حَدَّثَنَا أَبُوْ عَمْرِو بْنُ حَمْدَانَ، ثَنَا الْحَسَنُ بْنُ سُفْيَانَ، ثَنَا عَلِيُّ بْنُ مَيْمُوْنٍ الْعَطَّارُ، وَ الْحَسَنُ الْبَزَّازُ، قَالَا: ثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيْمَ الْحُنَيْنِيُّ، ثَنَا أُسَامَةُ بْنُ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ أَبِيْهِ، عَنْ جَدِّهِ، قَالَ: قَالَ لَنَا عُمَرُ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ: أَتُحِبُّوْنَ أَنْ أُعْلِمَكُمْ أَوَّلَ إِسْلَامِيْ؟ قُلْنَا: نَعَمْ، قَالَ: كُنْتُ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَدَاوَةً إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ، قَالَ: فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِيْ دَارٍ عِنْدَ الصَّفَا، فَجَلَسْتُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَأَخَذَ بِمَجْمَعِ قَمِيْصِيْ ثُمَّ قَالَ: «أَسْلِمْ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، اللهُمَّ اهْدِهِ»، قَالَ: فَقُلْتُ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ، وَ أَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُوْلُ اللهِ، قَالَ: فَكَبَّرَ الْمُسْلِمُوْنَ تَكْبِيْرَةً سُمِعَتْ فِيْ طُرُقِ مَكَّةَ، قَالَ: وَ قَدْ كَانُوْا مُسْتَخْفِيْنَ، وَ كَانَ الرَّجُلُ إِذَا أَسْلَمَ تَعَلَّقَ الرِّجَالُ بِهِ فَيَضْرِبُوْنَهُ وَ يَضْرِبُهُمْ، فَجِئْتُ إِلَى خَالِي فَأَعْلَمْتُهُ، فَدَخَلَ الْبَيْتَ وَ أَجَافَ الْبَابَ، قَالَ: وَ ذَهَبْتُ إِلَى رَجُلٍ مِنْ كِبَارِ قُرَيْشٍ فَأَعْلَمْتُهُ فَدَخَلَ الْبَيْتَ، فَقُلْتُ فِيْ نَفْسِيْ: مَا هذَا بِشَيْءٍ، النَّاسُ يُضْرَبُوْنَ وَ أَنَا لَا يَضْرِبُنِيْ أَحَدٌ، فَقَالَ رَجُلٌ: أَتُحِبُّ أَنْ يُعْلَمَ بِإِسْلَامِكَ؟ قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: إِذَا جَلَسَ النَّاسُ فِي الْحِجْرِ فَائْتِ فُلَانًا وَ قُلْ لَهُ: صَبَوْتُ، فَإِنَّهُ قَلَّ مَا يَكْتُمُ سِرًّا، فَجِئْتُهُ فَقُلْتُ: تَعْلَمُ أَنِّيْ قَدْ صَبَوْتُ؟ فَنَادَى بِأَعْلَى صَوْتِهِ إِنَّ ابْنَ الْخَطَّابِ قَدْ صَبَأَ، فَمَا زَالُوْا يَضْرِبُوْنَنِيْ وَ أَضْرِبُهُمْ، فَقَالَ خَالِيْ: يَا قَوْمُ إِنِّيْ قَدْ أَجَرْتُ ابْنَ أُخْتِيْ، فَلَا يَمَسَّهُ أَحَدٌ، فَانْكَشَفُوْا عَنِّيْ، فَكُنْتُ لَا أَشَاءُ أَنْ أَرَى أَحَدًا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ يُضْرَبُ إِلَّا رَأَيْتُهُ فَقُلْتُ: النَّاسُ يُضْرَبُوْنَ وَ لَا أُضْرَبُ، فَلَمَّا جَلَسَ النَّاسُ فِي الْحِجْرِ أَتَيْتُ خَالِيْ، قَالَ: قُلْتُ: تَسْمَعُ؟ قَالَ: مَا أَسْمَعُ؟ قُلْتُ: جِوَارُكَ رَدٌّ عَلَيْكَ، قَالَ: لَا تَفْعَلْ، قَالَ: فَأَبَيْتُ، قَالَ: فَمَا شِئْتَ، قَالَ: فَمَا زِلْتُ أَضْرِبُ وَ أُضْرَبُ حَتَّى أَظْهَرَ اللهُ تَعَالَى الْإِسْلَامَ “
قَالَ الشَّيْخُ رَحِمَهُ اللهُ: كَانَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ مُخَصَّصًا بِالسَّكِيْنَةِ فِي [ص: 42] الْإِنْطَاقِ، وَ مُحَرَّزًا مِنَ الْقَطِيْعَةِ وَ الْفِرَاقِ، وَ مُشْهَرًا فِي الْأَحْكَامِ بِالْإِصَابَةِ وَ الْوِفَاقِ.
