2-2 ISIM (nama) MUTLAK – Insan Kamil – Syaikh Abd. Karim al-Jaili

INSAN KAMIL
Ikhtiar Memahami Kesejatian Manusia Dengan Sang Khaliq Hingga Akhir Zaman

Karya: Syaikh Abd. Karim Ibnu Ibrahim al-Jaili

Penerjemah: Misbah El Majid. Lc.
Diterbitkan oleh: Pustaka Hikmah Perdana.

Rangkaian Pos: ISIM (nama) MUTLAK - Insan Kamil - Syaikh Abd. Karim al-Jaili

Ketahuilah, bahwasanya nama mutlak ini adalah Huyūlī (benda pertama) kesempurnaan universal, tidak ada satu kesempurnaan pun melainkan di bawah falak nama mutlak ini. Karenanya kesempurnaan al-Ḥaqq tidak berakhiran dan tidak akan pernah habis, sebab setiap kesempurnaan ditampilkan al-Ḥaqq dari Diri-Nya. Sesungguhnya kesempurnaan al-Ḥaqq yang ada pada alam realitas ini. Tidak ada jalan untuk menggapai muara kesempurnaan al-Ḥaqq, melainkan dengan mengeksiskan ketersambungan (wushūl) dan kedekatan(al-Qurb) serta kebersamaan dengan-Nya. Berikut senantiasa menghadirkan sifat-sifat dan nama-namaNya dalam diri secara kontinu. Demikian pula dengan Huyūlī (benda pertama) yang ada dalam takaran logika, tidak ada jalan untuk menyingkap segenap citra-Nya melainkan dengan menghadirkan cita-cita Huyūlī ke dalam logika dan ‘Aql al-Bashīrah (ketajaman mata hati). Tidak ada kemustahilan bagi daya persepsi untuk menjangkau Huyuli (benda pertama) dengan segala pencitraannya. Kalau realita tersebut terjadi pada makhluk lantas bagaimana dengan al-Ḥaqq Yang Maha Besar dan Maha Tinggi? Orang yang telah berhasil menangkap tajalliy-ul-Ḥaqq dalam manifestasi ini ia akan berkata: “Daya persepsi yang lemah akan suatu persepsi adalah persepsi. Barang siapa yang diperlihatkan kepadanya manifestasi al-Ḥaqq, Dia akan tertajallikan pada dirinya, ia akan memakrifahi makna inti (dzāt) Allah dari sisi ilmu-Nya, juga memakrifahi inti dzāt-Nya dalam lanskap hakekat. Ia tidak akan berkata lemah dalam daya persepsi tidak pula menafikan persepsi itu sendiri, pada tahap ini tingkat spiritualnya adalah maqām yang tidak mungkin dita‘birkan karena ia merupakan maqām penyaksian tertinggi akan kesejatian Allah. Maka berusahalah anda mencari dan menggapainya jangan sampai anda lengah dan pongah untuk menggapai kesejatian-Nya. Ketahuilah, bahwasanya al-Ḥaqq menjadikan nama mutlak ini Huyūlī (benda pertama) kesempurnaan citra makna-makna ketuhanan. Dan setiap manifestasi al-Ḥaqq yang untuk Diri-Nya dalam Diri-Nya termasuk dalam liputan naungan isim (nama) ini, kecuali al-Zhulmah (kegelapan) mutlak yang dinamakan bāthin dzāt dalam dzāt. Nama mutlak (Allah) ini merupakan cahaya kegelapan mutlak tersebut, dengan nama ini orang-orang yang dalam kegelapan mutlak tersebut akan tersinari cahaya-Nya, dengan nama ini pula para makhluk akan Wishāl (sampai) kepada makrifah al-Ḥaqq, yang dalam istilah ahli ilmu kalam disebut ‘Ilm (pengetahuan) akan inti (dzāt) yang memiliki Ulūhiyyah (ketuhanan).

Ada banyak pendapat di kalagan para alim perihal esensi nama mutluk ini. Di antara mereka ada yang berkata nama Allah adalah Jāmid tidak Mustāq (derivatif), sebagian yang lain mengatakan nama Allah adalah Mustāq (derivatif) dari Allah yang bererti (cinta), yakni kecintaan segala yang ada (ciptaan), berubudiyah kepada-Nya dengan kekhususan sendiri-sendiri, berjalan dengan Irādah (kehendak)-Nya, rasa rendah dihadapkan keagungan kemuliaan-Nya. Alam dan isinya alam merupakan manifestasi Diri-Nya, semua yang ada di semesta alam ini berjalan dengan kehendak Diri-Nya, yang terlanskapkan dalam ke-Dia-an Dia dan ke-Aku-an Diri-Nya. Manakala Dia memanifestasikan Diri-Nya kepada ciptaan yang dikehendaki-Nya, maka ciptaan itu akan tergerak mencintai ‘ibādah dan ‘ubūdiyyah kepada al-Ḥaqq, seperti halnya besi yang tergerak karena tarikan magnet. Kecintaan alam dan isinya alam ber-‘ubūdiyyah kepada-Nya terlanskapkan dalam tasbīḥ (sanjung puji) yang tidak semuanya bisa memahami. Isinya alam juga memiliki puji sanjung kedua yaitu kesiapannya menerima penampakan al-Ḥaqq dalam dirinya, sedang puji sanjung ketiga isinya alam adalah, penampakan dirinya dalam diri al-Ḥaqq dengan nama makhluk. Ragam (wājib) puji sanjung isinya alam dan alam semesta kepada Allah sangatlah banyak, masing-masing isinya alam memiliki puji sanjung khusus dengan masing-masing asmā’-asmā’ Allah sejalan dengan nilai-nilai ketuhanan-Nya. Semua wajah puji sanjung itu berasal dari satu lisan satu waktu, itu artinya satu lisan dalam satu waktu melantunkan mega dan mutli tasbīḥ (sanjung pujian) yang jumlahnya tidak terhingga. Setiap wujud dari Maujūdāt (segenap wujud) melantunkan tasbīḥ (sanjung puji) kepada al-Ḥaqq, ada pun argumentasi mereka yang mengatakan nama (Allah) ini mustāq (derivatif) dari kata (Allah) – cinta dan yang dicinta, jika nama itu jāmid (non-derivatif) niscaya tidak bisa dipisah. Mereka juga menandaskan, bahwasanya nama mutlak ini asal katanya Alah lalu menjadi idiom sesembahan, karenanya dimasukkan ke dalam kata Allah huruf Lām-ut-Ta‘rīf (pengenalan) lalu Alif yang di tengahnya disembunyikan, karena galibnya pemakaian maka jadilah kata Allah. Ada banyak pendapat dan pemikiran perihal nama Allah ini dari para pakar bahasa ‘Arab, kita tidak perlu mengupas perselisihan pendapat mereka, kita cukupkan sampai di sini.

