(Ma‘ānī)
Setelah selesai membahas sifat nafsiyyah dan salbiyyah, Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī melanjutkan pembahasan pada sifat ma‘ānī. Beliau berkata:
وَ قُدْرَةٌ إِرَادَةٌ وَ غَايَرَتْ | أَمْرًا وَ عِلْمًا وَ الرِّضَا كَمَا ثَبَتْ. |
“Dan (wajib bagi Allah itu) sifat Qudrah dan Irādah. Dan (Irādah ini) berbeda dengan ‘Amr (perintah), ilmu, dan Ridhā sebagaimana yang telah tetap.”
Allah wajib bersifat qudrah (berkuasa), berkuasa dalam menciptakan ataupun meniadakan, juga wajib bersifat irādah (berkehendak) yang mana kehendak Allah ini berbeda dengan amr (perintah), ‘ilmu, dan ridhā, sebagaimana pendapat ulama Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah.
Allah s.w.t. bersifat qudrah (berkuasa). Makna qudrah secara bahasa (bagi makhluk) adalah kekuatan dan kekuasaan. Sedangkan makna qudrah (bagi Allah) adalah sifat yang memudahkan untuk menciptakan dan meniadakan sesuatu yang ada. Orang mu’min wajib mengetahui wilayah sifat qudrah Allah dalam menciptakan dan meniadakan, karena Allah bersifat mukhālafatu lil-ḥawādits (berbeda dengan makhluk).
Allah juga wajib bersifat irādah (berkehendak). Makna irādah bagi makhluk adalah menyengaja, berkeinginan, atau berkehendak. Sedangkan makna irādah bagi Allah adalah sifat yang menetap pada Dzāt-Nya yang memudahkan-Nya memastikan hal yang boleh bagi mumkināt (sesuatu yang mungkin ada atau mungkin tidak ada). Hal-hal yang boleh bagi mumkināt ada enam, biasa disebut al-Mumkināt-ul-mutaqabbilat (perkara-perkara mungkin yang saling berlawanan). (541).
Keberadaan enam hal tersebut adalah wazhīfah (fungsi)nya irādah, sedangkan perwujudannya adalah wazhīfah qudrah. Contoh, Wujudnya Zaid adalah wazhīfah sifat qudrah, adapun Zaid hidup pada zaman Nabi Muḥammad s.a.w., warna kulitnya putih, badannya tinggi, bertempat tinggal di Negara Makkah, maka ini semua adalah wazhīfah sifat irādah. Adapun bagaimana caranya, kita tidak tahu hakikat sifat qudrah dan sifat irādah, kita hanya wajib mengetahui atsar (bekas atau hasil) dari sifat qudrah dan irādah Allah s.w.t.
Haram mengatakan: “Sifat qudrah telah melakukan ini”, “Lihatlah apa yang telah dilakukan oleh sifat qudrah”, kata-kata seperti ini menimbulkan pemahaman bahwa sifat qudrah yang menciptakan, jika berkeyakinan seperti ini maka dihukumi kafir. Na‘ūdzu billāh.
Allah s.w.t. berfirman:
إِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ لِمَا يُرِيْدُ.
“Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.” (QS. Hūd [11]: 107).
وَ اللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ.
“Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. al-Mā’idah [5]: 40).
Orang awam tidak wajib mengetahui secara detail ta‘alluq (hubungan) sifat qudrah dan irādah, karena hal itu sulit bagi pemahaman mereka. Di bagian belakang nanti in syā’ Allāh akan dijelaskan ta‘alluq tersebut, sekedarnya saja, agar bisa dijangkau oleh pemahaman orang awam.
Seorang mukallaf harus mengetahui dan meyakini bahwa ta‘alluq sifat irādah Allah itu tidak selaras dengan amr (perintah) Allah. Maksudnya, tidak semua hal yang dikehendaki Allah adalah hal yang diperintahkan-Nya. Misalnya, sejak zaman azali Allah menghendaki kufurnya Fir‘aun dan Abū Jahal, tapi Allah tidak memerintahkan keduanya untuk kufur, karenanya Allah mengutus Nabi Mūsā a.s. dan Nabi Hārūn a.s. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
فَقُوْلَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى.
“Maka berbicaralah engkau berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan kata-kata yang lemah-lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thāhā [20]: 44).