وَ قَدْ قِيْلَ: إِنَّ التَّصَوُّفَ الْمُوَافَقَةُ لِلْحَقِّ، وَ الْمُفَارَقَةُ لِلْخَلْقِ
95. Abū ‘Amr bin Ḥamdān menceritakan kepada kami, al-Ḥasan bin Sufyān menceritakan kepada kami, ‘Alī bin Maimūn al-‘Aththār dan al-Ḥasan al-Bazzāz menceritakan kepada kami, keduanya berkata: Isḥāq bin Ibrāhīm al-Ḥunainī menceritakan kepada kami, Usāmah bin Zaid bin Aslam menceritakan kepada kami, dari ayahnya, dari kakeknya, dia berkata: ‘Umar r.a. berkata kepada kami: “Maukah kalian kuberitahu awal mula keislamanku?” Kami menjawab: “Mau.” Dia berkata: “Dahulu aku termasuk orang yang paling keras memusuhi Rasūlullāh s.a.w.” ‘Umar melanjutkan: Lalu aku mendatangi Nabi s.a.w. di sebuah rumah di bukit Shafā, lalu duduk di hadapannya. Beliau memegang ikatan gamisku dan berkata: “Masuk Islamlah, wahai Ibnu Khaththāb! Ya Allah, berilah dia hidayah.”
‘Umar melanjutkan: Lalu aku berkata: “Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa engkau adalah Utusan Allah. Kemudian kaum muslimin bertakbir dengan suara takbir yang terdengar di jalan-jalan Makkah.” ‘Umar melanjutkan: “Mereka adalah orang-orang yang lemah. Apabila seseorang masuk Islam, maka orang-orang akan mengeroyoknya dan memukulnya, dan dia membalas memukul mereka. Lalu aku datang kepada pamanku untuk memberitahunya tentang keislamanku. Dia masuk rumah dan menutup pintu.”
‘Umar melanjutkan: “Kemudian aku pergi menemui salah seorang pembesar Quraisy untuk memberitahunya, dan dia pun masuk rumah. Kemudian aku berkata dalam hati: “Ini tidak masalah bagiku. Orang-orang dipukuli, sedangkan aku, tidak seorang pun yang memukulku”. Kemudian seseorang berkata: “Apakah kamu ingin keislamanmu diketahui banyak orang?” Aku menjawab: “Ya”. Dia berkata: “Jika orang-orang duduk di Ḥajar Aswad, maka datangilah fulan dan katakan kepadanya bahwa engkau telah keluar dari agama nenek moyang, karena dia jarang sekali bisa menutupi rahasia.” Kemudian aku mendatanginya dan berkata: “Kamu tahu bahwa aku telah keluar dari agama nenek moyang?” Benar saja, dia berteriak dengan suara yang sekeras-kerasnya bahwa ‘Umar bin Khaththāb telah keluar dari agama nenek moyang. Kemudian, mereka tidak henti-hentinya memukuliku, dan aku membalas pukulan mereka. Lalu pamanku berkata: “Hai orang-orang Quraisy! Aku memberi suaka kepada keponakanku itu. Jangan ada seorang pun yang menyentuhnya!” Kemudian mereka pun menyingkir dariku. Aku tidak ingin melihat salah seorang dari kaum muslimin yang dipukul, melainkan aku melihatnya dan berkata dalam hati: “Orang-orang dipukuli, sedangkan aku tidak”. Ketika orang-orang duduk di Ḥajar Aswad, aku mendatangi pamanku dan berkata: “Apakah kamu dengar?” Dia bertanya: “Apa yang kudengar?” Aku berkata: “Suakamu telah kukembalikan kepadamu”. Dia berkata: “Jangan lakukan itu!”