Ketahuilah bahwa isim mutlak ini terdiri atas lima huruf (Khumāsiy), karena huruf Alif sebelum Hā’ tetap dalam lafazh dan tidak harus dinafikan, meski tidak termuat dalam tulisan, sebab lafazh dalam grametika bahasa lebih dominan dibandingkan tulisan. Ketahuilah bahwasanya Alif pertama ibarat Aḥadiyah (ke-Esa-an), segala sesuatu yang wujud pasti akan binasa, tidak ada satu pun wajah segala yang wujud baqā’ (kekal), itulah sejatinya makna firman Qur’ān: “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Allah.” Q.S. al-Qashash 28:88, yakni wajah-wajah selain al-Ḥaqq pasti akan binasa, demikian esensi Aḥadiyah (ke-Esa-an) Allah. Ke-Esa-an al-Ḥaqq memiliki hukum yang tidak terikat dengan al-Katsrah (sesuatu yang banyak). Patrikan dalam benak ada di awal nama mutlak ini terpisah, berdiri sendiri dan tidak terkait huruf-huruf lain, merupakan sebuah Tanbīh (peringatan) bahwasanya ke-Esa-an al-Ḥaqq tidak terkait dengan sifat-sifatNya dan penyifatan makhluk-Nya, ia merupakan ke-Esa-an murni yang tidak tereduksi dengan nama-namaNya, sifat-sifatNya, perbuatan-perbuatanNya, pengaruh-pengaruhNya dan makhluk-makhlukNya. Ada metafora yang terhamparkan dalam huruf Alif, Lām dan Fā’. Alif menunjukkan kesatuan dari yang banyak, Lām menunjukkan sifat Qadīm (eternitas), memakrifahinya akan menuntun kepada pengetahuan akan keterkaitan sifat-sifat yang lahir dari Af’āl (perbuatan-perbuatan) al-Qadīm yang dinisbatkan kepada-Nya.

Fā’ menunjukkan objek dengan segala struktur dan konfigurasinya, nuqthah (titik) huruf Fā’ menunjukkan wujud al-Ḥaqq dalam inti (dzāt)-Nya. Kepala huruf yang berbentuk bundar dan lingkaran yang berlubang menunjukkan tidak adanya kontradiktif dan keeksisan menerima Faydh (penjelmaan) Ilāhī (ketuhanan), ia juga merupakan isyarat tempat keterkabulan Faydh. Bulatnya kepala Fā’ menunjukkan tidak adanya kontradiksi untuk sesuatu yang mungkin, karena garis peredaran tidak diketahui permulaan dan akhirannya. Sedang lubang yang ada di kepala huruf Fā’ adalah sentra isyarat untuk penerimaan Faydh (penjelmaan), karena sesuatu yang berlubang akan menerima (menampung) sesuatu yang akan diisikan kepadanya. Kemudian titik yang berada di atas lingkaran kepala huruf Fā’ merupakan isyārat yang sangat lembut akan amanat yang diemban manusia yaitu amanat kesempurnaan ketuhanan, di mana segenap langit dan bumi serta segenap penghuni kedua alam itu (para makhluk-Nya) tidak mampu (tidak sanggup) mengemban anamat kesempurnaan ketuhanan tersebut. Huruf Fā’ itu sendiri ibarat manusia karena manusia adalah pemimpin alam (dunia) ini. Terkait dengan ini Rasūl pernah bersabda: “Kali pertama yang diciptakan Allah adalah ruh nabimu wahai Jābir.” Huruf Fā’ ibarat Qalam (pena) ditangan penulis yang dengan qalam itu dituliskan Kalām-ul-Ḥaqq dan rahasia ke-Esa-an-Nya, baik yang lahir maupun bāthin. Ketahuilah Aḥadiyyat-ul-Ḥaqq terkandung di dalamnya hukum yang bersifat bāthin, terutama hukum-hukum yang terkait dengan hakekat nama-namaNya, sifat-sifatNya, perbuatan-perbuatanNya, pengaruh-pengaruhNya serta makhluk-makhlukNya, kesemua itu akan bermuara pada sifat inti (dzāt)-Nya yang terwajahkan dengan wajah Aḥadiyah (ke-Esa-an), Kami telah paparkan masalah rahasia huruf Fā’ ini dalam kitab kami al-Kahfi war-Raqīm, fī Syarḥi Bismillāh-ir-Raḥmān-ir-Raḥīm, untuk lebih detilnya silahkan anda membaca kitab tersebut.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *