Semua hamba berada di dalam dua keadaan berkaitan dengan Tuhannya. Pertama, hukum Tuhan berlaku atas dirinya dalam semua keadaannya, baik lahir maupun batin. Karena itu, ia dituntut menegakkan penghambaan dirinya kepada segala hukum dan ketentuan-Nya. Dan memang sesungguhnya segala sesuatu memiliki hukum penghambaan diri yang khusus. Hukum yang dimaksud di sini adalah hukum alam yang sudah menjadi ketetapan segala sesuatu.
Kedua, berkaitan dengan perbuatan setiap hamba, penting untuk ditekankan bahwa semua perbuatan yang dilakukan harus ditujukan sebagai bentuk penghambaan kepada Allah, Sang Maha Pencipta. Setiap hamba harus menundukkan dirinya kepada Allah sebagai hamba dan budak-Nya dalam setiap gerak dan perbuatannya. Ini diwajibkan atasnya berdasarkan hukum agama yang diturunkan kepadanya.
Dalam kedua keadaan itu setiap hamba harus berserah diri kepada Allah. Karena itu, para pengikut Rasulullah s.a.w. disebut muslim, yang berasal dari akar kata aslama, yang berarti berserah diri. Sebab, ketika seorang hamba berserah diri kepada hukum Allah yang disampaikan dan diturunkan kepadanya, dan juga kepada hukum alam yang sudah menjadi ketetapan atas dirinya dengan menegakkan penghambaan kepada Tuhan melalui shalatnya maka ia berhak menyandang predikat sebagai muslim. Bukanlah muslim, orang yang mengumbar nafsu dan melakukan berbagai perbuatan yang bertentangan dengan kehendak serta perintah Allah seraya mengatakan: “Telah ditakdirkan demikian atas diriku.” Seorang muslim adalah orang yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada hukum Allah dan hukum alam (sunnatullah) yang berlaku atas dirinya.
Shalat merupakan salah satu bentuk penghambaan kepada Allah. Semua ucapan dan gerakan yang dilakukan dalam shalat menggambarkan kerendahan, kehinaan, dan ketundukkan hamba di hadapan Tuhan. Seluruh anggota tubuh, hati dan pikiran dipusatkan dan dihadapkan hanya kepada Allah. Kemudian, setelah memuja, menyanjung, mengagungkan, dan menyucikan Allah dari segala sesuatu yang tidak layak untuk-Nya, seorang hamba mengakhiri shalatnya dengan ucapan salam, seraya menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri. Ucapan salam itu menandai peralihan dari kedudukan sebagai hamba yang sedang munajat kepada Allah sebagai bentuk penghambaan dan hamba yang pasrah kepada segala ketentuan serta hukum yang telah ditetapkan Allah atas dirinya.
Manakala hati seorang hamba merasa tenteram dengan berzikir kepada Allah, senang membaca kalam-Nya, nikmat mencintai-Nya dan menghambakan diri kepada-Nya, niscaya a merasa selalu diliputi rasa tenang bersama Tuhannya, menikmati
“Apabila seseorang mebaikkan shalatnya, menyempurnakan rukuk dan sujudnya, berkatalah sang shalat: “Semoga Allah memelihara engkau sebagaimana engkau memelihara aku.” Maka, diangkatlah shalatnya itu ke hadirat Allah s.w.t. Dan, apabila seseorang memburukkan shalatnya dan tidak menyempurnakan rukuk dan sujudnya, berkatalah sang shalat: “Semoga Allah menyia-nyiakan engkau sebagaimana engkau menyia-nyiakan aku.” Maka, dibungkuslah shalatnya itu sebagaimana membungkus kain yang buruk. Lalu, dipukulkannya ke mukanya.”Hadis Nabi.
kedekatan dengan-Nya, dan selalu bahagia saat bermunajat kepada-Nya. Selanjutnya ia akan mendapatkan rasa aman dan nyaman karena beriman kepada-Nya, dan meraih kebahagiaan karena terus mendapatkan kebajikan-Nya. Bagi seorang hamba, dua keadaan itulah yang setiap saat ia perjuangkan. Sebab, tanpa ketenangan dan kebahagiaan, hidupnya sama sekali tidak berarti. Sepanjang hidup ia terus berusaha mewujudkan keduanya dengan cara menghambakan diri kepada Allah dan tunduk kepada segala kehendak-Nya.
Namun, upaya untuk mewujudkan keduanya membutuhkan perjuangan yang sangat berat dan sulit. Sebab, selain dibekali akal dan hati, manusia juga dilengkapi dengan kekuatan nafsu dan syahwat yang setiap saat terus menunjukkan, mengarahkan, dan mengajaknya kepada keburukan. Nafsu dalam diri manusia terus menuntutnya untuk memenuhi hasrat nafsu. Keadaannya makin berat karena setan pun terus berjuang untuk menjerumuskan semua manusia ke dalam kehinaan dan kehancuran. Namun, dengan rahmat, kasih-sayang, dan kemurahan-Nya, Allah memberikan jalan dan sarana yang sangat indah kepada manusia untuk meraih ketenangan, keyakinan, dan kebahagiaan. Dia memerintahkan shalat kepada mereka sebagai rahmat dari-Nya. Sebab, shalat dapat menggantikan apa yang telah hilang darinya, berupa ketenangan, kenikmatan, dan kebahagiaan. Shalat dapat memperbarui tekad dan semangat yang telah hilang darinya serta menyempurnakan kembali bagian keimanannya yang rapuh. Lima waktu shalat yang diperintahkan Allah menjadi pengingat dan cara untuk meraih kebajikan dan kasih-sayangNya agar ia dapat menghimpun kembali semangat dan tekadnya serta membersihkannya dari kekeruhan yang diakibatkan perbuatannya.
Allah menjadikan kenikmatan dalam ibadah shalat untuk membersihkan kembali hati dan jiwa seorang hamba dari kotoran yang diakibatkan perbuatannya. Namun, setiap hamba dituntut bersikap khusyuk, tunduk, dan merendahkan diri, serta memberikan kepada masing-masing anggota tubuhnya tugas penghambaan yang harus dilakukannya. Bila mereka menunaikan shalat dengan penuh kekhusyukan, ketulusan, dan ketenangan seperti itu, Allah menjanjikan balasan kebaikan yang berlimpah untuk mereka. Allah juga menyediakan pahala dan balasan kebaikan sejak ia meniatkan diri untuk menunaikan shalat, lalu beranjak menuju tempat shalat, memasuki rumah-Nya, dan menghias dirinya untuk menghadap dan bermunajat kepada-Nya. Semua itu harus dilakukan seorang hamba sebagai wujud penghambaan dirinya kepada Allah dan dalam rangka mempersiapkan dirinya menghadapi hari perjumpaan dengan-Nya kelak di hari kiamat.