Terkadang sesuatu yang diperintah oleh Allah adalah sesuatu yang tidak dikehendaki-Nya, semisal imannya Fir‘aun dan Abū Jahal, hal itu diperintahkan oleh Allah, tapi tidak dikehendaki oleh-Nya. Hanya Allah yang mengetahui hikmah dalam masalah ini.
Allah s.w.t. berfirman:
لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَ هُمْ يُسْأَلُوْنَ.
“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.” (QS. al-Anbiyā’ [21]: 23).
Terkadang Allah menghendaki sesuatu sekaligus memerintahkannya, seperti imannya Sayyidinā Abū Bakar. Terkadang Allah tidak menghendaki sekaligus tidak memerintahkan, seperti kufurnya orang-orang yang beriman.
Seorang mukallaf wajib meyakini bahwa sifat irādah bukan sifat ‘ilmu, karena ta‘alluq sifat ilmu mencakup hal yang wājib, mustaḥīl, dan jā’iz, sedangkan ta‘alluq sifat irādah hanya pada hal yang jā’iz saja. Wajib pula meyakini bahwa sifat irādah bukanlah ridha. Sebab, tidak selalu apa yang dikehendaki Allah itu diridhai oleh-Nya, seperti kufur. Kufur merupakan sesuatu yang dikehendaki oleh Allah, tapi tidak diridhai-Nya. Hal ini sesuai dengan ketetapan para ulama Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah. Maka, Fahamilah masalah ini!
Berhukum kafir seseorang yang menisbatkan 20 sifat Allah ini pada dirinya, maksudnya dia berkeyakinan bahwa 20 sifat ini ada dan melekat pada dirinya, misal: “Sifat qudrah Allah itu ya sifat qudrah-ku ini.” Sebab, sebagaimana telah dijelaskan di awal, orang yang berkata: “Sifat qudrah telah melakukan ini” maka dia dihukumi kafir.
Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:
وَ عِلْمُهُ وَ لَا يُقَالُ مُكْتَسَبْ | فَاتْبَعْ سَبِيْلَ الْحَقِّ وَ اطْرَحِ الرِّيَبْ. |
“Wajib pula bagi Allah sifat ilmu dan tidaklah dikatakan bahwa ilmu Allah itu muktasab (diusahakan), maka ikutilah jalan yang ḥaqq dan campakkan segala keraguan!”
Allah wajib bersifat ‘ilmu, artinya Allah mengetahui segala hal, baik sesuatu yang wājib, mustaḥīl maupun jā’iz. Secara syara‘ dan akal, tidak bisa dibenarkan apabila ilmu Allah diperoleh dengan cara nazhar atau dengan dalil.
Ketika engkau sudah mengetahui wajibnya sifat qudrah, irādah, dan ‘ilmu bagi Allah, maka pegangi dan ikutilah jalan yang benar, buanglah keragu-raguan dan kebingunganmu, ikutilah yang benar dan buanglah yang batil.
Allah wajib bersifat ‘ilmu. ‘Ilmu adalah sifat yang tetap pada Dzāt Allah, yang dapat meliputi dan mengetahui segala hal yang wujud, baik yang wājib, mustaḥīl, maupun jā’iz dengan ta‘alluq tanjizi qadīm (552) dan tanpa didahului ketidaktahuan. Pengetahuan Allah terhadap segala sesuatu adalah secara ijmālī (global) dan tafshīlī (terperinci, detail), juz’ī (bagian-bagian), kullī (keseluruhan), semuanya terang dan jelas dalam ‘ilmu Allah. ‘Ilmu Allah tidak ada batasnya. Tidak sah secara syara‘ mengatakan bahwa ‘ilmu Allah diperoleh dengan proses kasb (adanya usaha).
Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:
حَيَاتُهُ كَذَا الْكَلَامُ السَّمْعُ | ثُمَّ الْبَصَرْ بِذِيْ أَتَانَا السَّمْعُ. |
“(Wajib bagi Allah) sifat Ḥayāt (Maha Hidup), begitu juga Kalām (Maha Berfirman), Sam‘ (Maha Mendengar) dan Bashar (Maha Melihat). Dengan (yang tiga) ini (yakni Kalām, Sam‘ dan Bashar) telah datang pada kita dalil sam‘ī.”
