Mencari Sarana Penghubung Tawassul
Kita meyakini, sebagaimana masalah syafa‘at, persoalan yang berkait dengan tawassul pun merupakan salah satu ajaran Islam. Yaitu, sebuah cara yang diberikan Allah SWT kepada orang-orang yang memiliki masalah, baik itu masalah yang terkait dengan hal-hal yang bersifat material maupun spiritual, untuk meminta tolong kepada para Wali Allah SWT. Sehingga, dengan seizin Allah SWT, para wali itu akan memohon kepada Allah SWT untuk dapat menjadi penghubung dalam menyelesaikan masalah individu tersebut.
Tawassul berarti bahwa dari satu sisi kita mengajukan permohonan kepada Allah SWT, dan dari sisi lain juga membentuk permohonan kepada para Wali Allah SWT. Maka tawassul adalah menjadikan para wali sebagai perantara untuk memohon kepada Allah SWT. Ini telah dijelaskan dalam al-Qur’ān sebagai berikut:
Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah SWT, dan Rasūl pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah SWT Maha Penerima taubat. (an-Nisā’: 64)
Kita juga dapat membaca kisah yang berkait dengan saudara-saudara Nabi Yūsuf a.s. dalam al-Qur’ān. Para Saudara Nabi Yūsuf a.s. itu menjadikan ayahnya sebagai perantara untuk memohonkan ampun kepada Allah SWT atas semua dosa yang telah mereka lakukan, seraya berkata:
Wahai Ayah kami, mohon kan lah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berbuat salah. (Yūsuf: 97)
Lalu, Nabi Ya‘qūb a.s. menerima permohonan itu dan berjanji akan menolong mereka, Seraya berkata:
Ya‘qūb berkata: “Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhan-Ku. (Yūsuf:98)
Kedua ayat diatas dapat dijadikan bukti bahwa dalam umat terdahulu pun terdapat tawassul. Namun demikian, hendaknya dalam masalah tawassul ini kita tidak keluar dari aturan yang logis, dengan menganggap para wali dapat memberikan syafa‘at secara independen dan tidak memerlukan izin Allah SWT. Sebab, hal ini akan menyebabkan terjerumusnya seseorang dalam jurang kesyirikan dan kekufuran. Begitu pula, hendaknya kita tidak menganggap tawassul sebagai sebuah peribadatan kepada para wali, karena hal ini juga merupakan salah satu bentuk kesyirikan dan kekafiran. Sebab, tanpa seizin Allah SWT, pada hakikatnya para wali itu tidak dapat memberikan manfaat ataupun madharat sedikitpun, sebagaimana diisyaratkan dalam ayat berikut:
Katakanlah, “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah SWT.” (al-A‘rāf: 188)
Namun amat disayangkan, di antara madzhab-madzhab Islam masih terdapat pandangan yang ekstrim atau sebaliknya berkenaan dengan masalah tawassul ini. Oleh karena itu, hendaknya kita dapat membimbing mereka dalam memahami konsep ini.
Asas Dakwah Para Nabi
Kita meyakini, semua nabi memiliki tujuan yang sama, yaitu membawa manusia menuju kebahagiaan melalui keimanan kepada Allah SWT, keimanan kepada hari kiamat, pengajaran dan pendidikan agama yang benar, dan penamaan nilai-nilai akhlak dalam kehidupannya.
Karena alasan inilah, kedudukan para nabi menjadi terhormat di sisi Allah SWT, sebagaimana yang telah diajarkan kepada kita oleh al-Qur’ān:
Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang (dengan yang lain) di antara rasul-rasulNya .(al-Baqarah: 285)
Dengan berlalunya masa, kesiapan manusia untuk beroleh pengajaran tertinggi dan agama Ilahi berangsur-angsur semakin penyempurna, sehingga pembelajaran terhadap mereka pun semakin sempurna yang pada akhirnya tibalah giliran agama terakhir, yaitu Islam. Sebagaimana, dapat kita simak dari ayat berikut ini:
Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhoi Islam itu menjadi agama bagimu. (al-Mā’idah: 3)
Pemberitahuan Para Nabi Terdahulu
Kita meyakini, betapa banyak nabi terdahulu yang telah memberikan kabar tentang kedatangan nabi setelahnya. Seperti, Nabi Mūsā dan Nabi ‘Īsā yang memberikan kabar dengan jelas tentang ciri-ciri Nabi Muḥammad Saw. Tanda-tanda Nabi Muḥammad Saw yang telah dijelaskan oleh Nabi Mūsā a.s. dan Nabi ‘Īsā a.s. itu sampai sekarang masih tersimpan dalam sebagian kitāb-kitāb samāwī mereka. Allah SWT berfirman dalam al-Qur’ān:
(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasūl, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis dalam Taurāt dan Injīl yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengajarkan yang ma‘rūf dan melarang mereka dari mengerjakan dari yang munkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu yang ada pada mereka. Mereka orang-orang yang beriman kepadanya memuliakannya, dan menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’ān), mereka itulah orang-orang yang beruntung. (al-A‘rāf:157)
Dengan argumentasi Inilah dalam sejarah dijelaskan bahwa beberapa masa sebelum kelahiran Nabi Muḥammad Saw, serombongan besar kaum Yahudi datang ke Madīnah untuk menunggu kedatangan Nabi, karena mereka mendapati dalam Kitāb Samāwī mereka bahwa beliau akan muncul di negeri ini. Walaupun setelah kedatangan Nabi Muḥammad Saw, sebagian di antara mereka mengimaninya, tetapi sebagian lagi, karena mereka akan merugikan dirinya, segera bangkit menentangnya.
Para Nabi dan Reformasi Kehidupan Manusia
Kita meyakini bahwa semua agama, khususnya Islam, yang telah diturunkan kepada para nabi, bukanlah hanya untuk mengatur masalah kehidupan pribadi saja, ataupun sekedar masalah spiritual dan akhlak, tetapi juga sebagai agama yang mengatur segala urusan manusia. Islam pun mengajarkan pengetahuan yang diperlukan manusia dalam kehidupan sehari-harinya. Sebagian acara tersebut telah disampaikan dalam al-Qur’ān.
Kita percaya bahwa salah satu tugas penting para Nabi adalah menegakkan keadilan dalam kehidupan manusia, sebagaimana dinukil dalam ayat berikut:
Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah kami turunkan bersama mereka al-Kitāb dan neraca (keadilan) supaya mereka dapat menegakkan keadilan. (al-Ḥadīd: 25)
Penolakan akan Fanatisme
Kita meyakini bahwa para nabi khususnya Nabi Muḥammad Saw tidak menerima pengistimewaan dan pembedaan suatu kaum. Bahkan menurut beliau, semua suku, bangsa, kaum dan bahasa adalah sama. Sebagaimana tercantum dalam ayat al-Qur’ān berikut:
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah SWT ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. (al-Ḥujurāt: 13)
Dalam sebuah hadits dari Rasūl Saw disebutkan bahwa suatu ketika beliau sedang menunggang kuda di kota Mīnā (sewaktu melakukan ibadah haji). Beliau menghadap ke arah orang-orang seraya berkata:
“Wahai seluruh manusia, ketahuilah bahwa Tuhan engkau sekalian adalah satu, bapak engkau sekalian adalah satu, orang-orang ‘Arab tidaklah lebih tinggi dari orang-orang ‘Ajam, dan sebaliknya orang-orang ‘Ajam tidaklah lebih tinggi dari orang-orang ‘Arab, begitu pula orang-orang berkulit hitam tidaklah lebih tinggi dari orang-orang berkulit kemerah-merahan atau sebaliknya. Kecuali dengan ketakwaan. Apakah aku telah menyampaikan ajaran Islam?”
Mereka semua menjawab: Benar wahai Rasūlullāh.”
“Sampaikanlah perkataanku ini kepada orang-orang yang tidak datang ke tempat ini.”
Islam dan Fitrah Manusia
Kita meyakini bahwa keimanan kepada Allah SWT, keimanan pada keesaan Allah SWT, dan pokok-pokok ajaran para nabi telah tertanam secara global dalam jiwa manusia (atau fitrah manusia). Kemudian, para nabi datang untuk menyirami pengetahuan Fitrah ini dengan air wahyu serta membuang jauh-jauh tumbuhan pengganggu kesyirikan dan penyelewengan dari sekitarnya, sebagaimana dapat kita simak dari ayat berikut ini:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetap atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (ar-Rūm: 30)
Dengan argumentasi inilah kita memahami mengapa agama selalu hadir dalam kehidupan manusia? Menurut para sejarawan, ini merupakan suatu hal yang langka dan bersifat pengecualian. Kendati masyarakat berada di bawah tekanan keras propaganda anti agama, namun ketika berhasil meraih kebebasan, mereka akan kembali kepada agamanya. Meski tak dapat pula dipungkiri bahwa rendahnya tingkat peradaban kaum-kaum terdahulu menjadi penyebab tercemarnya akidah dan ajaran agama dengan berbagai takhayul dan khurafat. Berdasarkan ini, salah satu tugas penting para nabi adalah memberantas semua khurafat yang telah mengotori agama yang suci.