‘Umar melanjutkan: “Aku kemudian menolak permintaannya itu. Lalu, terus-menerus dipukuli hingga Allah menenangkan Islam.”
Syaikh (Abū Nu‘aim) berkata: ‘Umar r.a. dikarunia keistimewaan berupa ketenangan dalam tutur katanya, terjaga dari tindakan memutus sesuatu yang tersambung dan memecah sesuatu yang bersatu, serta dikaruniai ketetapan dalam menetapkan hukum.
Sebuah petuah mengatakan bahwa: Tashawwuf adalah menyesuaikan diri dengan Yang Ḥaqq dan memisahkan diri dari Makhluq.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ مَخْلَدٍ، ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوْنُسَ الْكَدِيْمِيُّ، ثَنَا عُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ، ثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ، عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ، قَالَ: قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِيْ طَالِبٍ – كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ – «كُنَّا نَتَحَدَّثُ أَنَّ مَلَكًا يَنْطِقُ عَلَى لِسَانِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ»
96. Muḥammad bin Aḥmad bin Makhlad menceritakan kepada kami, Muḥammad bin Yūnus al-Kadīmī menceritakan kepada kami, ‘Utsmān bin ‘Umar menceritakan kepada kami, Syu‘bah menceritakan kepada kami, dari Qais bin Muslim, dari Thāriq bin Syihāb, dia berkata: ‘Alī bin Abī Thālib r.a. berkata: “Kami pernah berbincang-bincang, bahwa malaikat berbicara melalui lisannya ‘Umar r.a.”
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ الْحَسَنِ، ثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ الْوَلِيْدِ، ثَنَا عَبْدُ الرَّحْمنِ بْنُ نَافِعٍ، ثَنَا مَرْوَانُ بْنُ مُعَاوِيَةَ، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَيُّوْبَ الْبَجَلِيِّ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ أَبِيْ حُجَيْفَةَ، قَالَ: قَالَ عَلِيٌّ – كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ – «مَا كُنَّا نُبْعِدُ أَنَّ السَّكِيْنَةَ تَنْطِقُ عَلَى لِسَانِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ»
97. Muḥammad bin Aḥmad bin al-Ḥasan menceritakan kepada kami, al-Ḥasan bin ‘Alī bin Walīd menceritakan kepada kami, ‘Abd-ur-Raḥmān bin Nāfi‘menceritakan kepada kami, Marwān bin Mu‘āwiyah menceritakan kepada kami, dari Yaḥyā bin Ayyūb al-Bajalī, dari asy-Sya‘bī, dari Abū Ḥujaifah, dia berkata: ‘Alī r.a. berkata: “Kami tidak menganggap aneh bahwa ketenangan berbicara melalui lisan ‘Umar r.a.”
حَدَّثَنَا سَعْدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ، ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُثْمَانَ بْنِ أَبِيْ شَيْبَةَ، ثَنَا طَاهِرُ بْنُ أَبِيْ أَحْمَدَ، ثَنَا أَبِيْ أَحْمَدَ، ثَنَا أَبُوْ إِسْرَائِيْلَ، عَنِ الْوَلِيْدِ بْنِ الْعَيْزَارِ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مَيْمُوْنٍ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ، كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ قَالَ: مَا كُنَّا نُنْكِرُ – وَ نَحْنُ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مُتَوَافِرُوْنَ – أَنَّ السَّكِيْنَةَ تَنْطِقُ عَلَى لِسَانِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ
98. Sa‘īd bin Muḥammad bin Isḥāq menceritakan kepada kami, Muḥammad bin ‘Utsmān bin Abī Syaibah menceritakan kepada kami, Thāhir bin Abī Aḥmad menceritakan kepada kami, ayahku menceritakan kepada kami, Abū Isrā’īl menceritakan kepada kami, dari Walīd bin ‘Aizār, dari ‘Amr bin Maimūn, dari ‘Alī bin Abī Thālib r.a., dia berkata: “Kami – para sahabat Rasūlullāh s.a.w. seluruhnya – tidak mengingkari bahwa ada ketenangan berbicara melalui lisannya ‘Umar r.a.”
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ، ثَنَا عَمْرُو بْنُ أَبِي الطَّاهِرِ، ثَنَا سَعِيْدُ بْنُ أَبِيْ مَرْيَمَ، ثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ، عَنْ جَهْمِ بْنِ أَبِي الْجَهْمِ، عَنْ مِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ، عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: «إِنَّ اللهَ تَعَالَى عَزَّ وَ جَلَّ جَعَلَ الْحَقَّ عَلَى لِسَانِ عُمَرَ وَ قَلْبِهِ»
99. Sulaimān bin Aḥmad menceritakan kepada kami, ‘Amr bin Abī Thāhir menceritakan kepada kami, Sa‘īd bin Abū Maryam menceritakan kepada kami, ‘Abdullāh bin ‘Umar menceritakan kepada kami, dari Jahm bin Abī Jahm, dari Miswar bin Makhramah, dari Abū Hurairah, dari Nabi s.a.w., beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah s.w.t. meletakkan kebenaran pada lisan dan hatinya ‘Umar.”
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ مُسْلِمٍ، ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ الْمُنْذِرِ، ثَنَا سَعِيْدُ بْنُ عَامِرٍ، ثَنَا جُوَيْرِيَةُ بْنُ أَسْمَاءَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنْ عُمَرَ، رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمَا قَالَ: وَافَقْتُ رَبِّيْ عَزَّ وَ جَلَّ فِيْ ثَلَاثٍ: فِيْ مَقَامِ إِبْرَاهِيْمَ، وَ فِي الْحِجَابِ، وَ فِيْ أُسَارَى بَدْرٍ” رَوَاهُ حُمَيْدٌ وَ عَلِيُّ بْنُ زَيْدٍ وَ الزُّهْرِيُّ، عَنْ أَنَسٍ، مِثْلَهُ
100. Muḥammad bin ‘Alī bin Muslim menceritakan kepada kami, Muḥammad bin Yaḥyā bin al-Mundzir menceritakan kepada kami, Sa‘īd bin ‘Āmir menceritakan kepada kami, Juwairiyyah bin Asmā’ menceritakan kepada kami, dari Nāfi‘, dari Ibnu ‘Umar, dari ‘Umar r.a., dia berkata: “Aku menempati firman Tuhanku dalam tiga hal, yaitu tentang Maqām Ibrāhīm, Ḥijāb dan para tawanan Perang Badar.”
Ḥumaid, ‘Alī bin Zaid dan az-Zuhrī meriwayatkannya dengan redaksi yang sama.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ الْحَسَنِ، ثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ، قَالَ: حَدَّثَنِيْ أَبِيْ، ثَنَا أَبُوْ نُوْحٍ قُرَادٌ، ثَنَا عِكْرِمَةُ بْنُ عَمَّارٍ، ثَنَا سِمَاكٌ أَبُوْ زُمَيْلٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي ابْنُ عَبَّاسٍ، قَالَ: حَدَّثَنِيْ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمَا قَالَ: لَمَّا كَانَ يَوْمُ بَدْرٍ فَهَزَمَ اللهُ الْمُشْرِكِيْنَ، فَقُتِلَ مِنْهُمْ سَبْعُوْنَ وَ أُسِرَ مِنْهُمْ سَبْعُوْنَ، اسْتَشَارَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَبَا بَكْرٍ وَ عُمَرَ وَ عَلِيًّا رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ. فَقَالَ لِيْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: «مَا تَرَى يَا ابْنَ الْخَطَّابِ؟» [ص: 43] ، قَالَ: فَقُلْتُ: أَرَى أَنْ تُمَكِّنَنِيْ مِنْ فُلَانٍ – قَرِيْبٍ لِعُمَرَ – فَأَضْرِبَ عُنُقَهُ، وَ تُمَكِّنَ عَلِيًّا مِنْ عَقِيْلٍ فَيَضْرِبَ عُنُقَهُ، وَ تُمَكِّنَ حَمْزَةَ مِنْ فُلَانٍ فَيَضْرِبَ عُنُقَهُ، حَتَّى يَعْلَمَ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ أَنَّهُ لَيْسَ فِيْ قُلُوْبِنَا هَوَادَةٌ لِلْمُشْرِكِيْنَ، هؤُلَاءِ صَنَادِيْدُهُمْ وَ قَادَتُهُمْ، فَلَمْ يَهْوَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَا قُلْتُ، فَأَخَذَ مِنْهُمُ الْفِدَاءَ، قَالَ عُمَرُ: فَلَمَّا كَانَ مِنَ الْغَدِ غَدَوْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ، فَإِذَا هُوَ قَاعِدٌ وَ أَبُوْ بَكْرٍ، وَ إِذَا هُمَا يَبْكِيَانِ، فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَخْبِرْنِيْ مَاذَا يُبْكِيْكَ أَنْتَ وَ صَاحِبُكَ؟ فَإِنْ وَجَدْتُ بُكَاءً بَكَيْتُ، وَ إِنْ لَمْ أَجِدْ بُكَاءً تَبَاكَيْتُ لِبُكَائِكُمَا، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: «الَّذِيْ عَرَضَ عَلَيَّ أَصْحَابُكَ مِنَ الْفِدَاءِ، لَقَدْ عُرِضَ عَلَيَّ عَذَابُكُمْ أَدْنَى مِنْ هذِهِ الشَّجَرَةِ» لِشَجَرَةٍ قَرِيْبَةٍ، فَأَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى: {مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فِي الْأَرْضِ} [الأنفال: 67] إِلَى قَوْلِهِ تَعَالَى: {لَمَسَّكُمْ فِيْمَا أَخَذْتُمْ} [الأنفال: 68]- مِنَ الْفِدَاءِ – {عَذَابٌ عَظِيْمٌ} [الأنفال: 68]، ثُمَّ أَحَلَّ لَهُمُ الْغَنَائِمَ، فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ أُحُدٍ مِنَ الْعَامِ الْمُقْبِلِ، عُوْقِبُوْا بِمَا صَنَعُوْا يَوْمَ بَدْرٍ مِنْ أَخْذِهِمُ الْفِدَاءَ، فَقُتِلَ سَبْعُوْنَ وَ فَرَّ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ، وَ كُسِرَتْ رَبَاعِيَتُهُ، وَ هُشِمَتِ الْبَيْضَةُ عَلَى رَأْسِهِ، وَ سَالَ الدَّمُ عَلَى وَجْهِهِ، فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ: {أَوَ لَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيْبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هذَا، قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ – بِأَخْذِكُمُ الْفِدَاءَ – إِنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ} “
101. Muḥammad bin Aḥmad bin al-Ḥasan menceritakan kepada kami, ‘Abdullāh bin Aḥmad bin Ḥanbal menceritakan kepada kami, dia berkata: ayahku menceritakan kepada kami, Abū Nūḥ bin Qurād menceritakan kepada kami, ‘Ikrimah bin ‘Ammār menceritakan kepada kami, Simāk bin Abī Zumail menceritakan kepada kami, dia berkata: Ibnu ‘Abbās menceritakan kepada ku, dia berkata: ‘Umar bin Khaththāb r.a. menceritakan kepadaku, dia berkata: Pada waktu Perang Badar, Allah menghancurkan kaum musyrikin. Dari mereka terbunuh tujuh puluh orang dan tertawani tujuh puluh orang. Rasūlullāh s.a.w. meminta saran kepada Abū Bakar, ‘Umar dan ‘Alī r.a. Lalu Rasūlullāh s.a.w. berkata kepadaku: “Apa pendapatmu, wahai Ibnu Khaththāb?” Aku menjawab: “Menurutku, serahkan fulan – seorang kerabat ‘Umar – kepadaku untuk kupenggal lehernya, serahkan ‘Uqail kepada ‘Alī untuk dia penggal lehernya, dan serahkan fulan kepada Ḥamzah untuk dia penggal lehernya, agar Allah tahu bahwa dalam hati kami tidak ada belas kasih kepada orang-orang musyrik. Mereka itu adalah para pemuka kaum musyrikin dan pemimpin mereka.” Namun Rasūlullāh s.a.w. tidak tertarik dengan pendapatku, dan beliau mengambil tebusan dari mereka.”
