan dari mereka adzab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka hingga waktu yang tertentu.” (10: 98).
Menurut beberapa ahli tafsir, kaum Nabi Yūnus tinggal di daerah Niniveh, sekitar Maushil. Oleh Nabi Yūnus mereka diseru kepada Islam, akan tetapi mereka enggan. Oleh kerana itu Nabi Yūnus memberitakan kepada mereka bahwa sebelum tiga jam dinihari, mereka akan ditimpa adzab. Namun adzab itu tidak terjadi. (Majma‘-ul-Bayān, jilid V, hal.135). Dengan demikian, muncul pertanyaan yang sama dengan pertanyaan sebelumnya, yang harus dicarikan solusinya dari al-Qur’ān dan as-Sunnah.
3. Kisah Nabi Mūsā putra ‘Imrān a.s. dengan kaumnya. Pada mulanya beliau berjanji kepada mereka, bahwa beliau akan pergi selama tiga puluh malam, akan tetapi ternyata ditambah sepuluh malam lagi, sehingga menjadi empat puluh malam. Mūsā berkata kepada saudaranya, Hārūn: “Jadilah khalifah bagi kaumku, perbaikilah mereka dan janganlah engkau ikuti jalannya orang-orang yang merusak.” (8: 42).
Mūsā telah memberitakan kepada mereka bahwa beliau akan pergi selama tiga puluh hari, seperti diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās: “Sesungguhnya Mūsā berkata kepada kaumnya, benar-benar Tuhanku menjanjikan kepadaku selama tiga puluh malam untuk bertemu dengan-Nya, dan Hārūn dijadikan khalifah untuk kalian. Ketika Mūsā berjumpa dengan Tuhannya, Dia menambahnya sepuluh malam, sehingga fitnah pun terjadi pada sepuluh malam yang ditambah oleh Allah tersebut.” (Tafsīr al-Bayān, Jilid III, hal. 115).
Beberapa pemberitaan yang diberitakan oleh Nabi yang tidak terjadi ini, telah melahirkan pertanyaan yang serupa dengan pertanyaan sebelumnya.
Berikut ini adalah beberapa pemberitaan yang sama, yang terdapat di dalam hadits:
4. Diriwayatkan oleh Imām Shādiq r.a. bahwa beliau berkata: “Sesungguhnya ‘Īsā, Rūḥullāh, melewati suatu kaum yang sedang bersuka-ria, beliau bertanya: “Ada apa gerangan dengan mereka?” Yā Rasūlullāh…..! Pada malam ini, fulānah (wanita) binti fulān telah dihadiahkan kepada fulān,” jawab orang-orang di sekitarnya. Nabi ‘Īsā berkata: “Hari ini mereka bersuka-ria, dan besok mereka akan menangis…..” Salah seorang di antara mereka berkata: “Mengapa demikian yā Rasūlullāh?’ Nabi ‘Īsā menjawab: “Karena pengantin perempuan malam ini akan mati.” Orang pun berkata: “Maha Benar Allah, dan benarlah Rasūl-Nya.” Sedangkan orang-orang munafik berkata: “Betapa dekatnya besok.” Ketika waktu subuh tiba, mereka berdatangan ke rumah wanita itu, dan ternyata mereka mendapatinya seperti biasa, dan tidak terjadi apa-apa terhadap pengantin wanita tersebut. Mereka pun berkata: “Wahai Rūḥullāh sesungguhnya orang yang telah engkau beritakan kepada kami kemarin, bahwa ia akan mati, ternyata tidak mati.” ‘Īsā, menurut riwayat Nabi dan Ahl-ul-Baitnya, berkata: “Allah melakukan apa yang Dia kehendaki; marilah kita pergi menemui dia!” Mereka pun berduyun-duyun pergi. Setelah sampai, di antara mereka ada yang mengetuk pintu. Sang suami keluar, dan Nabi ‘Īsā berkata