Allah wajib bersifat ḥayāt (hidup). Sifat ḥayāt Allah tidak sama dengan ḥayāt makhluk yang membutuhkan rūḥ dan nafas. Kita hanya wajib meyakini bahwa Allah bersifat ḥayāt, jangan engkau berpikir seperti apa ḥayāt Allah.
Allah juga wajib bersifat kalām (berfirman) yang tanpa huruf, tanpa suara, dan tanpa apapun. Allah juga wajib bersifat sam‘ (mendengar) yang tanpa membutuhkan telinga atau apapun. Allah juga wajib bersifat bashar (melihat) yang tanpa membutuhkan perangkat mata atau apapun. Sebab, semua sifat Allah itu mukhālafatu lil-ḥawādits (berbeda dengan makhluk-Nya). Telah sampai kepada kita dalil al-Qur’ān yang menunjukkan bahwa Allah bersifat kalām, sam‘ dan bashar.
Sifat ḥayāt adalah sifat yang menjadikan tetapnya sifat qudrah, irādah, dan ‘ilmu. Contoh, wujudnya Zaid adalah wazhīfah-nya sifat qudrah. Sedangkan apakah Zaid tinggi, pendek, pandai, bodoh, awal, akhir, adalah wazhīfah-nya sifat irādah. Kekuatan yang dimiliki Zaid yang asalnya hanya air mani kemudian bisa menjadi manusia yang punya kekuatan adalah wazhīfah-nya sifat ‘ilmu. Dzāt yang memiliki tiga sifat tersebut (qudrah, irādah dan ‘ilmu) harus memiliki sifat ḥayāt (hidup).
Makna sifat kalām adalah kalām Allah yang tanpa huruf dan tanpa suara. Ta‘alluq sifat kalām pada sesuatu yang wājib, jā’iz dan mustaḥīl.
Adapun bentuk ta‘alluq sifat kalām Allah adalah sebagai berikut. (563).
إِنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ.
“Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.” (QS. al-Baqarah [2]: 20).
Maka ta‘alluq-nya adalah wājib ‘aqlī.
لَمْ يَلِدْ وَ لَمْ يُوْلَدْ.
“Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan.” (QS. al-Ikhlāsh [112]: 3).
Maka ta‘alluq-nya adalah mustaḥil ‘aqlī.
وَ أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ.
“Dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu.” (QS. al-Baqarah [2]: 22).
Maka ta‘alluq-nya adalah ja’iz ‘aqlī.
Dari sini dapat diketahui bahwa ta‘alluq kalām ada bermacam-macam, semuanya dinamakan kalām ibārah, yaitu kalām Allah yang telah tertulis dalam al-Qur’ān.
Tidak boleh mengatakan bahwa al-Qur’ān adalah jadīd (baru), kecuali dalam rangka belajar, maka boleh menganggap bahwa al-Qur’ān itu baru, maksudnya meyakini bahwa huruf dan suara al-Qur’ān itu baru, tetapi dalam ucapan, harus tetap mengatakan bahwa al-Qur’ān itu qadīm (dahulu) sebagai bentuk tatakrama kepada Allah s.w.t. Adapun madlūl dari kalām ‘ibārah itu qadīm (dahulu) tanpa huruf dan tanpa suara.
Allah wajib bersifat sam‘ dan bashar, artinya mendengar dan melihat, di mana keduanya mukhālafatu lil-ḥawādits (berbeda dengan pendengaran dan penglihatan makhluk).
Dalil bahwa Allah wajib memiliki sifat kalām, sam‘ dan bashar, telah disebutkan dalam al-Qur’ān:
Allah s.w.t. berfirman:
وَ كَلَّمَ اللهُ مُوْسَى تَكْلِيْمًا.
“Dan Allah telah berbicara kepada Mūsā dengan langsung.” (QS. an-Nisā’ [4]: 164).
Allah s.w.t. telah menghilangkan ḥijāb (574) dengan Nabi Mūsā a.s. maka beliau bisa mendengar langsung kalām Allah tanpa huruf dan tanpa suara, semua rūḥāniyyah dan jasmaniyyah beliau mendengar kalām Allah s.w.t.
Allah s.w.t. berfirman:
إِنَّ اللهَ سَمِيْعٌ بَصِيْرٌ.
“Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Luqmān [31]: 28).
Para ulama Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah sepakat bahwa Allah wajib memiliki sifat kalām, sam‘ dan bashar karena telah jelas disebutkan dalam al-Qur’ān dan hadits.