‘Umar melanjutkan: Di pagi harinya, aku pergi menemui Nabi s.a.w., dan ternyata saat itu beliau duduk bersama Abū Bakar sedang menangis. Aku bertanya: “Ya Rasūlullāh, beritahu aku apa yang membuatmu dan sahabatmu menangis? Apabila ada hal yang bisa kutangisi, maka aku akan menangis. Dan apabila tidak ada hal yang bisa kutangisi, maka aku akan menangis lantaran tangisan kalian berdua.” Nabi s.a.w. menjawab: “Aku menangis lantaran solusi tebusan yang ditawarkan teman-temanku. Aku telah diberi ilham bahwa adzab bagi kalian itu lebih dekat daripada pohon itu.” Kemudian Allah menurunkan ayat: “Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum dia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil.” (al-Anfāl [8]: 66-68).
Kemudian Allah menghalalkan harta pampasan perang bagi mereka. Dan pada waktu Perang Uhud di tahun berikutnya, mereka dihukum dengan apa yang mereka perbuat pada Perang Badar, yaitu mengambil tebusan dari para tawanan. Tujuh puluh orang terbunuh, para sahabat Nabi s.a.w. lari dari Nabi s.a.w., gigi seri beliau patah, dan kepala beliau terluka hingga darah mengaliri wajah beliau. Dari sini Allah menurunkan ayat: “Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar) kamu berkata: “Dari nama datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah, Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Āli ‘Imrān [3]: 165).
Yang dimaksud dengan kesalahan kaum muslimin di sini adalah mengambil tebusan dari tawanan Perang Badar.
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ، ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ شُعَيْبٍ الْأَصْبَهَانِيُّ، ثَنَا أَحْمَدُ بْنُ أَبِيْ سُرَيْجٍ الرَّازِيُّ، ثَنَا عُبَيْدُ اللهِ بْنُ مُوْسَى، ثَنَا إِسْرَائِيْلُ، عَنْ إِبْرَاهِيْمَ بْنِ مُهَاجِرٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ لَمَّا أَسَرَ الْأَسْرَى يَوْمَ بَدْرٍ اسْتَشَارَ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ قَالَ: قَوْمُكَ وَ عِتْرَتُكَ، فَخَلِّ سَبِيْلَهُمْ، فَاسْتَشَارَ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ فَقَالَ: اقْتُلْهُمْ، فَفَادَاهُمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ، فَأَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى: {مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ أَسْرَى} [الأنفال: 67] الْآيَةَ، فَلَقِيَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عُمَرَ فَقَالَ: «كَادَ أَنْ يُصِيْبَنَا فِيْ خِلَافِكَ شَرٌّ»
102. Sulaimān bin Aḥmad menceritakan kepada kami, Muḥammad bin Syu‘aib al-Ashbahānī menceritakan kepada kami, Aḥmad bin Abī Suraij ar-Rāzī menceritakan kepada kami, ‘Ubaidullāh bin Mūsā menceritakan kepada kami, Isrā’īl menceritakan kepada kami, dari Ibrāhīm bin Muhājir, dari Mujāhid, dari Ibnu ‘Umar, bahwa ketika Nabi s.a.w. menawan para tawanan Perang Badar, beliau meminta saran kepada Abū Bakar r.a., lalu Abū Bakar berkata: “Mereka itu adalah kaummu dan sanak kerabatmu. Lepaskanlah mereka!” Kemudian beliau meminta saran kepada ‘Umar r.a., lalu dia berkata: “Bunuhlah mereka.” Kemudian Rasūlullāh s.a.w. mengambil tebusan dari mereka. Dari sini Allah menurunkan ayat: “Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan....” (al-Anfāl [8]: 67) Kemudian ‘Umar menjumpai Rasūlullāh s.a.w., dan beliau bersabda: “Kami nyaris tertimpa sesuatu yang buruk lantaran menentang usulanmu.”
حَدَّثَنَا أَبُوْ عَمْرِو بْنُ حَمْدَانَ، ثَنَا الْحَسَنُ بْنُ سُفْيَانَ، ثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ الضَّحَّاكِ، ثَنَا إِسْمَاعِيْلُ بْنُ عَيَّاشٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عُمَرَ، رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ يَقُوْلُ: “لَمَّا تُوُفِّيَ عَبْدُ اللهِ بْنُ أُبَيٍّ ابْنُ سَلُوْلٍ دُعِيَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ [ص: 44] إِلَى الصَّلَاةِ عَلَيْهِ، فَلَمَّا قَامَ يُرِيْدُ الصَّلَاةَ عَلَيْهِ تَحَوَّلْتُ فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَتُصَلِّيْ عَلَى عَدُوِّ اللهِ ابْنِ أُبَيٍّ ابْنِ سَلُوْلٍ الْقَائِلِ يَوْمَ كَذَا وَ كَذَا، فَجَعَلْتُ أُعَدِّدُ أَيَّامَهُ، وَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَتَبَسَّمُ، حَتَّى أَكْثَرْتُ فَقَالَ: “أَخِّرْ عَنِّيْ يَا عُمَرُ، إِنِّيْ خُيِّرْتُ فَاخْتَرْتُ، قَدْ قِيْلَ: اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لَا تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ، فَلَوْ أَعْلَمُ أَنِّيْ زِدْتُ عَلَى السَّبْعِيْنَ غُفِرَ لَهُ لَزِدْتُ”، ثُمَّ صَلَّى عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ مَشَى مَعَهُ حَتَّى قَامَ عَلَى قَبْرِهِ وَ فَرَغَ مِنْ دَفْنِهِ، فَعَجَبًا لِيْ وَ لِجُرْأَتِيْ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ، وَ اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، فَوَاللهِ مَا كَانَ إِلَّا يَسِيْرًا حَتَّى نَزَلَتْ هَاتَانِ الْآيَتَانِ: {وَ لَا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا، وَ لَا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ} [التوبة: 84] الْآيَةَ، فَمَا صَلَّى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بَعْدَهَا عَلَى مُنَافِقٍ حَتَّى قَبَضَهُ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ “
103. Abū ‘Amr bin Ḥamdān menceritakan kepada kami, al-Ḥasan bin Abī Sufyān menceritakan kepada kami, ‘Abd-ul-Wahhāb bin Dhaḥḥāk menceritakan kepada kami, Ismā‘īl bin ‘Ayyāsy menceritakan kepada kami, dia berkata: Aku mendengar ‘Umar r.a. berkata: Ketika ‘Abdullāh bin Ubai bin Salūl mati, Rasūlullāh s.a.w. diminta untuk menshalatinya. Ketika beliau telah berdiri untuk menshalatinya, maka aku memutar badan dan berkata: “Ya Rasūlullāh, apakah engkau menshalati ‘Aduwwallāh (musuh Allah), putra Ubai bin Salūl yang berkata di hari demikian dan demikian?” Aku menyebutkan hari-hari ‘Abdullāh bin Ubai di mana dia memfitnah Islam. Rasūlullāh s.a.w. hanya tersenyum sehingga aku semakin banyak menyebutkan dosa-dosanya. Kemudian beliau bersabda: “Mundur dariku, wahai ‘Umar! Sesungguhnya aku disuruh memilih, dan aku telah memilih. Dikatakan kepadaku: Kamu memintakan ampun untuk mereka, atau kamu tidak memintakan ampun bagi mereka. Seandainya aku tahu bahwa apabila membaca istighfar lebih dari tujuh puluh kali maka dosanya diampuni, niscaya aku akan menambahkannya.” Kemudian Rasūlullāh s.a.w. mengshalatinya. ‘Umar lalu berjalan bersamanya, hingga beliau berdiri di atas kuburnya dan pemakamannya selesai. Aku heran dengan diriku sendiri dan keberanianku kepada Rasūlullāh s.a.w. Allah dan Rasūl-Nya lebih mengetahui. Demi Allah, tidak lama kemudian, turunlah ayat ini: “Dan janganlah kamu sekali-kali menshalatkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya.” (at-Taubah [9]: 84). Sesudah itu, Rasūlullāh s.a.w. tidak pernah menshalati jenazah seorang munafik pun hingga Allah s.w.t. mencabut ruh beliau.