kepadanya: “Idzinkanlah aku berbicara dengan istrimu.” Si suami pun masuk memberitahu istrinya, bahwa Rūḥullāh (‘Īsā a.s.) beserta orang banyak akan berbicara dengannya. Setelah istrinya bersedia, Nabi ‘Īsā pun masuk, dan bertanya kepadanya: “Apa yang telah engkau lakukan malam ini?” Si istri menjawab: “Aku tidak berbuat sesuatu, hanya saya telah menjadi kebiasaan, ada seorang peminta-minta yang, selalu mendatangi kami pada setiap malam Jum‘at, dan kami pun selalu memberinya makan. Lalu pada malam ini, di saat aku sibuk dengan urusanku dan urusan keluargaku, ia datang dan memberitahukan kedatangannya kepada kami, tapi tidak seorang pun di antara kami yang menyambutnya. Ia pun memberitahukan sekali lagi, tapi tetap tidak mendapat jawaban. Hal itu dilakukannya beberapa kali. Ketika aku mendengarnya, aku bangun dan memberinya apa yang biasa kami berikan kepadanya.” Nabi ‘Īsā kemudian berkata kepadanya: “Bangunlah dari tempat dudukmu!” Ternyata di bawah tempat duduknya ada seekor ular yang menyerupai batang pohon, melingkar sambil menggigit ekornya. Nabi ‘Īsā berkata lagi kepadanya: “Dengan apa yang telah engkau lakukan itulah ular ini dipalingkan darimu.” (Biḥār-ul-Anwār, Jilid IV, hlm. 94).
Di sini, pertanyaan yang sama, lagi-lagi muncul kembali.
5. Malaikat maut telah datang kepada Nabi Dāūd a.s. dan memberitahukan bahwa seorang pemuda yang duduk di sampingnya akan meninggal tujuh hari lagi. Maka Dāūd pun menyayanginya sampai tujuh hari, dan setelah lewat masa itu, ternyata pemuda tersebut tidak meninggal. Malaikat maut pun datang dan berkata kepada Dāūd: “Hai Dāūd! Sesungguhnya Allah s.w.t. menyayanginya karena kasih-sayangmu kepadanya, sehingga ajalnya ditangguhkan selama tiga puluh tahun. (Biḥār-ul-Anwār, Jilid IV, hlm. 112).
6. Allah s.w.t. memberitahukan kepada Nabi Ādam a.s. nama-nama para Nabi dan umur-umur mereka. Kemudian Ādam mendapati nama Dāūd, umurnya di dunia adalah empat puluh tahun. Ādam berkata: “Wahai Tuhanku! Betapa pendeknya umur Dāūd, dan betapa panjangnya umurku. Ya Tuhanku, sekiranya tiga puluh dari umurku aku relakan buat Dāūd, apakah Engkau merelakannya?” Allah s.w.t. menjawab: “Ya, wahai Ādam.” Selanjutnya Ādam berkata: “Sesungguhnya aku telah menambahkan kepadanya tiga puluh tahun dari umurku, maka Allah menetapkan tambahan tiga puluh tahun kepada Dāūd.” (Biḥār-ul-Anwār, Jilid IV, hlm. 102).
7. Melalui wahyu, Allah memberitahu kepada salah seorang Nabi-Nya agar mengabarkan kepada seorang raja, bahwa Allah akan mencabut nyawanya pada umur sekian dan saat demikian. Lalu Nabi tersebut memberitahukan berita itu kepada sang raja. Di kala raja itu berdoa kepada Allah, ia berkata: “Ya Tuhan, tundalah ajalku, sehingga anakku tumbuh menjadi dewasa, dan sampai aku meyelesaikan urusanku,” maka Allah ‘azza wa jalla mewahyukan hal tersebut kepada salah seorang Nabi-Nya agar menemui raja itu, dan mengabarkan kepadanya bahwa Allah telah menunda ajalnya, dan menambah umurnya lima belas tahun. (Biḥār-ul-Anwār, Jilid IV, hlm. 102).
8. Seorang Yahudi berpapasan dengan Nabi s.a.w., lalu orang itu berkata: “As-Sāmu ‘Alaika” (Celakalah engkau Muḥammad!). Nabi pun menjawab “Wa ‘Alaika” (Dan juga untukmu). Para sahabat Nabi berkata: “Sesungguhnya dia telah mengucapkan salam kematian kepada engkau.” Nabi s.a.w. berkata: “Aku telah menjawabnya dengan jawaban demikian juga untukmu.” Kemudian Nabi s.a.w. berkata lagi kepada para sahabatnya: “Sesungguhnya orang Yahudi itu akan digigit ular ditengkuknya, kemudian dia akan mati.” Selang beberapa waktu, Yahudi itu berjalan sambil membawa setumpuk kayu bakar. Itu berarti bahwa dia tidaklah mati sebagaimana dikabarkan oleh Nabi. Rasūlullāh s.a.w. berkata kepadanya: “Letakkan kayu itu!” Maka Yahudi itu pun meletakkan kayu bakar tersebut. Setelah dibuka, di dalam kayu tersebut ternyata ada seekor ular sedang mengigit kayu. Nabi s.a.w. bersabda: “Hai Yahudi, amalan apa yang telah engkau lakukan hari ini?” Orang Yahudi itu menjawab: “Aku tidak melakukan apa-apa, kecuali aku datang dengan membawa kayu bakar ini, dan aku mempunyai dua potong roti, yang satu potong aku makan, sedangkan yang satu potong lagi aku sedekahkan kepada orang miskin.” Rasūlullāh s.a.w. kemudian bersabda: “Dengan sedekah itulah Allah menghindarkan kematian dari engkau.” Beliau juga bersabda: “Sesungguhnya sedekah dapat menolak kematian yang buruk dari manusia.” (Biḥār-ul-Anwār, Jilid IV, hlm. 121).
9. Diriwayatkan dari ‘Amr bin al-Ḥumq, dia berkata: “Aku masuk menemui Amīr-ul-Mu’minīn r.a. ketika itu beliau sedang memegang ubun-ubunnya, kemudian berkata kepadaku: “Hai ‘Amr, sungguh aku akan berpisah dengan kalian.” Lalu beliau berkata lagi: “Pada tahun ke tujuh puluh (Hijrah), akan terjadi suatu bencana,” beliau mengulang perkataan itu sampai tiga kali. Lalu aku bertanya: “Apakah setelah bencana itu akan ada kebahagiaan?” Tapi beliau tidak menjawab, malah beliau tampak seperti termenung. Ummi Kultsum pun menangis sejadi-jadinya. Maka beliau berkata: “Hai Ummi Kultsum, jangan sakiti aku. Seandainya engkau tahu apa yang aku lihat, niscaya engkau tidak akan menangis. Sesungguhnya para malaikat yang berada di tujuh langit berlapis, yang satu berada di belakang yang lain, dan para Nabi berada di belakang mereka, dan Muḥammad s.a.w. bersabda: “Pergilah hai ‘Alī; apa yang berada di depanmu adalah baik untukmu selagi kamu berada di situ.” Maka aku (‘Amr) berkata: “Demi ayah, Tuan, dan ibuku, Tuan mengatakan bahwa pada tahun ke tujuh puluh akan terjadi bencana; lalu apakah setelah tahun tujuh puluh itu akan ada kebahagiaan?” Beliau menjawab: “Ya, wahai ‘Amr, sesungguhnya setelah bencana itu akan ada kebahagiaan: “Allah menghapus apa yang Dia kehendaki dan menetapkannya; di sisi-Nya terdapat Umm-ul-Kitāb (Lawḥ Maḥfūzh).” (Biḥār-ul-Anwār, Jilid IV, hlm. 118).