قَالَ الشَّيْخُ رَحِمَهُ اللهُ: فَأَخْلَى هَمَّهُ فِي مُفَارَقَةِ الْخَلْقِ، فَأَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى الْوَحْيَ فِيْ مُوَافَقَتِهِ لِلْحَقِّ، فَمَنَعَ الرَّسُوْلَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مِنَ الصَّلَاةِ عَلَيْهِمْ، وَ صَفَحَ عَمَّنْ أَخَذَ الْفِدَاءَ مِنْهُمْ لِسَابِقِ عِلْمِهِ مِنْهُمْ وَ طَوْلِهِ عَلَيْهِمْ، وَ كَذَا سَبِيْلُ مَنِ اعْتَقَدَ فِي الْمَفْتُونِيْنَ الْفِرَاقَ، أَنْ يُؤَيَّدَ فِيْ أَكْثَرِ أَقَاوِيْلِهِ بِالْوِفَاقِ، وَ يُعْصَمُ فِيْ كَثِيْرٍ مِنْ أَحْوَالِهِ وَ أَفَاعِيْلِهِ مِنَ الشِّقَاقِ، وَ كَانَ لِلرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِيْ حَيَاتِهِ وَ وَفَاتِهِ مُجَامِعًا، وَ لِمَا اخْتَارَ لَهُ فِيْ يَقَظَتِهِ وَ مَنَامِهِ مُتَابِعًا، يَقْتَدِيْ بِهِ فِيْ كُلِّ أَحْوَالِهِ، وَ يَتَأَسَّى بِهِ فِيْ جَمِيْعِ أَفْعَالِهِ.
وَ قَدْ قِيْلَ: إِنَّ التَّصَوُّفَ اسْتِقَامَةُ الْمَنَاهِجِ، وَ التَّطَرُّقُ إِلَى الْمَبَاهِجِ
Syaikh (Abū Nu‘aim) berkata: Dia memfokuskan tekadnya untuk menjauhkan diri dari hubungan dengan sesama makhluk. Allah turunkan wahyu sesuai ucapannya yang selaras dengan kebenaran. Karena itu Allah melarang Rasūl s.a.w. untuk menshalati orang-orang munafiq, dan Allah memaafkan orang yang beliau ambil tebusannya karena telah ada pengetahuan Allah tentang mereka dan karena karunia Allah pada mereka. Demikianlah jalan orang yang meyakini adanya firāq (jarak yang jauh antara hamba dan Allah) pada diri orang-orang yang terkena fitnah, yaitu sebagian besar keadaan dan perbuatannya dijaga dari ketidak-sesuaian dengan kebenaran. Dan Rasūlullāh s.a.w. di sepanjang hidup dan wafatnya memiliki semua itu. Manakala dia memilih yang terbaik dalam keadaan terjaga dan tidur dengan mengikuti perintah Allah, maka beliau diteladani semua keadaannya dan diikuti semua perbuatannya.
Sebuah petuah mengatakan bahwa: Tashawwuf adalah istiqamah pada manhaj (jalan hidup yang ditentukan Allah) dan meniti jalan menuju kebahagiaan.